tirto.id - Pasangan pembual amatir Idrus dan Markonah, yang pernah menipu banyak orang Indonesia, jadi cerita lucu di Belanda. Harian Het Parool edisi 19 Juli 1958 melaporkan:
“Indonesia baru-baru ini tengah terjadi ketegangan dalam negeri. Banyak yang menertawakan petualangan Raja Sumatra Selatan, di mana Presiden Sukarno, Wali Kota Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Madiun telah tertipu.”
Pada 8 Agustus 1957 di Palembang, seperti diceritakan Het Parool, muncul seorang laki-laki berusia 42 yang datang dari pedalaman Sumatra. Dia mengaku sebagai pangeran dari wilayah yang dulunya dianggap wilayah kekuasaan Sriwijaya. Namanya Idrus Bin Pohon. Dia punya lima orang abdi. Di Palembang, dia dan kelompoknya berpenampilan ala sipil dan militer.
Beberapa bulan kemudian, pada 10 Maret 1958, bermodal surat rekomendasi dari pemerintah Sumatra Selatan, Idrus dan pengikutnya berangkat ke Jakarta. Koran Belanda lain, Leeuwarder courant (7/4/1959) dan Nieuwsblad van het Noorden (10/2/1959) memberitakan bahwa Idrus mengaku sebagai raja suku Anak Dalam yang berada di pedalaman Jambi.
Di Sumatra belahan utara kala itu sedang bergolak gerakan separatis yang menamakan diri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Wilayah suku Anak Dalam tergolong bisa dijangkau militer PRRI. "Kerusuhan di daerahnya," tulis Het Parool mengutip Idrus, "memaksanya meninggalkan rumahnya."
Intinya, setelah itu Idrus berkelana. Hingga dia akhirnya tiba di Jakarta.
Dimanfaatkan Sukarno?
Di ibu kota, Idrus dan rombongannya diterima Presiden Sukarno di Istana Negara. Idrus berencana berkeliling ke beberapa kota di Jawa. Sukarno juga mau memberi fasilitasnya. Harapannya agar Idrus bisa melihat dan belajar perkembangan kota-kota.
Sangat sulit dimengerti Sukarno bisa terperdaya oleh tipuan macam itu. Di sekeliling Sukarno banyak perwira militer, termasuk dari CPM, tentu mudah baginya dan para pengawal istana curiga pada Idrus. Bagaimana pun, Idrus muncul di masa gejolak daerah di luar Jawa. Apalagi Idrus mengaku dari daerah yang dekat dengan pergolakan PRRI.
Meski sulit menemukan bukti, bisa jadi Sukarno tahu bualan Idrus dan memanfaatkannya untuk memperburuk citra PRRI. Dengan kata lain, Sukarno menggunakan Idrus untuk berkampanye melawan PRRI.
Di Jakarta, seperti dilaporkan Het Parool, Wali Kota Sudiro mengajak "Raja Anak Dalam" ini makan malam bersama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta. Idrus bercerita bahwa dirinya terbiasa makan daging mentah, terutama ular. Makan daging ular dan meminum darahnya membuat tubuhnya segar bugar.
Koran Belanda Leeuwarder courant (7/4/1959) menyebut, dalam perjalanan itu Idrus mengaku punya 18 istri. Selain itu, dia mengklaim punya istana besar di salah satu gua raksasa. Di dalamnya terdapat mumi dari 40 orang Jepang dan Belanda.
Dari Jakarta, Idrus dan rombongan pergi ke Bandung. Pada 20 Maret 1958, Idrus berangkat ke Jawa Tengah. Di sebuah bioskop, dia berkenalan dengan seorang perempuan yang berasal dari Kampung Slerong, Tegal. Idrus memperkenalkan diri sebagai Pangeran dari kerajaan Kubu di Sumatra Selatan.
Nama perempuan itu adalah Markonah.
Singkat kata, jadilah Markonah dan Idrus berpasangan. Mereka menahbiskan diri sebagai pasangan kerajaan. Idrus jadi raja, Markonah ratunya. Dalam perjalanan ke beberapa kota, mereka berdua dikawal voorijder layaknya pejabat.
Aksi Idrus akhirnya ketahuan juga oleh beberapa pejabat di daerah. Di Madiun pasangan kerajaan gadungan ini kena sial: aparat menciduk mereka. Idrus dan Markonah pun digelandang ke markas Corps Polisi Militer, bukan ke balai kota tempat mereka disambut sebelumnya. Mereka kemudian diperiksa.
Waktu itu tidak banyak orang tahu bahwa di daerah Kubu maupun Anak Dalam tidak terdapat raja. Jabatan tradisional tertinggi di sana adalah kepala suku.
Menurut berita Nieuwsblad van het Noorden (10/2/1959), belakangan diketahui Idrus hanya kepala desa biasa dan Markonah adalah perempuan yang moralnya dicurigai. Keduanya, menurut Leeuwarder courant, lalu dapat hukuman. "Sang raja" dihukum sembilan bulan dan pasangannya dapat hukuman enam bulan. Mereka bebas pada tengah tahun 1959.
Jadi Legenda
Beberapa pejabat tampaknya harus menanggung malu karena ulah Idrus dan Markonah. Mereka berdua bukan orang terpelajar, tapi bisa menipu para amtenar. Keduanya rakyat jelata yang tampaknya hanya ingin merasakan hidup mewah dan dihormati, seperti keinginan banyak orang Indonesia.
Paling tidak pasangan Idrus-Markonah adalah orang yang sukses sebentar untuk keluar dari penyakit akut bangsa Indonesia: cinta pada ilusi kemewahan dan kebesaran.
Nama Idrus-Markonah kemudian banyak dibicarakan dan dikenang. Setidaknya, dalam buku Bahasa dan Sastra (1979) yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dua nama itu jadi contoh bahan ajar bahasa.
Firman Lubis dalamJakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja (2008: 317) juga menyinggung kisah lucu Idrus Markonah itu. Seingat Lubis, Markonah suka memakai kacamata hitam. “Seperti tukang pijat tunanetra,” kata Firman. “Ada sindiran bagi perempuan yang memakai kacamata hitam waktu itu sebagai seperti Markonah.”
Di mata Firman, Idrus dan Markonah lihai bersandiwara. Banyak pejabat tertipu, mungkin karena bodoh dan belum tahu apa itu Anak Dalam.
Editor: Ivan Aulia Ahsan