tirto.id - Maria Ulfah enggan menjadi dokter seperti keinginan ayahnya, R.A.A. Mohammad Achmad. Padahal, bapaknya yang bupati Kuningan tak kekurangan harta dan restu untuk menyekolahkan putrinya sampai ke Belanda. Maria lebih memilih menuntut ilmu hukum lantaran miris melihat nasib buruk perempuan saat menghadapi perceraian.
Saat keluarga Maria singgah di Den Haag pada pengujung 1920-an, ongkos sekolah dari sang ayah ia pergunakan untuk masuk ke Fakultas Hukum Universitas Leiden. Maria indekos di rumah keluarga Belanda dan tinggal bersama Siti Soendari, adik bungsu Soetomo.
Empat tahun kemudian, Maria Ulfah berhasil menjadi perempuan Indonesia pertama yang lulus dengan gelar meester in de rechten (Mr) atau sarjana hukum. Ia lulus pada usia 22 tahun dan langsung pulang kampung. Sempat bekerja sebagai tenaga honorer dan dikontrak selama enam bulan di Kabupaten Cirebon.
Selain menjadi perempuan pertama yang mengantongi ijazah sarjana hukum, Maria Ulfah juga bergelar menteri perempuan pertama dalam Kabinet Sjahrir II. Tak hanya menjadi yang pertama, Maria pun dikenal sebagai perempuan termuda yang pernah memegang jabatan di kabinet Indonesia.
Saat dilantik menjadi menteri sosial pada 12 Maret 1946, Maria Ulfah berusia 34 tahun 6 bulan dan 11 hari. Umurnya saat itu hanya terpaut sekitar tujuh bulan lebih muda dari S.K. Trimurti yang dilantik menjadi menteri perburuhan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I pada 1947 di usia 35 tahun lebih 1 bulan.
Belajar dari Sjahrir
Menurut penuturan Maria Ulfah dalam persembahan kepada Sjahrir yang disunting oleh Rosihan Anwar ke dalam antologi Mengenang Sjahrir (1980, hlm. 92), dirinya pertama kali berjumpa dengan Sutan Sjahrir di Amsterdam sekitar tahun 1930. Kala itu, Maria diundang oleh keluarga dokter Djoehana yang merupakan sanak keluarga Sjahrir.
Sosok anak gadis seorang Bupati yang bisa sekolah di Negeri Kincir Angin dalam diri Maria nampaknya berhasil mengundang penasaran Sjahrir, terlebih mereka sama-sama belajar hukum. Mahasiswa hukum Universitas Amsterdam itu lalu bertanya kepada Maria, “Bagaimana perasaan kau sebagai anak gadis Indonesia belajar di negeri Belanda?”.
“Saya merasa bersyukur diberi kesempatan oleh ayah belajar di negeri Belanda yaitu suatu negara yang merdeka. Berlainan sekali di negara yang merdeka,” tutur Maria mengulang jawabanya kepada Sjahrir.
Di lain waktu, kenang Maria, Sjahrir pun kerap mengunjunginya di Leiden. Mereka pergi bersama ke pertemuan Liga Anti-Imperialisme di Gedung Bioskop Hooge Woerd di Leiden. Selain pertemuan politik, Maria juga pernah diajak menonton volks concert (konser musik rakyat).
Sayang kebersamaan mereka tidak lama karena Sjahrir harus pulang ke Indonesia lebih dahulu untuk melaksanakan tugas dari Bung Hatta. Setelah Maria pulang ke tanah air pada 1933, ia dan Sjahrir membuat janji pertemuan di Kuningan, namun Sjahrir tidak pernah datang. Menurut kabar, Sjahrir ditangkap Belanda dan dimasukan ke penjara Cipinang.
Selama Jepang berkuasa, Sjahrir sendiri tidak mau bekerjasama dengan Jepang dan lebih suka bekerja di bawah tanah. Kendati demikian, ia tetap nekat bertemu Maria yang saat itu tengah bekerja di kantor Kehakiman Jepang.
Sjahrir bertanya kepada Maria apakah ia senang dengan pekerjaannya saat itu. Maria pun menjawab biasa-biasa saja. Selanjutnya mereka lebih banyak membicarakan masa depan negara dan bangsa.
Maria baru bertemu lagi dengan Sjahrir pada tahun 1946. Saat itu, Sjahrir yang sudah menjabat perdana menteri sekaligus menteri luar negeri pada Kabinet Sjahrir I meminta Maria untuk mengisi posisi sekretaris jenderal Kementerian Luar Negeri.
Gadis Rasid dalam biografi Maria Ulfah Subadio: Pembela Kaumnya (1982, hlm. 78) mangatakan reaksi Maria Ulfah cukup di luar dugaan. Maria menolak tawaran Sjahrir dan malah mengusulkan Oetoyo Ramelan untuk diangkat sebagai sekjen Kementerian Luar Negeri.
Sjahrir tidak menyerah, lanjut Rasid. Ia kemudian meminta agar Maria bersedia menjadi liaison officer (perwira penghubung) antara pemerintah dengan tentara Sekutu. Maria pun menerimanya. Secara tidak langsung Maria menjadi tangan kanan Sjahrir untuk merampungkan segala urusan kedaulatan pasca-Kemerdekaan.
Sjahrir memang selalu menginginkan bakat organisasi Maria Ulfah dalam kelompoknya. Setelah masa tugas Maria usai pada Maret 1946, Sjahrir menawarinya posisi dalam Kabinet Sjahrir II. Barangkali akibat kurang pengalaman dan tidak pernah bergabung dalam partai politik manapun, Maria sempat merasa ngeri saat ditawari posisi sebagai menteri sosial.
“Mengapa saya?” Maria balas bertanya.
“Kamu takut? Saya pun tidak pernah belajar jadi perdana menteri,” ungkap Sjahrir.
Mendengar jawaban santai Sjahrir, Maria justru tertantang. Maria pun memberanikan diri menerima tawaran itu. Ia resmi dilantik menjadi menteri sosial di Kabinet Sjahrir II pada 12 Maret 1946 Tugas pertama Maria kala itu ialah melaksanakan seluruh proyek repatriasi tawanan perang Jepang.
Bedak dan Pemerah Bibir
Jauh sebelum Margaret Thatcher berhasil mendobrak stereotipe maskulin gedung parlemen Inggris, Maria Ulfah sudah lebih dulu membuat para perwira Kerajaan Inggris tercengang. Melihat seorang menteri perempuan di negara bekas jajahan sungguh menjadi hal yang luar biasa bagi para tentara Inggris. Terlebih lagi, perempuan itu belum mencapai usia kepala empat.
Majalah Femina No. 138 (18/7/1978) mencatat rasa takjub bekas duta besar Inggris untuk Indonesia John Achibald Ford saat pertama kali melihat Maria Ulfah bernegosiasi dikepung perwira sekutu di kamp-kamp interniran yang tersebar di Pulau Jawa. “Saya masih ingat, dulu Anda menteri, saya hanya mayor kecil,” kenang Ford di hadapan Maria dalam sebuah pertemuan di Jakarta pada pertengahan 1970-an.
Rasa tercengang itu ternyata bukan hanya dialami orang-orang Inggris saja, melainkan juga tawanan-tawanan Belanda. Saat meninjau beberapa kamp perempuan dan anak-anak di sekitar Yogyakarta, Maria disambut oleh sorot mata terkejut dari perempuan-perempuan Belanda di tempat itu. Mereka hampir-hampir tidak percaya jika pejabat yang datang ternyata seorang perempuan muda.
Maria menyempatkan diri berbincang dengan para tawanan, baik tawanan perempuan maupun anak-anak. Dengan telaten Maria meladeni semua pertanyaan mereka. Tak lupa ia menanyakan apa saja yang mereka perlukan sebelum diberangkatkan menuju Jakarta.
Menurut ingatan Maria Ulfah—seperti yang terangkum dalam biografinya—para tawanan perempuan nampaknya terlampau berbahagia saat ditanyai masalah barang-barang keperluan perempuan. Malah salah seorang tawanan perempuan sempat mendekat dan berbisik di atas bahu Maria, “Apa kita boleh dapat bedak dan pemerah bibir?”
Maria pun hanya tersenyum menanggapinya. Hampir semua kebutuhan utama perempuan-perempuan bekas tawanan Jepang sebisa mungkin ia penuhi, termasuk barang-barang yang sudah lebih dari lima tahun tidak mereka miliki seperti pakaian layak.
Menteri Perempuan Idaman
Keputusan Sjahrir memilih Maria untuk menuntaskan urusan pembebasan interniran memang cukup tepat. Sejak semula Sjahrir merasa pekerjaan itu sangat cocok dilakukan seorang perempuan. Ternyata memang benar dugaan Sjahrir, orang-orang Inggris menjadi lebih terbuka atas pengaduan-pengaduan yang disampaikan oleh Maria.
Setelah tugas memulangkan tawanan selesai, tidak banyak pekerjaan yang dapat dilakukan Kementerian Sosial. Usaha membimbing kegiatan sosial masyarakat dan mengusahakan perbekalan untuk lembaga sosial sempat terkendala akibat aksi blokade di sebagian besar wilayah Jawa dan Sumatera yang dilakukan Belanda.
Di tengah suasana politik yang kian suram, Kabinet Sjahrir sempat mengalami masa-masa berat dan akhirnya tumbang. Karir menteri Maria Ulfah pun harus usai pada 26 Juni 1947, tepat pada hari Sjahrir meletakan jabatan.
Meskipun Kabinet Sjahrir jatuh dan digantikan Amir Sjarifuddin, Maria tetap menjadi menteri perempuan yang diidamkan kabinet yang baru. Di pengujung bulan Juni 1947, Amir Sjariffudin mendatangi Maria dan menawarkan kembali posisi menteri sosial kepadanya. Namun, Maria dengan cepat menolaknya.
“Kamu tidak setuju dengan keputusan saya?” tanya Amir dengan nada kesal, seperti yang ditirukan oleh Maria dalam wawancara majalah Femina.
“Saya ingin mengaso dulu. Tapi bila sekali waktu nanti Bung Amir memerlukan tenaga saya, saya bersedia membantu, asal bukan sebagai menteri,” jawab Maria lugas.
Menurut Gadis Rasid, penolakan Maria saat itu sebenarnya dilandasi rasa hormat yang tinggi kepada Sjahrir. Alasan ingin istirahat sebenarnya hanya alasan yang dibuat-buat karena tidak ingin menyakiti hari Amir Syarifuddin, kawan lamanya ketika bekerja sebagai guru di Perguruan Rakyat sekitar 1938.
Dua bulan kemudian, Amir berkilah bahwa Maria sudah cukup istirahat dan memintanya mengisi jabatan di pemerintahan. Kehabisan alasan, Maria pun menerimanya dan berkata bahwa ia masih ingin menyumbangkan tenaganya kepada negara.
Maria diberikan tugas sebagai sekretaris perdana menteri merangkap kepala sekretariat Dewan Menteri. Di luar dugaan, tugas barunya itu jauh lebih berat daripada menjadi menteri.
“Sebagai menteri saya hanya tinggal menghadiri rapat-rapat kabinet dan mengambil keputusan-keputusan, tetapi sebagai kepala Sekretariat Kabinet saya bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut,” kata Maria dalam memoarnya.
Editor: Windu Jusuf