tirto.id - Pada tanggal 1 dan 2 April 2025, ada laporan soal indikasi peningkatan aktivitas seismik di Gunung Gede. Badan Geologi mencatat sebanyak 49 kejadian gempa vulkanik yang terjadi pada tanggal 1 April 2025.
“Lima hari terakhir aktivitas kegempaan terus menurun, hanya gempa tektonik yang terjadi 2-3 kali. Hingga saat ini kami belum mendapat laporan terkait aktivitas gempa vulkanik di Gunung Gede,” ujar Agus Deni, Humas Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dikutip Antara.
Data menunjukkan ada pergerakan magma atau fluida vulkanik di bawah permukaan gunung. Namun, frekuensi kejadian seismik mengalami penurunan yang signifikan pada tanggal 2 April 2025.
Meskipun terjadi penurunan, Badan Geologi terus melakukan pemantauan secara intensif terhadap gunung berapi ini menggunakan metode visual dan instrumental untuk mendeteksi setiap perubahan yang mungkin terjadi. Fluktuasi aktivitas seismik ini mengindikasikan dinamika internal gunung yang kompleks dan memerlukan pengawasan ketat.
Setelah tanggal 2 April 2025, berbagai laporan dari Badan Geologi dan media massa memberikan informasi lebih lanjut mengenai status Gunung Gede. Sebagai respons terhadap peningkatan aktivitas vulkanik, otoritas setempat memperpanjang penutupan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Penutupan yang awalnya berlaku hingga 3 April diperpanjang hingga 7 April 2025 dan kemudian diperpanjang kembali hingga 13 April 2025. Keputusan ini diambil karena ada peningkatan gempa vulkanik dalam yang mengindikasikan kenaikan tekanan di bawah gunung, yang berpotensi memicu erupsi freatik dan pelepasan gas beracun dari kawah.
Antara tanggal 1 dan 3 April 2025, Badan Geologi mencatat total 47 gempa vulkanik dalam. Selain itu, teramati ada emisi asap dari Kawah Wadon dengan ketinggian mencapai 100 meter.
Meskipun terjadi peningkatan aktivitas, status aktivitas vulkanik Gunung Gede tetap berada pada Level I (Normal) hingga tanggal 6 April 2025. Perpanjangan penutupan taman nasional meskipun status alert masih normal menunjukkan kehati-hatian pihak berwenang terhadap potensi bahaya yang mungkin timbul.
Selain itu, pelepasan gas-gas vulkanik beracun, khususnya di sekitar Kawah Wadon, juga menjadi perhatian utama. Sebagai langkah pencegahan, zona eksklusi dengan radius 600 meter dari Kawah Wadon tetap diberlakukan untuk menghindari potensi bahaya tersebut.
Klasifikasi Gunung Gede
Gunung Gede terbentuk jutaan tahun lalu, dengan aktivitas vulkanik yang tercatat sejak abad ke-16. Kawasan ini juga menjadi pusat penelitian botani sejak zaman kolonial Belanda, ditandai dengan penetapan Cagar Alam Cibodas pada tahun 1889.
Gunung Gede muncul dalam naskah Sunda kuno Bujangga Manik pada abad ke-15 sebagai “Bukit Ageung” atau tempat tertinggi di Pakuan, menunjukkan peran pentingnya sebagai situs sakral dalam kebudayaan Sunda.
Bagi pendaki dan peneliti, ada beberapa daya tarik Gunung Gede, seperti Alun-alun Suryakencana, Kawah Ratu, Kawah Lanang, Kawah Wadon, Air Tejun Cibeureum, dan Telaga Warna.
Gunung Gede memiliki ekosistem yang kaya, dengan hutan hujan tropis, flora endemik seperti edelweiss dan fauna seperti lutung Jawa. Jalur pendakian utamanya meliputi Cibodas, Gunung Putri, dan Selabintana, masing-masing menawarkan tantangan dan pemandangan unik.
Secara geologis, Gunung Gede diklasifikasikan sebagai stratovolcano, yang juga dikenal sebagai gunung api komposit. Gunung ini merupakan bagian dari busur vulkanik Sunda, yang terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng Eurasia.
Gunung Gede membentuk kompleks gunung berapi kembar dengan Gunung Pangrango yang berdekatan di bagian barat dan utara.
Stratovolcano dicirikan oleh bentuknya yang kerucut curam, terbentuk dari lapisan lava, abu vulkanik, dan material vulkanik lainnya yang saling bergantian. Gunung jenis ini sering kali terkait dengan erupsi eksplosif akibat magma yang kental menjebak gas dan menyebabkan tekanan meningkat.
Meskipun berpotensi menghasilkan erupsi eksplosif besar, stratovolcano juga dapat mengalami erupsi efusif yang menghasilkan aliran lava, serta aktivitas hidrotermal yang menyebabkan emisi uap dan gas.
Gunung Gede memiliki tujuh kawah puncak yang berbeda, yakni Baru, Gumuruh, Lanang, Kawah Leutik, Ratu, Sela, dan Wadon, yang mengindikasikan pola aktivitas vulkanik yang kompleks dan dapat berubah seiring waktu. Klasifikasi ini penting untuk memahami potensi bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh Gunung Gede.
Studi dari Natural Hazards and Earth System Sciences pada awal Januari 2025 menyimpulkan bahwa Gunung Gede sebagai salah satu gunung berapi dengan jumlah populasi kota terpapar terbesar dalam radius 100 km, termasuk populasi Jakarta yang seluruhnya terpapar. Studi juga mencatat bahwa Bandung memiliki lebih dari 8 juta orang terpapar dalam radius 30 km hingga 12 gunung berapi, termasuk Gunung Gede.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa Gunung Gede bukan hanya penting secara geologis, tetapi juga menjadi fokus utama dalam manajemen risiko bencana vulkanik di Indonesia karena dampak potensialnya terhadap populasi urban.
Studi sebelumnya oleh Jenkins et al. (2022) juga mengidentifikasi Gede-Pangrango sebagai gunung berapi dengan tingkat paparan tinggi di Asia Tenggara.
Riwayat Erupsi Gunung Gede
Riwayat erupsi Gunung Gede tercatat sejak tahun 1747 hingga erupsi terakhir yang diketahui pada 13 Maret 1957 dengan jarak interval berkisar 1-71 tahun. Erupsi terakhir pada tahun 1957 terjadi setelah ada suara gemuruh dari gunung dan menghasilkan kolom abu setinggi 3 kilometer dengan Indeks Letusan Vulkanik (VEI) 2.
Erupsi lain yang tercatat termasuk pada tahun 1956, 1955 (freatik atau letusan uap air), 1948-49, 1947-48 (freatik), 1909, 1899, 1891, 1888, 1887, 1886, 1870, 1866, 1853, 1852, 1848, 1847, 1845, 1843, 1840 (terbesar, menghasilkan aliran piroklastik atau abu vulkanik), 1832, 1761, dan 1747-48.
Sebagian besar erupsi tersebut tergolong kecil hingga sedang, memiliki VEI yang tercatat, seperti erupsi tahun 1957 dengan VEI 2, erupsi tahun 1840 dan 1832 dengan VEI 3.
Pada 29 Agustus 1832, setelah 71 tahun tidak aktif, kolom letusan yang sangat tinggi terlihat dari Bogor. Pada pukul 11 dan 12 pagi, terjadi hujan abu lebat, melayang ke arah barat, lapisan abu tipis ditemukan di Jakarta.
Erupsi tahun 1840 menjadi yang terbesar dengan produksi aliran piroklastik. Saat itu, terjadi letusan paroksisma dengan suara gemuruh pada pukul 06.00 WIB, kolom letusan setinggi 200 meter di atas puncak. Letusan terjadi pada tanggal 11 Desember pukul 14.00 WIB, diakhiri dengan hujan abu.
Nilai VEI ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar erupsi relatif kecil, Gunung Gede mampu menghasilkan letusan eksplosif dengan skala sedang, seperti yang terjadi pada tahun 1840 dan 1832.
Warsa 1843, hujan abu jatuh di kawasan Cianjur dan Cicurug, Sukabumi. Erupsi kecil ini mulai terjadi pada bulan Juli jelang tengah malam. Beberapa bulan kemudian, terdapat catatan mengenai gempa bumi besar yang terjadi di Cianjur pada tanggal 15 Februari 1844.
Gempa dengan magnitudo 5.6 tersebut menyebabkan kerusakan serius. Aktivitas vulkanik Gunung Gede dan aktifnya sesar Cimandiri diyakini menjadi penyebab rusaknya ratusan bangunan pada saat itu.
Tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik yang parah, tetapi juga memaksa pemerintah kolonial Belanda mengambil keputusan besar: memindahkan pusat Keresidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung.
Dalam buku Sejarah Kota Bandung 1945–1979 (1985:30), Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud memerintahkan pemindahan tersebut pada tahun 1856 dan baru direalisasikan peresmiannya pada tahun 1864 oleh Residen Priangan, Van der Moore.
Pada 12 November 1854, Gunung Gede kembali “terbangun” pada pukul 3 dinihari. Terjadi letusan disertai gempa besar dan gemuruh, pancuran api setinggi 50 meter di atas kawah terlihat, kolom letusan tinggi diikuti oleh bom vulkanik yang dikeluarkan, hujan abu melayang ke Bogor.
Hujan abu mencapai jarak 14 kilometer pada 14 November 1854. Delapan hari kemudian terjadi gempa dan kolom letusan berisi lontaran batuan, keesokan harinya daerah puncak seperti terbakar.
Catatan erupsi terakhir terjadi dari Kawah Ratu pada 13 Maret 1957, di mana kolom letusan mencapai 3.000 meter di atas kawah yang terjadi sejak pukul 7 malam.
Selain erupsi, tercatat pula peningkatan aktivitas seismik tanpa erupsi, seperti swarm gempa bumi pada tahun 1991.
Peristiwa ini kembali terjadi pada tahun 1998, menunjukkan periode peningkatan aktivitas di bawah permukaan gunung.
Selain itu, pergerakan ventilasi aktif juga tercatat seiring waktu. Keberadaan tujuh kawah puncak juga menunjukkan sistem internal yang kompleks.
Swarm gempa bumi yang berulang mengindikasikan bahwa Gunung Gede mengalami periode ketidakstabilan internal yang tidak selalu berakhir dengan erupsi.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi