Menuju konten utama
17 Agustus 1946

Sejarah Tugu Proklamasi, Monumen Persembahan Kaum Perempuan

Tugu Proklamasi dibangun untuk memperingati satu tahun kemerdekaan Republik Indonesia atas inisiatif kaum perempuan. Sukarno kemudian merobohkannya.

Sejarah Tugu Proklamasi, Monumen Persembahan Kaum Perempuan
Header Diajeng Tugu Proklamasi dan Peran Perempuan. foto/istockphoto

tirto.id - Sepulang dari sebuah pesta pernikahan pada 15 Agustus 1960, Johanna Masdani dan suaminya kebetulan lewat di depan Jalan Proklamasi, yang dulu dikenal sebagai Jalan Pegangsaan Timur 56.

Betapa terkejut Johanna mendapati Tugu Peringatan Satu Tahun Proklamasi Kemerdekaan yang dibangunnya bersama-sama Pemuda Putri Indonesa (PPI) dan Kaum Wanita Republikein 14 tahun silam sudah rata dengan tanah.

Johanna segera menghubungi kawan-kawan seperjuangannya yang kebetulan pernah menjadi saksi peresmian Tugu Proklamasi.

Bersama-sama mereka mendatangi kantor Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sosroatmodjo untuk meminta penjelasan perihal pemusnahan tugu obeliks bercat putih tersebut. Sumarno menjelaskan bahwa itu semua adalah kehendak Presiden Sukarno.

Mendengar jawaban spontan Sumarno, Johanna langsung ciut. Ia tidak ingin menyanggah kehendak Bung Karno. Johanna harus rela tugu kebanggaannya musnah dan hanya menyisakan tiga potong marmer yang masing-masing berisikan kata-kata persembahan, teks proklamasi, dan sebuah peta Indonesia.

Hasil Kerja Perempuan

Sekitar Juni 1946 dua orang mahasiswi, Mien Wiranatakusumah dan Emilia Augustina Ratulangi, mendatangi Johanna Masdani untuk membahas rencana peringatan HUT Pertama Proklamasi Kemerdekaan.

Tak sekadar membawa kabar upacara bendera, para mahasiswi juga berencana membangun tugu peringatan proklamasi di depan bekas kediaman rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur. Mereka ingin agar Johanna bersedia memimpin para mahasiswi yang tergabung dalam PPI untuk menggalang dana pembangunan tugu.

“Pokoknya pada tanggal 17 Agustus nanti tugu itu harus diresmikan,” kata Johanna menirukan ucapan Mien dan Emilia, seperti dikutip majalah Femina (16/7/1983).

Di bulan yang sama dibentuklah sebuah tim pembangunan yang diketuai Johanna. Menurutnya, pekerjaan mengumpulkan dana merupakan yang paling sulit dilakukan. Agar pekerjaan semakin ringan, diajaklah Kaum Wanita Republikein untuk membantu mencari dana pembangunan tugu ke seluruh Jakarta.

“Bermacam-macam kendaraan mereka pakai, ada yang berjalan, naik sepeda, naik mobil. Saya sendiri setiap pagi naik truk kecil milik suami saya,” tutur Johanna.

Kerja keras Johanna dan sejawatnya berbuah manis. Mereka berhasil mengumpulkan sekitar 60 ribu uang Jepang.

Saat tugu mulai dibangun pada Juli, ternyata ongkosnya tidak lebih dari 33 ribu. Sisa dananya kemudian disalurkan kepada para pejuang Kemerdekaan di garis depan.

Di samping mengumpulkan dana, Johanna juga bertugas merancang gambar tugu dan memilih keramik hiasan.

Dibantu mahasiswa ITB bernama Kores Siregar, Johanna mencoba membuat gambar tugu yang mengambil inspirasi dari bentuk obeliks.

Diresmikan di Bawah Tekanan

Upacara peresmian yang rencananya akan digelar tepat pada 17 Agustus 1946 sempat terkendala izin wali kota. Dengan kehadiran tentara Sekutu di Jakarta, pejabat setempat diimbau untuk tidak mengadakan perayaan dalam bentuk apapun.

“Pak Soewiryo, Walikota Jakarta memanggil saya. Ia meminta agar kami mengundurkan peresmian tugu itu sampai tanggal 18 Agustus 1946, karena ada perintah dari Sekutu agar kita tidak membuat kegiatan apa pun pada tanggal 17 Agustus 1946. Mereka takut akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan pada hari itu,” ungkap Johanna seperti dikutip Femina.

Namun Johanna tidak gentar. Tanpa dukungan wali kota, ia nekat melaksanakan upacara peringatan.

“Saya sudah nekad, apabila kaum pria tak berani melaksanakannya, maka kaum wanita yang akan melakukannya. Kami semua sudah bertekad bulat untuk meresmikan tugu itu pada saat yang tepat, pada tanggal 17 Agustus 1946,” lanjutnya.

Niat Johanna langsung dihentikan Nyonya Tirtaamidjaja, ibunda perancang busana batik Iwan Tirta. Atas usul Tirtaamidjaja, Johanna lantas meminta dukungan dari Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Kebetulan pada 15 Agustus, Sjahrir baru saja tiba dari Yogyakarta, ibu kota negara saat itu. Johanna pun langsung melaju meminta janji temu dengan Sjahrir.

Di luar dugaan, Sjahrir menyambut baik rencana Johanna. Perdana menteri yang masih muda itu bersedia meresmikan tugu hasil kerja keras para perempuan Jakarta.

Di belakang Sjahrir, para perempuan sudah bersiap menggelar Pawai Wanita. Ibu-ibu dan perempuan muda berpakaian merah-putih beriringan berangkat dari Kantor Wanita Negara Indonesia (Wani) menuju gedung Pegangsaan Timur tempat Sjahrir menunggu sejak pukul 9 pagi.

Pawai itu diikuti pula oleh Menteri Sosial Maria Ulfah yang sengaja datang dari Yogyakarta untuk menghadiri upacara peresmian Tugu Proklamasi. Sayang, baik Maria maupun peserta pawai tidak dapat masuk ke Jalan Pegangsaan Timur karena dihalangi tentara Gurkha.

Berdasarkan catatan yang dipaparkan dalam Maria Ulfah Subadio: Pembela Kaumnya (1982: 82), para perempuan sempat memutar ke halaman belakang, namun lagi-lagi terhalang pasukan India berbendera Inggris.

Johanna sendiri sebenarnya ingin menunggu barisan pawai perempuan, namun urung setelah ditegur Sjahrir yang menyuruhnya segera memulai acara.

Sempat Hilang dari Sejarah

Pada 15 Agustus 1960, tugu peringatan proklamasi persembahan perempuan ini akhirnya rata dengan tanah.

Berdasarkan yang dituturkan dalam Bung Karno di Antara Saksi dan Peristiwa (2009: 64), pamor Tugu Proklamasi memang sudah surut sejak 1956. Padahal, tugu tersebut sempat menjadi lambang resmi Kota Jakarta selepas pemulihan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949.

Sebelumnya, surat kabar Suluh Indonesia (28/6/1960) sudah pernah memberitakan pernyataan Sukarno mengenai rencana pemusnahan Tugu Proklamasi.

Koran PNI itu mencatat isi pidato Sukarno yang mengatakan bahwa tugu di Jalan Pegangsaan Timur bukanlah Tugu Nasional, melainkan Tugu Linggarjati, dan harus dihancurkan.

Perubahan nama itu agaknya terdengar janggal di telinga Johanna. Dia ingat betul, tugu tersebut dibangun untuk memperingati satu tahun Proklamasi Kemerdekaan pada 1946, alih-alih untuk menyambut Perundingan Linggarjati yang baru diselenggarakan pada November di tahun yang sama.

Infografik Tugu Proklamasi

Infografik Tugu Proklamasi. tirto.id/Sabit

Jacques Leclerc dalam makalah bertajuk “Mirrors and the Lighthouse: A Search for Meaning in the Monuments and Great Works of Sukarno’s Jakarta, 1960-1966” berargumen, penghancuran Tugu Proklamasi itu karena peresmiannya dilakukan Sjahrir, salah satu tokoh kunci dalam Perundingan Linggarjati. Selain itu, tugu tersebut juga dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai Tugu Nasional impian Sukarno.

Artikel yang terkumpul dalam buku Urban Symbolism (1993: 41) suntingan Peter J. M. Nas itu juga menyebut Tugu Proklamasi dapat menjadi penghalang kekuatan spiritual baru dalam Tugu Nasional (kemudian bernama Monumen Nasional) yang mulai dibangun satu tahun kemudian.

Menurut Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011: 231), ambisi Sukarno membangun Tugu Nasional sebenarnya sudah muncul sejak 1958.

Sejak saat itu, harapan Sukarno menjadikan Jakarta sebagai pusat segala kemegahan arsitektur kerap diulang dalam berbagai kesempatan, khususnya dalam pidato resmi peringatan kemerdekaan dan perayaan HUT Kota Jakarta.

“Dengan Tugu Nasional itu hendaknya tiap-tiap kapal udara yang memasuki Jakarta dari jauh sudah dapat melihat pusat bangsa Indonesia yang kuat, yang besar dan yang sentosa,” kata Sukarno seperti dikutip Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 (2006: 53).

Setelah Sukarno tumbang, Tugu Peringatan Proklamasi sempat terlupakan. Barulah pada 1972, tugu tersebut dibangun kembali atas perintah Presiden Soeharto.

Meskipun mirip, menurut Johanna bentuk tugunya sudah tidak asli lagi. Kendati demikian, Johanna tetap merasa bahagia melihat tugu tiruan itu karena mengingatkannya pada kerja keras perempuan Jakarta.

* Artikel ini pernah tayang di tirto.idpada 21 Juni 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Diajeng
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Ivan Aulia Ahsan