Menuju konten utama
Seri Para Pelukis Revolusi

Dullah dan Bocah-Bocahnya yang Melukis Kegetiran Revolusi

Dullah bertahan di Yogyakarta ketika Belanda menyerbunya pada Desember 1948. Ia mengumpulkan anak-anak didik untuk merekam pendudukan Belanda.

Dullah dan Bocah-Bocahnya yang Melukis Kegetiran Revolusi
Dullah. tirto.id/Lugas

tirto.id - Dalam sebuah pameran pada Desember 1979, pelukis Dullah pernah berujar bahwa ia tak akan menjual lukisannya kepada kolektor perseorangan selama pameran berlangsung. Ia hanya akan menjual lukisannya jika ditawar oleh pemerintah untuk mengisi museum.

“Saya ingin memegang teguh pesan Mas Affandi,” ujar Dullah sebagaimana dikutip harian Kompas (27/12/1979).

Dulu Affandi pernah berpesan bahwa jika lukisan itu dimiliki kolektor privat, lebih-lebih dari luar negeri, akan sukar mengumpulkannya lagi. “Siapa yang susah? Kita lagi,” kata Dullah menirukan mentornya itu.

Dalam pameran itu Dullah tak sendiri. Ia berpameran bersama 29 muridnya dari Sanggar Pejeng. Ada 119 lukisan Dullah dan 281 lukisan murid-muridnya yang dipamerkan. Lukisan-lukisan itu bukanlah karya sembarangan, karena sebagiannya lahir dari pengalaman nyata kala revolusi berkecamuk di Indonesia pada 1945-1949.

Karena nilai sejarah lukisannya itulah ia lebih rela jika pemerintah Indonesia yang membeli lukisannya dan dipajang di museum Indonesia. Lebih-lebih ia tak rela jika ada karyanya atau karya anak didiknya semasa revolusi dipajang di Belanda. Karena sikap antipati itulah yang membuat ia enggan mendatangi pameran lukisan revolusi muridnya di Lagermuseum, Delft, Belanda, pada 1992.

Ia bahkan mencurigai orang Belanda justru ingin merusak lukisan itu. “Cukup disemprot dengan cairan transparan, setahun kemudian lukisan kertas itu akan remuk seperti tepung,” kata Dullah sebagaimana dikutip Agus Dermawan T. dalam Riwayat yang Terlewat (2011: 96).

Pelukis Patriotis

Pelukis Dullah lahir di Surakarta, 19 September 1919. Sejak kecil ia telah akrab dengan seni karena tumbuh dalam keluarga pembatik. Tak banyak catatan tentang mula ia tertarik dan belajar melukis. Berdasarkan lukisan tertua yang disimpan di Museum Dullah, Surakarta, diperkirakan Dullah sudah mulai berkarya pada paruh akhir 1930-an.

Yang terang ia adalah murid Sudjojono di seksi kesenian Pusat Tenaga Rakyat dan kemudian Keimin Bunka Shidoso semasa Jepang menduduki Indonesia. "Saya belajar bagaimana menghargai lukisan dan karya seni lainnya dari Sudjojono," kata Dullah.

Ia kemudian belajar teknik melukis lebih dalam dari Affandi ketika bergabung dengan organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) kala revolusi kemerdekaan berkecamuk. Ia juga diketahui sempat belajar melukis lanskap dari pelukis Ernest Dezentje. Sebagaimana umumnya pelukis lain yang tergabung dalam SIM, Dullah menerima pesanan khusus dari pemerintah Indonesia untuk membuat poster dan fresko bertema patriotisme.

Sejak masa revolusi itulah ia konsisten melukis dengan gaya realis. Pengaruh Sudjojono dan Affandi terlihat dalam pilihan temanya yang tak jauh-jauh dari kehidupan rakyat dan suasana perang. Meskipun, menurut M. Agus Burhan dalam Seni Lukis Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra (2013), penggambarannya tak setegas yang terlihat pada karya kedua mentornya itu.

“Karya-karya Dullah yang lain kebanyakan menangkap sosok anak-anak kampung atau figur-figur orang desa dalam berbagai pose dan kegiatan. Walaupun lukisan-lukisan Dullah bisa menangkap warna lokal dengan kuat, tetapi kelembutan garis dan warnanya mengungkapkan perasaan romantis,” tulis Agus Burhan (hlm. 91).

Beberapa lukisannya yang lahir dari masa ini adalah rekonstruksi-fotografis dari pengalaman dan peristiwa yang disaksikannya. Hal itu, misalnya, tampak pada lukisan “Persiapan Gerilya” dan “Praktek Tentara Pendudukan Asing”. Lukisan “Persiapan Geriya” kemudian dikoleksi Presiden Sukarno dan dijadikan ilustrasi sampul bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi.

Mendokumentasikan Agresi Belanda II

Pada 19 Desember 1948 Belanda menyerbu dan akhirnya menduduki Yogyakarta. Sukarno dan beberapa pejabat pemerintahan lainnya ditangkap. Militer Indonesia yang tak siap atas agresi itu terpaksa keluar dari ibu kota. Seniman-seniman SIM pun kena imbasnya, mereka terpaksa mengungsi dan kegiatan terhenti.

Dullah adalah salah satu dari mereka yang mengungsi. Namun, entah dapat ide dari mana, ia dan istrinya Fatima justru memilih untuk kembali ke Yogyakarta. Usai merasa cukup membikin sketsa-sketsa pengungsian ia memutuskan untuk mendokumentasikan agresi Belanda itu dalam lukisan.

Selain berkegiatan di SIM, Dullah ternyata juga membuat sanggar sendiri di mana ia mengajari anak-anak melukis. Anak-anak inilah yang kemudian ia kumpulkan untuk mendokumentasikan peristiwa pendudukan Kota Yogyakarta kala itu. Di antara mereka itu adalah Mohammad Toha, Mohammad Affandi, Sardjito, Sri Suwarno, dan F.X. Supono Siswosuharto.

“Dengan cat air seadanya, anak-anak yang berusia 11 sampai 15 tahun itu diminta melukis perang secara on the spot. Dullah membuka jalan dan mengatur strategi untuk semua itu,” tulis pengamat seni rupa Agus Dermawan T. dalam Riwayat yang Terlewat (hlm. 96).

Tiap hari anak-anak itu berkeliling Yogyakarta untuk melukis peristiwa yang mereka saksikan. Dullah membekali mereka dengan pensil, cat air, dan kertas ukuran 7x10,5 cm. Usai melukis biasanya mereka akan menyerahkan hasilnya pada Dullah atau istrinya untuk disembunyikan.

Mohammad Toha adalah yang termuda di antara kelima murid Dullah itu, tetapi tekniknya yang paling bagus. Toha juga yang paling banyak menghasilkan lukisan agresi Belanda. Semua lukisan dokumenter itu lantas dikumpulkan Dullah dalam buku Karya dalam Peperangan dan Revolusi (1982).

Dullah menyamarkan Toha sebagai tukang rokok keliling. Ke mana-mana ia menenteng koper kecil berisi macam-macam merek rokok. Di bawah tumpukan rokok itulah Toha menyembunyikan peralatan lukisnya. Dengan begitu ia bisa bebas berkeliling dan memantau peristiwa tanpa dicurigai.

Begitu menemukan peristiwa menarik, ia langsung membuat sketsanya dengan pensil. Jika memungkinkan, ia akan mewarnainya saat itu juga. Jika tidak, sketsa itu akan disempurnakannya di rumah. Terkadang ia melukis suatu peristiwa secara sembunyi-sembunyi dari dalam rumah warga yang kosong.

“Pernah terjadi, Toha dengan ibunya sedang pergi untuk sesuatu keperluan, di tengah perjalanan terjadi kontak senjata antara serdadu-serdadu Belanda dengan pasukan gerilya Republik. [...] Toha dengan ibunya cepat menyelinap masuk ke rumah orang yang dekat di situ. Sambil berlindung Toha mengintip dari lobang-lobang bilik, melihat dan membuat sket bagaimana tentara Belanda itu dihajar habis-habisan oleh gerilya-gerilya Republik,” kisah Dullah (hlm. 15).

Infografik Seri Pelukis Revolusi Dullah

Meskipun telah menyamar toh mereka juga tak lepas dari bahaya. Soepono, misalnya, yang selain melukis juga menjadi kurir pesan gerilyawan. Seringkali ia harus melewati daerah-daerah berbahaya untuk menyampaikan pesan dari dalam kota ke desa-desa tempat gerilyawan sembunyi.

Yang paling malang adalah Sardjito. Ia tertangkap tentara Belanda dan dijebloskan ke penjara anak-anak di Tangerang. Tak ada yang tahu kabarnya hingga Dullah menerima sepucuk surat dari Sardjito.

“Selamat Hari Raya mas Dullah serta mbak Dullah. Saya diputus hukuman 7 tahun. Umur saya sekarang 14 tahun. Jadi kalau saya keluar nanti umur saya 21 tahun. Masih kuat untuk melanjutkan perjuangan,” demikian bunyi surat Sardjito kepada Dullah (hlm. 15-16). Sardjito tak ketahuan rimbanya sejak itu.

Sampai akhirnya Belanda angkat kaki dari Indonesia pada Desember 1949, bocah-bocah revolusi itu telah membuat sekira 84 lukisan. Banyak peristiwa terdokumentasi di situ: mulai dari penduduk yang dijadikan perisai oleh serdadu Belanda, skuadron pesawat “cocor merah” yang mengebom bandara Maguwo, pembersihan penduduk, hingga serdadu Belanda yang mencuri ayam. Kekerasan demi kekerasan yang disaksikan benar-benar membuat mental anak-anak itu remuk.

“Ketika pertama kali melihat para gerilyawan kita mati ditembaki Belanda, seminggu saya tak bisa makan. Sungguh, perang itu buruk sekali,” kenang Toha sebagaimana dicatat Agus Dermawan T. dalam Bukit-bukit Perhatian: Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Seni Bung Karno (2004: 33).

Kegetiran dan trauma perang semacam itulah yang agaknya menumbuhkan antipati Dullah terhadap Belanda. Bahkan hingga masa senja usianya, ketika ia menolak undangan pameran lukisan Toha di Belanda pada 1992.

Sementara, lukisan murid-murid Dullah sendiri baru dipamerkan pada 1978 di Gedung Agung, Yogyakarta. Dullah juga memajang karya bocah revolusi itu di museum pribadinya yang terletak di Surakarta.

==========

Sepanjang Oktober hingga November, Tirto menayangkan edisi khusus bertajuk "Seri Para Pelukis Revolusi". Serial ini ditayangkan setiap Kamis.

Baca juga artikel terkait PELUKIS REVOLUSI atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan