Menuju konten utama

Cara Belanda Merespons Proklamasi 1945

Disebabkan kegagalan diplomasi, Belanda akhirnya mengeluarkan keputusan yang sulit: agresi militer.

Cara Belanda Merespons Proklamasi 1945
Pasukan Belanda memberondong dengan senapan mesin saat aksi polisionil di Yogyakarta. FOTO/Tropenmuseum

tirto.id - Bekasi, 20 Juli 1947. Balatentara Belanda merangsek ke bagian utara Jawa Barat. Setelah menguasai Jakarta dan merebut kantor-kantor pemerintahan yang penting, mereka mulai bergerak ke arah timur menuju daerah-daerah yang masih dikuasai tentara Republik.

Di daerah Tambun, Bekasi, tepatnya di sebuah desa kecil bernama Kampung Bulu, gerak mereka dihadang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang telah siaga menghadapi serbuan. Di desa ini, untuk kali pertama, balatentara Belanda terlibat baku senjata dengan pasukan TNI.

Belanda mendapat bantuan dari sepasukan laskar yang dipimpin H. Pandji, seorang jago tersohor dari Bekasi, yang membelot ke pihak Belanda lantaran laskarnya bertikai dengan prajurit TNI.

Laskar H. Pandji memang pemberani. Mereka bertempur sengit mengobrak-abrik basis pertahanan TNI di Tambun sampai-sampai TNI kewalahan menghadapinya. Untung bagi TNI, laskar kehabisan peluru sehingga mereka sempat mundur beberapa saat. Dari kontak senjata kecil di Kampung Bulu inilah rangkaian pertempuran dalam “Aksi Polisionil I” bermula.

Setelah peristiwa di Kampung Bulu itu, Belanda secara agresif mulai menyerbu wilayah Jawa Barat yang masih dikuasai Republik. Makin lama makin mengganas, dan menyebabkan korban berjatuhan di kedua pihak dalam jumlah yang tak sedikit. Belanda mengerahkan secara masif mesin-mesin perang modern untuk bertempur melawan pasukan Republik yang bersenjata ala kadarnya.

Dari perspektif yang "indonesiasentris", peristiwa ini memang disebut 'Agresi Militer', lantaran Indonesia sebagai negeri berdaulat diserang kekuatan militer negara lain. Tapi dari sudut pandang Belanda, apa yang mereka lakukan tak lain adalah 'Aksi Polisionil'—sebagai ungkapan bahwa mereka bukan menyerbu negara orang, melainkan mengamankan wilayah kekuasaan mereka sendiri.

Penggunaan kedua istilah itu memang mempunyai dimensi politik yang luas, yang menunjukkan bagaimana kedua pihak memaknai rangkaian pertempuran yang terjadi dalam rentang waktu tak sampai dua bulan itu.

Belanda jelas-jelas berpegang teguh pada pendirian konservatif bahwa Hindia mesti terus di bawah duli Sang Ratu, berapa pun harga yang mesti dibayar. Di pihak lain, kaum Republiken di Indonesia bersetia dengan sungguh-sungguh pada prinsip revolusioner mereka: sekali merdeka, tetap merdeka.

Pergulatan Internal Menjelang Aksi

Sesungguhnya bukan peristiwa Aksi Polisionil saja yang penting, melainkan soal bagaimana peristiwa itu ialah puncak gunung es dari ketegangan Belanda-Indonesia, baik di level diplomatik maupun pertempuran di lapangan, sedari kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta.

Di ranah diplomatik, pertarungan Belanda-Indonesia terhampar di atas meja perundingan yang berkali-kali mengalami kegagalan. Kedua pihak memang menyadari perselisihan mesti segera diredam karena hanya akan membawa akibat buruk. Perundingan-perundingan pun digelar, wacana gencatan senjata diapungkan. Tapi, akibat perbedaan yang tajam di antara mereka, perundingan lebih sering menemui jalan buntu.

Memang masih ada secercah harapan perdamaian manakala Persetujuan Linggarjati disepakati pada akhir 1946. Persetujuan ini menghasilkan banyak pasal yang intinya berisi agar kedua pihak saling menahan diri dan tetap menjaga perdamaian lewat mekanisme gencatan senjata. Hanya saja, lantaran dua bangsa yang berseteru itu punya tafsiran sendiri yang berbeda dengan pihak lawan, Linggarjati tampak sebagai kesia-siaan belaka. Ia gagal ketika usianya belum lagi mencapai empat bulan.

Sementara pada tataran perjuangan senjata, konflik-konflik kecil berkali-kali meletus di wilayah pertempuran. Rakyat Indonesia berjuang mengangkat senjata begitu melihat Tanah Air mereka diduduki oleh bekas penjajah, yang hendak menancapkan kembali kuku-kuku kolonialisme.

Pada dua ranah itu, terlihat jika perseteruan Indonesia versus Belanda seakan-akan suatu konflik yang tak bisa dipecahkan lantaran masing-masing tetap bergeming pada pendiriannya.

Bila ditilik lebih jauh, terutama pada level politik, Aksi Polisionil merupakan hasil pergulatan internal dalam pemerintah Kerajaan Belanda. Kondisi politik Eropa pasca-Perang Dunia II menyebabkan Belanda mesti mengindahkan tekanan dunia internasional. Apalagi sebenarnya Belanda sangat bergantung kepada “kebaikan” Amerika Serikat, terutama dalam bidang pemulihan ekonomi pascaperang. Belanda mesti berusaha keras meyakinkan dunia bahwa apa yang dilakukannya masih sesuai pasal-pasal yang digariskan dalam Piagam PBB.

Kontinuitas Pola Lama

Hal lain yang menyebabkan mengapa Belanda begitu gigih, kalau tidak bisa dikatakan keras kepala, dalam mempertahankan bekas koloninya adalah kepercayaan-kepercayaan lama sebelum perang yang masih hinggap dalam benak para diplomat dan politisi Belanda.

Kepercayaan lama berupa pendapat-pendapat dari zaman sebelum Perang Dunia II yang merefleksikan bahwa Belanda mesti tetap menjadi “tuan” di negeri Hindia. Kepercayaan usang macam ini membuat Belanda seakan menutup mata terhadap situasi terbaru yang berkembang.

Tiga setengah tahun pendudukan Jepang, dan kemudian proklamasi kemerdekaan, telah membawa perubahan sangat besar dalam struktur sosial di Hindia. Semangat kemerdekaan di kalangan rakyat Indonesia, betapapun di dalamnya banyak friksi, tetap saja terlalu serius untuk diremehkan Belanda. Sayangnya, Belanda gagap memahami perubahan itu. Mereka masih menganggap orang-orang pribumi akan menerima dengan tangan terbuka kehadiran Belanda.

Sementara itu, di pihak Indonesia, Aksi Polisionil juga mempunyai akibat-akibat politik yang luas. Keadaan politik dalam negeri yang masih dalam tahap konsolidasi menuju negara yang mapan membuat beban Indonesia makin berat ketika berkonflik dengan Belanda. Sebagai negara yang baru saja berdiri, Indonesia menghadapi dua tantangan sulit sekaligus: kesemrawutan situasi politik dalam negeri dan gangguan terus-menerus dari Belanda.

Dalam situasi pelik seperti itulah, pada dinihari 17 Juli 1947, rapat kabinet Belanda mengeluarkan kata putus: perang tak bisa terelakkan.

Infografik HL Indepth 17 Agustus

Tekanan Dunia Internasional dan Akhir Perang

Sebelum penyerbuan militer diluncurkan, Belanda berusaha menggalang dukungan dari dunia internasional, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Mereka meyakinkan dua negara itu bahwa apa yang dilakukan di Indonesia adalah 'Aksi Polisionil' yang bertujuan memadamkan kekacauan di luar daerah yang dikuasai Republik dan untuk menerapkan kesepakatan-kesepakatan dalam Persetujuan Linggarjati.

Daerah-daerah yang dimaksud oleh Belanda sebenarnya sangatlah terbatas. Namun, di depan umum, Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook menegaskan berkali-kali jika pemerintahnya sudah tak lagi terikat dengan Linggarjati.

Seperti dicatat Anthony Reid dalam Revolusi Nasional Indonesia (1996), van Mook juga tetap pada pendiriannya bahwa “seluruh Jawa harus dikuasai dan suatu pimpinan Republik yang baru dan tunduk terhadap kemauan pemerintah Belanda harus dibentuk” (hlm. 191).

Van Mook yang bersikeras itu kemudian mesti melunak karena tekanan internasional. Belanda dipaksa bersikap “lebih bijaksana” dalam menghadapi Indonesia. Penyelesaian dengan jalan militer ditolak oleh mayoritas dunia internasional.

Amerika Serikat memang kelihatannya mendukung suara ini. Tetapi penelitian terbaru Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949 (2008) menunjukkan sebenarnya Amerika menerapkan semacam “standar ganda”, kalau tidak bisa disebut “politik bermuka dua”, dalam konflik Indonesia-Belanda.

Tatkala persoalan Aksi Polisionil ini dibawa ke meja perundingan Dewan Keamanan (DK) PBB pada sidang 31 Juli 1947, Belanda akhirnya menerima tekanan dunia internasional itu dan mulai mempertimbangkan untuk menghentikan pertikaian bersenjata.

Di dalam negeri Belanda sendiri, resolusi DK PBB disetujui mengingat tekanan internasional yang berkembang. Pada satu sidang kabinet, tiga minggu usai resolusi, pemerintah Belanda memutuskan untuk menghentikan pertikaian dengan pertimbangan bahwa “sasaran yang diinginkan telah tercapai dan sikap berniat baik Belanda pada saat ini lebih penting daripada memenangkan wilayah di Jawa dan Sumatera,” ungkap Pierre Heijboer dalam Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang Khatulistiwa 1945/1949 (hlm. 50).

Hari itu juga, lewat saluran telepon, Perdana Menteri Louis Joseph Maria Beel memerintahkan van Mook untuk menghentikan peperangan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Humaniora
Reporter: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Fahri Salam