tirto.id - Secara etimologis, teosofi berasal dari kata theo (Tuhan) dan sophia (ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan). Dengan demikian, secara literal teosofi berarti pengetahuan atau kebijaksanaan dalam memandang permasalahan ketuhanan.
Sepintas, bidang kajian teosofi tidak jauh berbeda dengan teologi. Kendati sama-sama mengacu kepada pembahasan terhadap berbagai masalah ketuhanan, perbedaannya terletak dari bagaimana operasionalnya. Jika teosofi cenderung menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang terdalam, maka teologi lebih menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan.
Seseorang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog, sementara ia yang memahami kaidah teosofi disebut teosofos. Melalui pemikiran filosofis-sufistis, seorang teosofos dapat dikatakan sebagai seseorang yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan penyucian jiwa dengan tasawuf dalam mencapai pemahaman terkait masalah ketuhanan.
Munculnya kajian teosofi dapat ditelusuri dari budaya dunia Timur yang identik dengan segala mistisisme dan okultismenya. Seperti dalam hikayat Mesir kuno, Hindu, atau tradisi Timur lain yang tetap hidup dengan kultus (pemujaan) dan terkait erat dengan kultus Rosicrucian.
Adapun tokoh paling berpengaruh dari teosofi adalah Helena Petrovna von Hahn atau yang kelak dikenal dengan nama Madame Helena Petrovna Blavatsky, seorang perempuan keturunan bangsawan Rusia. Kelak, bersama Kolonel Henry Steel Olcott, ia mendirikan Theosophical Society di New York pada 17 November 1875, namun baru diresmikan pada 3 April 1905.
Menurut Iskandar P. Nugraha dalam Teosofi, Nasionalisme & Elite Modern Indonesia (2011), yang dikutip Irfan Teguh dalam tulisannya berjudul "Teosofi dan Pergerakan Nasional", sebelumnya organisasi tersebut telah berhasil merumuskan tiga hal penting terkait tujuan pendiriannya dan menjadi landasan bagi gerakan Teosofi di masa-masa selanjutnya:
1.) Membentuk suatu inti dari persaudaraan universal kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta, ataupun warna kulit.
2.) Mengajak mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
3.) Menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan menyelidiki tenaga-tenaga yang masih tersembunyi dalam manusia.
Dalam The Blavatsky Effect: How Madame Influenced Modern Concepts of God and Jesus (2014), penulis dan peneliti Ulrich R. Rohmer menyebutkan bahwa Madame Blavatsky memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan okultisme di Austria dan Jerman, terutama dengan munculnya Orde New Templar yang didirikan Guido von List dan Jorg Lanz von Liebenfels pada 1907. Kelak, Orde New Templar yang kemudian diubah menjadi Thule Society menciptakan National Socialist German Workers’ Party (Nazi) dan mengatur agar Hitler bergabung dan menjadi pemimpinnya.
Tak hanya itu, banyak peneliti yang juga mengklaim bahwa Hitler secara pribadi dipengaruhi Madame Blavatsky dan The Secret Doctrine terus berada di dekat Hitler setiap saat. Namun dugaan tersebut lebih mirip desas-desus teori konspirasi karena tak pernah ada yang benar-benar bisa memverifikasi kebenarannya.
Berpindah-Pindah Mendalami Spiritualitas
Madame Helena Petrovna Blavatsky lahir di Yekaterinoslav—kini kota tersebut bernama Dnipropetrovsk dan termasuk wilayah Ukraina—pada 12 Agustus 1831. Ketika usianya baru 17, ia menikah dengan Jenderal Nikifor Blavatsky, wakil Gubernur Erivan di Armenia yang usianya kala itu sudah 39. Dan sejak itu, Helena pun dikenal dengan nama Madame Blavatsky.
Namun pernikahan mereka hanya bertahan beberapa bulan. Setelah itu Madame Blavatsky diusir dari tanah leluhurnya dan memutuskan melakukan perjalanan ke berbagai penjuru dunia (mulai dari Eropa, Amerika Serikat, Meksiko, Amerika Selatan, Hindia Barat, hingga ke India), dengan tetap memakai nama belakang suaminya.
Dalam buku Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Teosofi dan Freemasonry di Bandung (2014) karya M. Ryzki Wiryawan yang dikutip Irfan Teguh, dijelaskan bahwa dalam perjalanannya tersebut Madame Blavatsky bertemu dengan kelompok Persatuan Putih Agung (The Great White Brotherhood) pada 1867 di Himalaya. Kelompok yang sejak 1879 dikenal sebagai Loji Mahatmas atau Transhimalaya ini mengajarkan kepada Madame Blavatsky ilmu-ilmu kuno dan menyuruhnya menyebarkan ilmu itu ke dunia modern.
“Dalam berbagai kesempatan, Madame Blavatsky selalu mengatakan bahwa ajaran Teosofi—nama yang kemudian ia pakai untuk ajaran ini—yang disampaikannya tak lain merupakan pesan yang diterimanya dari dua tokoh dalam kelompok persaudaraan tersebut, yaitu yang disebut sebagai Master KH (Koot Hoomi Lal Singh) dan M (Morya),” tulis Ryzki.
Ryzki menambahkan bahwa tanpa instruksi khusus dari kedua gurunya tentang bagaimana ia harus menjalankan perintah itu, Madame Blavatsky pergi ke Kairo untuk mendalami ajaran mistik. Di sana ternyata ia tak menemukan apa yang dicarinya, sehingga ia pergi ke Paris dan tinggal bersama saudaranya.
Tak lama tinggal di Paris, Madame Blavatsky kemudian pindah ke Amerika Serikat atas perintah gurunya untuk memulihkan sikap skeptis sebagian masyarakat Amerika Serikat terhadap munculnya gerakan kebangkitan spiritualisme. Pada 2 Agustus 1832 ia kemudian bertemu dengan Kolonel Olcott, seorang anggota Freemasonry (Tarekat Mason Bebas), yang juga tengah mendalami spiritualisme. Keduanya kemudian merintis penggalian ilmu filosofi dan okultisme untuk menjelaskan ke masyarakat soal fenomena-fenomena yang berlaku.
“Mereka merancang gerakan Teosofi yang pada awalnya diarahkan kelompok Brotherhood of Luxor. Kelompok ini tampaknya memiliki hubungan dengan gerakan Freemasonry di Amerika Serikat,” tambah Ryzki.
Pada 1875, di hadapan para Mason di New York, Kolonel Olcott mengusulkan pembentukan sebuah organisasi bernama Theosophical Society. Dalam pidato peresmian acara tersebut, Kolonel Olcott mengatakan harapannya agar para anggota membuat penelitian dalam perbandingan agama demi menemukan “ancient wisdom”, khususnya dalam sumber sumber primer dari semua agama, buku-buku Hermes, dan Veda.
Pada September 1877 Madame Blavatsky melahirkan buku yang disebut-sebut sebagai karya terbesarnya: Isis Unveiled. Buku ini menguraikan sejarah, ruang lingkup, dan perkembangan occult science, sifat dan asal ilmu sihir, akar kekristenan, kesalahan teologi Kristen, hingga mengenai kekeliruan ajaran-ajaran ortodoks.
Berkunjung ke Jawa
Majalah Teosofi, Lucifer, seperti dikutip Iskandar P. Nugraha, melaporkan bahwa sebelum mendirikan Theosophical Society, Madame Blavatsky berkali-kali ke Hindia Belanda dan menaruh perhatian tinggi terhadap nilai-nilai Jawa yang menurutnya dapat dijadikan penyumbang ajaran Teosofi. Kunjungan pertama dilakukan pada 1852.
“Blavatsky mengunjungi Candi Mendut dan Borobudur, lalu sempat singgah di Pekalongan dan bermalam di Pesanggrahan Limpung di lereng Gunung Dieng. Pada 1862, ia kembali berkeliling Pulau Jawa dan diberitakan menyinggahi banyak tempat di Jawa,” tulis Nugraha.
Setelah kunjungan Madame Blavatsky, sebagian masyarakat Jawa mulai tertarik dengan Teosofi, khususnya di Jawa Tengah. Gerakan Teosofi pertama di Hindia Belanda didirikan di Pekalongan yang lojinya dipimpin seorang bangsawan Eropa (Jerman) bernama Baron van Tengnagel. Organisasi yang dinamakan The Pekalongan Theosophical Society ini diakui secara sah oleh Theosophical Society pusat yang waktu itu berkedudukan di Adyar, dekat Madras, India. Izinnya ditandatangani langsung oleh Kolonel Olcott.
Adyar juga menjadi tempat di mana Madame Blavatsky melahirkan karya keduanya pada 1888, The Secret Doctrine: dua volume besar yang berisikan bait-bait terjemahan dari The Secret Book of Dzyan, sebuah kitab mengenai kebijaksanaan esoteris yang basisnya ditakik dari teks-teks suci dalam kepercayaan Tibet Kuno.
Madame Blavatsky kembali menerbitkan dua karya penting seperti The Key of Theosophy, sebuah penjelasan terperinci dalam bentuk pertanyaan dan jawaban mengenai etika, ilmu pengetahuan, dan filsafat dalam horison Theosophical Society. Lalu The Voice of The Silence, sebuah buku yang berisi bait-bait pilihan yang diterjemahkan dari kitab suci Timur yang amat mistis, The Book of The Golden Precepts.
Kedua buku tersebut terbit di tahun 1890—fase-fase terakhir dalam hidup Madame Blavatsky. Pada Juli di tahun yang sama ia mendirikan Pusat Theosophical Society untuk Uni Eropa di 19 Avenue Road, St John Wood, London. Di tempat inilah ia meninggalkan tubuh fisik pada 8 Mei 1891, tepat hari ini 128 tahun lalu.
Sementara itu posisi Kolonel Olcott sebagai ketua Theosophical Society kemudian digantikan Annie Wood Besant pada 1907. Annie Besant adalah warga Inggris, ateis yang cukup radikal, dan anggota Fabian Society—perhimpunan politik tertua di Inggris berpaham sosialisme demokrat yang didirikan tahun 1884.
Di bawah kepemimpinan Besant, Theosophical Society tumbuh kian pesat. Dari semula hanya ada 11, kini mencapai lebih dari 30 Section atau Perhimpunan Nasional. Berbagai karyanya masih menjadi salah satu acuan penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai teosofi, seperti A Study in Consciousness, Esoteric Christianity, Seven Great Religions, hingga Bhagavadgita.
Pada 1911 Besant merumuskan Teosofi sebagai agama universal atau world religion—sebuah pandangan yang diyakini masyarakat Teosofis bahwa agama-agama adalah hikmah ilahi yang lahir dari Zat yang Satu.
Editor: Ivan Aulia Ahsan