Menuju konten utama
Mozaik

Ernest Dezentje, Pelukis Mooi Indie dan Kawan Karib Sukarno

"Sukarno menggemari karya Dezentje sebagaimana ia menggemari patung perempuan yang bertubuh harmonis, berwajah siap pasrah..."

Ernest Dezentje, Pelukis Mooi Indie dan Kawan Karib Sukarno
Header Mozaik Maestro Dezentje. tirto.id/Tino

tirto.id - Mangil Martowidjojo berjalan di sepanjang Jalan Veteran, Jakarta, pada suatu siang di bulan Desember 1950. Ajudan Presiden Sukarno itu ditugaskan untuk menemukan pelukis Ernest Dezentje.

Dalam Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999) disebutkan, Sukarno kehilangan salah satu lukisan karya Dezentje yang rencananya akan dipasang di Istana Negara, tak lama setelah Belanda hengkang.

Dezentje akhirnya ditemukan. Dengan haru pelukis kelahiran Jatinegara itu menerima ajakan Mangil untuk menemui Sukarno. Ia masih tidak percaya, Sukarno yang telah menjadi Presiden Republik Indonesia, masih mengenalnya.

Sebagai orang yang menyukai seni, Sukarno sering meminta Dezentje untuk membuat lukisan yang kemudian dipajang di Istana Negara, baik di Jakarta maupun di Bogor.

Menurut Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 9 (2011), "Sukarno menggemari karya Dezentje sebagaimana ia menggemari patung perempuan yang bertubuh harmonis, berwajah siap pasrah, tak menunjukkan pembangkangan apalagi kekacauan."

Hubungan keduanya sudah terjalin sejak lama. Dalam Dongeng dari Dullah (2020), Agus Dermawan T. mengungkapkan, Sukarno sempat menitipkan putranya, Guntur Sukarnoputra, di rumah Dezentje di Bogor, saat situasi di Istana Negara genting.

Menurut Dullah, hubungan Sukarno dengan Dezentjé merupakan persahabatan yang sangat akrab.

Dullah merupakan salah satu pelukis aliran realisme ternama Indonesia, yang juga salah satu pelukis dan kurator seni rupa Istana Negara di masa Presiden Sukarno.

Keturunan Pengusaha Perkebunan

Ernest Regnard Leonce Dezentje lahir pada 1885. Ia, seturut buku The journey of Indonesian Painting: The Bentara Budaya Collection (2008) merupakan pelukis aliran Mooi Indie. Ia kerap melukis pemandangan alam dengan gaya yang dipengaruhi impresionisme Eropa Barat awal abad ke-20.

Mooi Indie berkembang di Hindia Belanda pada abad ke-19. Panorama alam yang menonjolkan keindahan Hindia Belanda menjadi objek lukisan aliran ini. Karya-karya aliran ini sering dibuat untuk mempromosikan negeri jajahan sebagai daya tarik wisata.

Ernest mulai melukis pada usia 30 tahun secara otodidak. Teman-teman seangkatannya seperti G. Adolf, R. Bonnet, c.L. Dake, Willy Halwyn, dan Van Aken sesekali memberikan petunjuk-petunjuk melukis kepadanya. Di setiap hasil karyanya, ia membubuhkan tanda Ern.Dezentje.

Menurut M. Agus Burhan dalam Perkembangan Seni Lukis: Mooi Indie sampai Persagi di Batavia, 1900-1942 (2008), Dezentje dikenal selalu menangkap cahaya tropis yang melimpah. Dia memiliki talenta kuat, terkenal, dan mendapat perhatian dari banyak pengamat.

Selain menjadi anggota Bataviasche Kunstkring, dia juga banyak menyelenggarakan pameran tunggal di Batavia antara tahun 1936 dan 1939.

Bataviasche Kunstkring merupakan komunitas seni di Batavia yang berupa jaringan seniman-seniman Belanda dan Eropa di Hindia Belanda. Komunitas ini memiliki gedung kesenian rancangan PAJ Moojen dan berlokasi di Heutszboulevard No. 1 (sekarang Jalan Teuku Umar, Jakarta).

Menurut Agus Dermawan T. dalam Bukit-Bukit Perhatian: dari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Seni Bung Karno (2004), di gedung Bataviasche Kunstkring kerap digelar opera simfoni dari Eropa. Perhelatan yang paling dikenang publik adalah pameran lukisan karya maestro dunia seperti Pablo Picasso, Kees van Dongen, van Gogh, dll.

Abdullah Abubakar Batarfie dalam artikel berjudul "Jejak Pelukis Ternama Indonesia Berdarah Belanda" menyebut Ernest merupakan anak ke-3 dari delapan bersaudara. Ia anak dari pasangan Leon Caspar zn Desentje dengan Wihelmina Henriette Charlotte Reijnhart atau Wihelmina Dezentje.

Ernest merupakan keturunan dari pengusaha perkebunan di Kasunanan Surakarta, Johannes Agustinus Dezentjé (1797-1839). Di masa Perang Jawa (1925-1930), Johannes yang terkenal dengan sebutan Tinus, menyewa 1500 prajurit asing untuk melindungi perkebunannya.

Infografik Mozaik Maestro Dezentje

Infografik Mozaik Maestro Dezentje. tirto.id/Tino

Keberhasilan Tinus memengaruhi Sri Susuhunan Surakarta untuk mengambil sikap netral pada Perang Jawa membuatnya diganjar penghargaan Orde de Nederlandse Leeuw oleh Kerajaan Belanda.

Tinus dihormati di lingkungan Kasunanan Surakarta. Penghormatan ini diberikan setelah Tinus menjadi bagian dari keraton karena menikahi Raden Ajoe Soran Sara Helena Tjondrokoesoemo, putri Kasunanan Surakarta Pakubuwana IV, Sunan Bagus Raden Mas Subadya. Dari pernikahan ini, lahirlah Johannes Augustinus Diederik Caspar Dezentje, kakek Ernest dari pihak ayah.

Setelah Indonesia merdeka, Ernest Dezentje memilih kewarganegaraan Indonesia. Ia menikah dengan perempuan Sunda asal Kampung Muara, Bogor, Siti Rasmani. Menurut Abdullah Abubakar Batarfie, Kampung Muara dahulu memberikan keindahan yang memberi inspirasi bagi para pelukis Mooi Indie.

Letak kampung ini di atas perbukitan dengan latar belakang Gunung Salak. Di bawah bukit, terdapat sebuah pulau di tengah sungai Ci Sadane. Pulau ini berada di ujung pertemuan sungai Ci Sadane dengan sungai Ci Pinang Gading.

Pasangan ini tinggal di kawasan Bondongan, Jalan Pahlawan, Bogor. Rumah mereka kiwari telah berubah menjadi Gedung PT Bostingko. Di rumah inilah Guntur Sukarnoputra pernah dititipkan.

Karena tidak dikaruniai, pasangan ini kemudian mengadopsi anak laki-laki bernama Satria Djupriyani, keponakan Siti Rasmani. Satria tumbuh mengikuti jejak ayah angkatnya dan dianggap sebagai penerus Ernest Dezentje oleh banyak pengamat seni rupa.

Ernest Dezentjé meninggal pada 12 Januari 1972 di Jakarta. Ia dimakamkam di samping makam istri tercintanya, Siti Rasmani. Letak makam keduanya sekarang berada di Kampung Muara Kidul, Desa Pasir Jaya, Kecamatan Bogor Barat.

Baca juga artikel terkait PELUKIS atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi