tirto.id - Gagasan tentang partai di Indonesia sudah muncul jauh sebelum kemerdekaan. Di era pergerakan nasional, topik kepartaian telah memicu sejumlah diskusi dan perdebatan. Kelahiran Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang diinisiasi Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, misalnya, bukan hanya sebagai jawaban atas Partai Nasional Indonesia (dan kemudian Partindo), melainkan juga dapat diletakkan dalam konteks perdebatan tentang model-model kepartaian.
Perdebatan itu terus berlangsung dan memuncak pada awal-awal kemerdekaan. Beberapa elite politik mulai memikirkan perlunya Indonesia menjadi negara demokratis. Dan untuk itu, perlu dibangun pula infrastruktur demokrasi agar aspirasi dan suara rakyat bisa tersalurkan lewat jalur yang demokratis.
Di sisi lain, beberapa elite tidak menghendaki adanya banyak partai. Mereka menginginkan sistem partai tunggal yang diharapkan bisa mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Partai, bagi mereka, hanyalah pemecah belah rakyat dan menjadi batu sandungan bagi terbentuknya persatuan dan kesatuan bangsa.
Sukarno, misalnya, masih merawat hasrat keberadaan sebuah partai pelopor yang menjadi satu-satunya partai. Dalam bayangan Sukarno, partai semacam itu akan menjadi wadah bagi seluruh spektrum politik yang ada.
Ia sebenarnya sempat merealisasikan gagasan partai pelopor ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyetujui desakannya soal pembentukan partai negara pada 22 Agustus 1945. Lima hari berikutnya, 27 Agustus, PPKI mengumumkan secara resmi berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara. Dalam pengumuman itu disebutkan juga mengenai pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjalankan fungsi parlemen.
PNI cuma bertahan sangat singkat, hanya empat hari. Pada 1 September partai tersebut dibubarkan lantaran dikhawatirkan bisa menjadi pesaing KNIP. Dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), George Kahin mengungkapkan, "Partai Nasional yang monolitik itu dibubarkan karena dirasa menyamai dan menyaingi KNIP sehingga mungkin kelak akan menimbulkan perpecahan" (hlm. 186).
Hanya dua bulan berselang, akibat dinamika yang begitu hebat, kondisi politik berubah arah.
Dari mereka yang memiliki gagasan perlunya pembentukan partai-partai politik, dan tidak hanya satu partai, terbitlah sebuah keputusan pemerintah pada 3 November 1945, tepat hari ini 74 tahun lalu. Sesuai dengan tanggal terbitnya, ia kemudian dikenal dengan nama “Maklumat Pemerintah 3 November 1945”.
Maklumat itu berisi anjuran agar masyarakat membentuk partai-partai politik dalam rangka, seperti disebutkan di dalamnya, “memperkuat perdjuangan… mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat.”
Maklumat Pemerintah 3 November 1945 adalah sebuah turning point bagi proses demokrasi dan kehidupan kepartaian di Indonesia. Sejarah memperlihatkan, perbedaan pandangan mengenai sistem partai tunggal dan multipartai sama menariknya dengan proses lahirnya partai-partai politik. Sebab dari situlah dapat terlihat bagaimana pergulatan pemikiran para founding father, terutama dalam hal cara mereka memberi makna pada demokrasi.
Dalam pergulatan soal partai politik tersebut, dua tokoh memegang peranan kunci dalam panggung politik Indonesia masa itu: Sukarno dan Sutan Sjahrir.
Sukarno yang Eklektik & Sjahrir yang Westernized
Sebelum menjadi presiden, Sukarno tak pernah tinggal di luar Indonesia. Meski ia memperoleh pendidikan Barat, pengalamannya diserap dari pergumulan kehidupan sehari-hari di negeri terjajah. Ia tak pernah merasakan dan dan mengamati sendiri bagaimana liberalisme dan demokrasi berjalan di suatu negara yang bebas.
Ciri paling khas dari karakter Sukarno yang tumbuh dalam lingkungan macam itu adalah prasangkanya terhadap Barat dan sistem politik liberal. Ia memang tak menampik demokrasi, tapi lebih menghendaki demokrasi yang sesuai dengan adat Indonesia.
“Indonesia,” serunya pada suatu kali, “carilah demokrasimu sendiri!”
Baginya, demokrasi yang “asli Indonesia” adalah demokrasi yang bernapaskan asas musyawarah mufakat, bukan “demokrasi pemungutan suara” seperti di negeri-negeri Barat. Musyawarah mufakat dianggap lebih mampu memelihara persatuan dan kesatuan seperti yang diasumsikan berlangsung dalam masyarakat Nusantara selama ratusan tahun.
Sukarno sedari muda memang terobsesi dengan gagasan persatuan dan kesatuan dalam kerangka negara integralistik. Sebuah negeri seperti Indonesia, yang terdiri dari bermacam suku bangsa, mesti diikat dengan tali persatuan yang kokoh agar tidak tercerai berai di masa depan.
Dari gagasan pokok macam itu, tak mengherankan bahwa Sukarno lebih menghendaki sistem partai tunggal daripada multipartai. Apalagi, selama tiga setengah tahun di bawah kekuasaan Jepang, Sukarno menyaksikan sendiri betapa kuatnya Jepang sebagai negeri yang bersatu dengan menggunakan sistem partai tunggal. Ini makin menambah tebal keyakinannya bahwa sistem partai tunggal mesti diterapkan di Indonesia agar dapat menjadi negeri yang tangguh.
Terkait pandangannya mengenai konstitusi dan struktur pemerintahan—meski kita tak bisa mengelakkan kenyataan bahwa keluasan bahan bacaannya jauh melampaui batas sempit negerinya—Sukarno hanya pernah melihat secara langsung struktur negara Hindia Belanda. Dalam negara kolonial ini, kekuasaan berada di tangan satu orang (gubernur jenderal) dan peran badan perwakilan sebagai penasihat semata.
Tak mengherankan bahwa pada awal berdirinya Republik, Sukarno dengan tegas menyatakan sistem yang berlaku di Indonesia adalah partai tunggal. Ketika itu ia mendukung didirikannya Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berfungsi sebagai staatspartij (partai negara). Pola partai tunggal macam ini adalah ciri khas negara-negara fasis dan komunis totaliter.
Sukarno tidak melihat bahwa partai tunggal yang dikehendakinya bisa jatuh ke dalam kubangan totaliterisme. Ia hanya melihat partai tunggal sebagai instrumen terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Masyarakat yang tercerai berai karena sekat-sekat partai hanya akan membuat ricuh proses persatuan itu. Ia juga melihat partai tunggal sebagai sistem yang paling cocok dengan adat dan tradisi Indonesia.
Keengganan Sukarno atas partai-partai makin memuncak tatkala ia menyaksikan zaman demokrasi liberal pada dekade 1950-an. Zaman ini memang ditandai menguatnya peran partai politik dalam pemerintahan. Bagi Sukarno, partai-partailah, karena kepentingan masing-masing yang saling bertentangan, yang menyebabkan instabilitas politik berkepanjangan. Sukarno muak dengan keadaan itu sampai ia akhirnya mengeluarkan sebuah dekrit yang mengakhiri sistem demokrasi liberal pada 1959.
Sjahrir, sementara itu, memiliki ideal demokrasi yang jauh berbeda. Dengan gagasan-gagasannya mengenai demokrasi parlementer dan sistem multipartai, Sjahrir bisa dibilang representasi “pemikiran Barat” dalam jajaran bapak pendiri republik. Ia mewakili garis politik sosial-demokrat yang sangat populer di kalangan intelektual Eropa sejak awal abad ke-20. Gagasannya tentang politik dilandasi oleh hal ini.
Ia percaya kepada sistem demokrasi Barat yang tidak menerima gagasan partai tunggal yang monolitik. Secara teoretis, ia memang mengakui bahwa staatspartij bisa saja memiliki komposisi yang beraneka rupa dan merepresentasikan berbagai ideologi serta aliran yang ada dalam masyarakat. Tetapi selalu terbuka kemungkinan bahwa partai itu akan diselewengkan, terutama oleh penguasa. Baginya, partai tunggal cenderung merepresi berbagai perbedaan-perbedaan politik yang pokok, bukannya sebagai medium untuk mengakomodasi segala macam perbedaan tersebut.
Hal lain yang dikhawatirkan Sjahrir adalah partai tunggal bisa menjadi alat penguasa untuk mengontrol dan mendisiplinkan masyarakat. Ia menganggap itu jauh bertolak belakang dengan prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan segala perbedaan dalam masyarakat bisa berjalan berbarengan.
Karena itu ia dianggap “bersih” dari noda fasisme Jepang dan lebih bisa diterima oleh Sekutu dan Belanda. Selain itu ia juga punya kecerdasan politik tersendiri yang membuatnya mudah diterima pihak lawan.
Ide Sjahrir yang menolak partai tunggal sebenarnya berasal jauh dari masa mudanya. Beda Sjahrir dengan Sukarno terletak pada pengalaman masa lalunya sebagai intelektual berpendidikan Belanda.
Sjahrir menyaksikan sendiri bagaimana demokrasi parlementer dijalankan di Belanda tatkala kuliah di sana. Pergaulannya dengan kelompok sosial-demokrat Belanda juga turut memberi warna pada pemikirannya itu. Dalam hal ini, ia sebenarnya lebih cocok dengan gagasan Hatta.
Sedangkan Sukarno tidak pernah mengenyam pendidikan di luar negeri. Ia tak pernah melihat sendiri bagaimana realitas sistem multipartai dalam kerangka demokrasi parlementer dijalankan.
Penolakan Sjahrir terhadap gagasan nasionalisme ala Sukarno juga mencerminkan pokok perbedaan di antara kedua bapak bangsa ini. Sjahrir menolak gaya nasionalisme menggebu-gebu yang baginya sangat berbahaya karena bisa mengarah kepada fasisme. Gagasan-gagasan Sjahrir yang sangat Barat ini jelas tidak sesuai dengan ide-ide Sukarno yang cenderung sinkretis dan percaya kepada sistem negara integralistik.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 27 Oktober 2017 dengan judul "Beda Sukarno dan Sjahrir tentang Partai Politik". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS