tirto.id - Jasitem seorang janda dari Linggarjati (sebagian orang menyebutnya "Linggajati"), sebuah desa di dataran tinggi nan sejuk yang masuk wilayah Kabupaten Kuningan. Di tahun 1918, dia masih tinggal di sebuah gubuk. Lalu, sesuatu yang tak terduga tiba-tiba menghampirinya.
“Datang seorang Belanda dari Tersana, ia mencintai Ibu Jasitem, sehingga ia diambil selir orang Belanda tersebut,” tulis Solichin Salam dalam Arti Linggajati Dalam Sejarah (1992).
Setelah itu, rumah Jasitem pun direnovasi dengan biaya suaminya pada 1921. Dari sebuah gubuk menjadi rumah separuh tembok—yang lebih elok dipandang mata orang Belanda kala itu. Beberapa waktu kemudian, dua sejoli beda bangsa itu pindah ke tempat sang suami bekerja. Sementara itu, rumah dan tanah dijual kepada seorang Belanda bernama van Ost Doom.
Sekitar tahun 1930, menurut majalah Dharmasena, Bagian 15 (1989), “rumah tersebut diperbesar dan dipermanentkan oleh pemiliknya yang baru.” Hetker, seorang Belanda lain, menyewa rumah besar itu dan dijadikan Hotel Rustoord. Pada masa pendudukan Jepang sempat dinamai Hokai Ryokai. Setelah proklamasi berubah nama lagi menjadi Hotel Merdeka.
Hotel Merdeka, menurut Solichin Salam, sempat menjadi Markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 1945. Bangunan itu berada dalam pengawasan Residen Cirebon. Kala itu, Residen Cirebon adalah Hamdani, kawan sekolah Sjahrir di Algemeene Middelbare School (AMS). Di awal kemerdekaan, Sutan Sjahrir adalah Perdana Menteri Republik Indonesia. Tak hanya Hamdani, Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja juga kawan Sjahrir. Mantan Bupati Kuningan era kolonial, Mohammad Ahmad, yang merupakan kawan Haji Agus Salim, juga kolega Sjahrir.
Baca Juga: Sebelum Sutan Sjahrir Jadi Pahlawan Nasional
Pada 1946, Perdana Menteri Sjahrir (14 November 1945 - 3 Juli 1947) berusaha menyelesaikan sengketa wilayah dengan Belanda. Sebagai negara yang ingin beradab, Indonesia pun memilih berunding dengan Belanda. Bukan hanya berperang.
Semula Jakarta dipilih sebagai tempat perundingan. Namun, menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Volume 1 (2004), pihak Republik tak bersedia berunding di Jakarta, karena sudah dikuasai tentara Sekutu. Yogyakarta yang sudah jadi ibukota (sementara) Republik Indonesia, tidak dikehendaki Belanda. “Lalu diambil jalan tengah. Tempatnya di Linggarjati, dekat Cirebon,” tulis Rosihan.
Desa Kecil untuk Perjanjian Besar
Cirebon pun sibuk. Di pelabuhan, kapal perang Bankcert pasang jangkar. Kapal itu menjadi penginapan bagi delegasi Belanda. Sementara itu, delegasi Indonesia menginap di penginapan Linggasama, yang letaknya di desa sebelah Linggarjati. Sementara itu, rumah Bupati Kuningan pun jadi penginapan sementara Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Lantaran Cirebon tiba-tiba jadi ramai, mau tidak mau penjagaan di daerah itu harus diperketat. Hal ini dilakukan untuk menghindari insiden yang bisa saja juga merugikan dan bikin malu Indonesia. Pasukan dari Jawa Timur bahkan juga didatangkan untuk keamanan.
“Menjelang akan diadakannya perundingan antara Indonesia-Belanda di Linggarjati, maka sebagian dari pasukan Kapten Abdullah dikirimkan ke Cirebon untuk melakukan tugas pengawalan. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Kapten Abdullah,” tulis Radik Djarwadi dalam Pradjurit Mengabdi (1959).
Residen Hamdani juga turut sibuk. Dia menyambut delegasi Belanda yang mendarat dari penginapannya. Mereka harus bolak-balik kota Cirebon-Linggarjati.
Baca juga: Beda Sukarno dan Sjahrir tentang Partai Politik
Dalam perundingan yang berlangsung dari 11 November hingga 14 November 1946 ini, terdapat 17 pasal yang dibahas. Hal yang tidak menyenangkan dari perundingan ini untuk Indonesia adalah harus menerima kenyataan wilayahnya tinggal Jawa, Sumatra, dan Madura. Sudah hilang banyak wilayah, Indonesia harus pula ikut dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda. Dan batas waktu tentara Belanda bercokol di wilayah Indonesia paling lambat 1 Januari 1949.
Beberapa orang menganggap, disepakatinya Perundingan Linggarjati adalah kebodohan besar. Membiarkan wilayah Indonesia hilang sejengkal adalah kesalahan fatal. Tapi yang jadi pertimbangan delegasi Indonesia adalah kekuatan militer Belanda yang hebat dan militer Indonesia yang apa adanya. Sukarno sadar keadaan itu. Risikonya, jika perundingan macet, perang akan terjadi lagi.
“Resikonya amat besar, di mana akan jatuh korban dan jiwa yang amat besar di kalangan rakyat dan Republik Indonesia bisa dipaksa melalui kekuasaan militer itu,” tulis Rushdy Hoesein dalam Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati (2010).
Suka atau tidak, Indonesia mesti menandatangani perundingan Linggarjati itu di Istana Merdeka, Jakarta, pada 15 November 1946—tepat hari ini 71 tahun lalu. Risiko terbesar ditanggung Perdana Menteri Sjahrir: ia disalahkan oleh oposisinya.
Kaum militer dan pengikut Tan Malaka juga tak suka perundingan Linggarjati disepakati. Bagi Tan Malaka, berunding dengan Belanda sama saja "berunding dengan maling yang hendak mencuri di rumah kita."
Akhirnya, Republik Indonesia meratifikasi perundingan itu pada 5 Maret 1947. Dan Kabinet Sjahrir pun berakhir pada 3 Juli tahun itu juga.
Baca Juga:Sepak Terjang Sjahrir, Amir, dan Tan Malaka Jelang Proklamasi
Belanda Mengkhianati Perjanjian
Lewat perundingan itu, menurut Rushdy Hoesein, “yang utama adalah pengakuan internasional pada kemerdekaan Indonesia, sekaligus membuka topeng Belanda yang ingin kembali menjajah, yang terang-terangan berlawanan dengan semangat kemerdekaan pasca Perang Dunia II.”
Topeng Belanda itu akhirnya terkuak. Masa-masa gencatan senjata di sekitar perundingan Linggarjati malah dijadikan fase "mengatur nafas" bagi militer Belanda. Mereka jelas sedang menyiapkan sesuatu.
Baca juga:
Beberapa minggu setelah Sjahrir tak jadi Perdana Menteri lagi, Belanda menyatakan tak terikat dengan Linggarjati pada 20 Juli 1947. Esoknya, 21 Juli, mereka melancarkan serangan tiba-tiba ke wilayah kekuasaan Republik. Serangan yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I.Perundingan di bekas rumah Jasitem itu pun gagal menghasilkan perdamaian. Dan Linggarjati dikenang orang-orang Indonesia sebagai perjanjian tak adil yang kemudian dikhianati pihak yang sebetulnya sudah untung dari perundingan itu.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan