tirto.id - Syahdan Mangunwidjojo, mantan anggota Barisan Semedi Republik Indonesia (BASRI) Surakarta, mendekam di dalam jeruji Lapas Wiragunan Yogyakarta, dia mengklaim beroleh wangsit. Dirinya merasa telah menempuh spiritualitas manunggaling kawula gusti, sebagaimana sinkretisme antara Hindu-Buddha dengan Islam yang dipopulerkan Syekh Siti Jenar.
Wangsit itu menuntunnya menunaikan tapa di Pasareyan Imogiri, makam raja-raja Jawa, termasuk Pakubuwono IX. Di muka makam pemimpin kesunanan itulah, kata dia, dirinya mendapat titah untuk menyebarkan ilham ilmu teosofi.
Mangunwidjojo menamai teosofi spiritualnya dengan nama Agama Djawa Asli Republik Indonesia (ADARI). Menurut Imam Thalhah dalam Mewaspadai dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama (2001), ilmu kebatinan ADARI merupakan suatu paguron (ajaran) dan bukan berbentuk organisasi atau mistifikasi yang santer dicap sarat okultisme.
Selayang pandang Mangunwidjojo ditulis oleh Indra Harahap dalam "Akar Historis dan Doktrin Aliran ADARI" (2018). Dia berjuluk Djoyowolu, pernah mengganti nama dengan gelar Ki Mangunwasito yang lahir pada 1829 di Surakarta.
Setelah menyelesaikan studi di Volkschool pada 1922, Mangunwidjojo bekerja di bengkel Djawatan Kereta Api Pengok, Yogyakarta. Dia lalu bergabung bersama Ki Tjokrowardojo pendiri BASRI, yang sudah populer di Surakarta.
Dalam buku Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia (1985) karya Kamil Kartapradja, anggota BASRI adalah salah satu yang gigih berjuang melawan penjajah semasa revolusi. Banyak dari mereka yang tergabung ke dalam laskar rakyat di Kesunanan dan Mangkunegaran.
Oleh karenanya, ketika Mangunwidjojo memperkenalkan ADARI yang falsafahnya selaras dengan tuntunan BASRI, masyarakat Surakarta menyambut baik ajaran ini.
Fondasi Dasar Teosofi ADARI
Nama Djawa Asli merupakan "dasar" pengetahuan beragama yang hendak direngkuh Mangundjiwo. Dengan kata lain, dia tidak menyandarkan kiblat bersembahyang sebagaimana kitab agama-agama samawi menuntun.
Proses transfer pengetahuan antarpenganut ADARI tidak dilayangkan lewat medium cetak atau mushaf. Rapalan doa dan mantra diajarkan lewat tutur lisan.
Praktik ini didukung oleh tesis Rasjidi dalam Islam dan Kebatinan (1967, hal. 46) yang mengatakan, "Ilmu rahasia (kebatinan) yang disampaikan tidak ada dokumen atau arsipnya, karena disampaikan lewat lisan dan kalangan terbatas, dan dengan perantara alamat khusus yang rahasia."
Fenomena ini mirip dengan paham Kabbalah atau yang dalam paganisme modern disebut okultisme. Sekalipun hal ini dipertegas oleh Mangunwidjojo selaku pendiri, dalam buku Freemason & Teosofi karya Artawijaya (2019) disebut bahwa esensi teosofi dan Freemason adalah Kabbalah.
Kabbalah merupakan kepercayaan primitif di Nusantara yang datang sebelum Islam. Hampir seluruh ilmu sihir tidak lepas dari pengaruh Kabbalah. Hal ini dikarenakan ajaran Kabbalah berfokus pada mantra dan doa. Ajaran ini banyak berkembang di Jawa, Madura, Sunda, Betawi, dll.
"Dan, antara Teosofi dan Freemason ada kesamaan kedok yang menjadi selubung tujuan sesungguhnya dari organisasi ini, yaitu upaya membangun sebuah 'super-human-being', yang tujuannya adalah menjadikan manusia di atas segala-galanya seperti yang menjadi doktrin humanisme sekular," sambung Artawijaya (hal. 288).
Konsep "super-human-being" di antara teosofi dan Freemason dapat ditemukan dalam proses rohaniah ADARI. Menariknya, Mangunwidjojo tidak mengultuskan dirinya sendiri sebagai sosok adimanusia. Sementara itu, manusia adalah medium utama ADARI untuk bersembahyang dan mengagungkan Tuhannya.
Mangunwidjojo memilih perantara sosok lain yang ia anggap mulia dan agung. Adimanusia itu adalah Sang Proklamator, Bung Karno. Gelarnya Hyang Wasesa Ning Tunggal.
Akan tetapi saat presiden pertama Indonesia itu dibaiat sebagai medium menyembah Tuhan ADARI, dia segera menampik.
"Banyak yang percaya bahwa aku seorang dewa, mempunyai kekuatan-kekuatan sakti yang menyembuhkan," katanya dalam autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965) yang ditulis Cindy Adams.
Desas-desus Bung Karno sebagai nabi segera menyebar dengan cepat. Namun dengan cepat pula, dia memublikasikan pernyataan resminya lewat salah satu wartawan Kedaulatan Rakyat pada 22 April 1959, yang intinya menolak pengangkatan presiden sebagai nabi.
Simuh dalam Sufisme Jawa dan Tasawuf Islam (2019, hal. 67) menyebut bahwa salah satu cara aliran kebatinan dapat bertahan di Indonesia adalah dengan menyebarkan doktrin yang mendukung narasi pemerintah. Khususnya Jawa, mereka memiliki sifat patuh pada peraturan pemerintah.
Hal inilah yang menyebabkan kepercayaan atau organisasi teosofi diwadahi dalam Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI). Mereka memasyarakatkan ungkapan “sepi ing pamrih, rame ing gawe” dengan makna tidak mementingkan tujuan duniawi, tetapi senantiasa menyokong pergerakan yang positif.
ADARI yang berkembang di Jawa sebagai aliran kepercayaan telah ditetapkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dibubuhkan di pasal 29 ayat 2 dengan frase, “ ...menurut agamanya dan kepercayaannya itu...”
Praksis Ajaran ADARI
Syarat awal seseorang dapat bergabung sebagai pemeluk ADARI mesti berpuasa putih (hanya makan nasi) tujuh hari lamanya. Tujuannya untuk membersihkan diri.
Mereka mesti mengakui Sukarno sebagai nabi dan Pancasila sebagai kitab dasar mereka. Sementara itu, peraturan-peraturan pemerintah adalah fatwa yang kudu ditegakkan.
Hal pokok yang dilakukan oleh Mangunwidjojo adalah mengumpulkan dalil-dalil yang dibidani oleh pidato Bung Karno di radio, wejangan yang ditulis di pers dan surat kabar, atau buku-buku yang diterbitkan kementerian.
Kamil Kartapradja mengklasifikasikan bahwa ADARI merupakan ajaran yang bebas politik. ADARI mengajarkan teosofi menuju Ketuhanan Yang Maha Esa, selaras dengan kesempurnaan hidup.
Mereka mengadakan perkawinan sendiri. Caranya, bakal pengantin laki-laki dan perempuan saling bermufakat, disaksikan pemimpin ADARI setempat, serta membayar mahar surat kawin sebesar Rp8,50.
Di Surakarta, prosesi acara pernikahan mengharuskan pengantin memakai pakaian serba hitam. Disebut bahwa warna hitam berkarakter Jawa asli.
Saban hari Minggu (Ahad), mereka menghelat rasulan. Semacam selamatan dan kerja bakti membersihkan lingkungan.
ADARI tidak menarik iuran anggota sama sekali.
Dalam satu kisah, Mangunwidjojo pernah berkirim surat ke Presiden Sukarno. Isinya mengabarkan bahwa dia selalu bertapa kungkum (merendam diri) di Kali Opak Yogyakarta saban selapan dina (35 hari) sekali.
Dari catatan Rahmat Subagya dalam Kepercayaan dan Agama: Kebatinan Kerohanian dan Kejiwaan (2002) terdapat penjelasan bentuk sembahyang ADARI. Mereka tidak melakukan gerakan sujud atau rukuk sebagaimana yang dilakukan umat Islam dalam salat.
Setiap pagi, pemeluk ADARI harus menghadap ke timur, siang ke atas, sore ke barat, dan waktu malam digunakan untuk bersemedi. Semuanya dilakukan dengan khidmat dan penuh hening cipta. Mereka akan terus mengheningkan cipta sampai mendapat ilham atau wangsit.
ADARI juga turut memperingarti hari besar, misalnya 1 Asyura yang disebut tanggap warsa (tahun baru). Kemudian tanggal 17 Ramadan dianggap hari kemerdekaan, dengan menyejajarkan antara 17 Agustus 1945 dan 17 Ramadan 1876 H.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi