tirto.id - Pada sebuah Sabtu pagi, menjelang akhir dari musim panas 2018, saya menempuh perjalanan singkat menuju sebuah kota tua kecil bernama Schiedam di pinggiran metropolitan Rotterdam, Belanda.
Schiedam adalah kota yang berdiri sejak Abad Pertengahan, pada 1230 di sebuah kelokan Sungai Schie yang dibendung. Sungai Schie bermuara di Sungai Maas, yang merupakan salah satu sungai utama yang menghubungkan Kota Rotterdam dengan Laut Utara.
Sejak abad ke-15, Schiedam terkenal sebagai kota peziarahan dan pemujaan terhadap Santa Liduina yang hidup di sini antara tahun 1380 hingga 1433.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, kawasan Schiedam bagian selatan berkembang menjadi salah satu fasilitas galangan kapal yang ada di sepanjang bantaran Sungai Maas. Perkembangan industri perkapalan ini menjadi pemicu perkembangan kawasan Schiedam Selatan, atau biasa disebut De Gorzen, menjadi kawasan permukiman buruh galangan kapal.
Sejak menaiki bus lokal dari stasiun kereta Schiedam pagi itu, meleset dari prakiraan cuaca yang saya baca, hari itu agak mendung dan hujan turun rintik-rintik.
Perjalanan saya saat ini bertujuan untuk mengunjungi sebuah gereja Katolik, Heilig Hartkerk (Gereja Hati Suci), yang dibangun pada tahun 1927.
Saya turun di sebuah perhentian yang dekat sekali dengan gereja itu. Lingkungan itu didominasi oleh hunian deret tiga lantai yang berdinding lapis bata berwarna gelap dan terang. Bangunan-bangunan yang lebih tua biasanya memiliki warna dinding yang merah gelap, sementara bangunan-bangunan baru biasanya memiliki warna dinding bata yang kekuningan.
Deretan rumah ini kadang memiliki lantai dasar yang diisi oleh berbagai fasilitas komersil seperti toko, apotik, praktek dokter, restoran, atau kantor. Saya berjalan bergegas menuju gereja yang seluruhnya dibungkus oleh bata berwarna merah gelap, lebih pekat dari rata-rata rumah di kawasan ini.
Ketika mendekati gereja, saya mengamati menara yang menjulang setinggi 50 meter, dibalut dengan bata merah gelap dan bermahkotakan sebuah kuncup piramidal berbidang lengkung berlapis kepingan batu abu-abu. Menara ini tepat terletak pada noda yang menyatukan 5 jalan utama kawasan De Gorzen ini sekaligus sehingga secara lokasi dan bentuk, menara ini bertindak sebagai markah kawasan De Gorzen.
Menara gereja berdiri diapit oleh sebuah hunian yang merupakan kediaman pengurus gereja tersebut dan gedung gerejanya sendiri. Saya menaiki sekitar 5 anak tangga di muka gereja dan mulai mengamati fasad gereja ini yang didominasi oleh lapisan batu bata merah gelap.
Siluetnya berbentuk segitiga dengan elemen gawangan pintu utama yang sedikit menonjol dari dinding fasad, diapit oleh dua jendela kecil di kiri dan kanan, serta jendela kaca patri berbentuk gawangan bersudut – pointed arch – yang khas ditemukan pada gereja-gereja Gotik Eropa dari Abad Pertengahan.
Kepolosan dinding dan tekstur kasar bata merah gereja ini memberikan aura yang tua, sebagaimana yang khas ada di gereja-gereja bergaya Romanik yang dibangun pada abad ke-6 hingga ke-11, meskipun usianya belum seabad.
Sementara itu ornamentasi permukaannya merupakan permainan pasangan bata merah gelap yang dilakukan dengan hati-hati. Kreatifitas pasangan bata merah ini merupakan ciri khas tradisi estetika Amsterdamse School yang populer dalam kurun waktu 1910-1930 di Belanda. Aura yang dipancarkan oleh arsitektur gereja ini begitu janggal, karena memberikan memberikan suasana yang
Sepintas tidak ada aktivitas yang berarti di lingkungan dan di gereja ini, namun setelah beberapa kali saya mengambil posisi untuk memotret gereja ini dan hendak bergegas pergi, ternyata ada seorang wanita paruh baya keluar dari pintu samping gereja.
Ia tampak seperti seseorang yang bertugas mengurus gereja tersebut, dan ketika ia mulai menghampiri dan menyapa, saya memberikan salam dan menceritakan secara singkat apa yang sedang saya lakukan dan kenapa saya tertarik terhadap gereja ini.
Saya menjelaskan bahwa saya sedang melakukan penelitian dan mempelajari arsip-arsip arsitek Johannes Martinus (Han) Groenewegen (1888-1980) di Het Nieuwe Instituut, Rotterdam, yang merupakan sebuah fasilitas arsip arsitektur Belanda yang terletak di Rotterdam.
Seminggu terakhir saya habiskan untuk mendokumentasikan arsip-arsip peninggalan Han Groenewegen yang mencakup karya-karyanya yang tersebar di Den Haag, Schiedam, hingga ke Medan, Semarang, Padang, dan Jakarta.
Wanita tersebut berbinar seketika saya menyebutkan nama Groenewegen dan dengan antusias menceritakan bahwa nama tersebut sangatlah erat dengan komunitas De Gorzen, terutama bagi umat gereja Heilg Hart.
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Jolanda Koning.
Awal Mula Keterlibatan Groenewegen di Heilig Hartkerk
Jolanda bergegas memanggil suaminya, Henry de Wolf, yang kemudian dengan sangat ramah mengundang saya untuk ke dalam untuk melihat-lihat.
Mereka sangat antusias untuk mendengar sepak terjang Han Groenewegen di kota-kota yang jaraknya hampir 10.000 kilometer jauhnya dari Heilig Hartkerk.
Sambil berkeliling gereja, mereka menceritakan riwayat singkat mengenai bagaimana gereja tersebut dirancang dan dibangun.
Pendirian Heilig Hartkerk diawali dengan upaya Uskup Haarlem, Mgr. Augustinus J. Callier (1849-1928) yang pada November 1916 memutuskan untuk membentuk paroki baru di Schiedam, terutama di kawasan permukiman kelas pekerja di De Gorzen.
Upaya penggalangan dana langsung dilakukan panitia. Tetapi karena berbagai kesulitan yang diakibatkan oleh Perang Dunia ke-2 (1914-1918), pembangunan gereja “batu” urung dilakukan dan sebagai penggantinya didirikanlah gereja kayu sementara.
Seusai Perang Dunia ke-1, seorang arsitek perancang spesialis gereja bernama Jan van Gils (1865-1919) ditugaskan untuk membuat rancangannya. Tetapi sebelum sempat menyelesaikan tugasnya, van Gils meninggal dunia.
Untuk menggantikannya, Pierre Cuypers (1827-1921) - yang terkenal atas rancangan Rijksmuseum (dibangun pada 1876-1885) - diundang untuk menyelesaikan perancangannya.
Dari dua rancangan Cuypers, rancangan kedua disetujui oleh keuskupan dan Kotapraja Schiedam pada tahun 1924. Lokasi tempat gereja ini didirikan merupakan area tepian kawasan yang berbatasan dengan dinding bendungan, sehingga lahan gereja ini terletak sekitar 4 meter lebih rendah daripada jalan utamanya.
Selain itu, lahan tempat berdiri gereja ini juga berupa tanah yang berair sehingga pekerjaan pondasi dan lantai dasarnya memerlukan biaya besar. Rancangan Cuypers ditaksir akan menghabiskan 175.000 gulden (sekitar 4 juta dollar AS saat ini), lebih mahal 50.000 gulden (setara dengan 1 juta dollar AS saat ini) dari anggaran awal yang ditentukan.
Bagi panitia dan jemaat kawasan De Gorzen yang relatif bersahaja, penambahan ini merupakan masalah yang sangat pelik.
Panitia yang baru akhirnya menghubungi arsitek Han Groenewegen, yang saat itu merupakan arsitek muda yang telah cukup dikenal.
Groenewegen mengawali karirnya di Den Haag sejak tahun 1912. Setelah bekerja di beberapa biro arsitektur dan insinyur, ia mendirikan praktek arsitekturnya sendiri pada tahun 1920.
Groenewegen adalah seorang Katolik yang taat dan juga seniman serba bisa. Sesaat setelah mendapatkan tawaran pekerjaan merancang Heilig Hartkerk, Groenewegen menyanggupi untuk membuat rancangan yang dapat menghemat anggaran sebesar 50.000 gulden.
Beberapa upaya juga dilakukan agar anggaran bisa lebih hemat, misalnya dengan membatasi kapasitas gereja menjadi hanya maksimal 1.200 jemaat.
Rancangan Pierre Cuypers tidak sepenuhnya dibatalkan tetapi denahnya diadaptasi oleh Groenewegen menjadi rancangan yang baru, yang tampilannya lebih sederhana dan bersahaja.
Pada Mei 1925, Cuypers dan Groenewegen mempresentasikan rancangan mereka, dan dengan sedikit penyesuaian rancangan mereka akhirnya disetujui. Kedua arsitek juga bersepakat bahwa mereka tidak meminta bayar bagi pekerjaan ini.
Bagi Jolanda dan Henry, perjuangan untuk mendirikan gereja paroki yang diimpikan merupakan sebuah perjalanan panjang bagi masyarakat setempat.
Meskipun jemaat yang hadir ke ibadah cenderung menipis dari waktu ke waktu, agama Katolik dan bangunan gereja masih merupakan sebuah simbol identitas penting bagi masyarakat Belanda, terutama bagi kawasan De Gorzen dengan latar belakang sejarah sosial mereka sebagai kaum pekerja galangan kapal.
Gereja ini juga memiliki tempat khusus bagi masyarakat setempat karena, selain merupakan upaya patungan dari penduduk setempat di masa-masa sulit di Perang Dunia ke-1, gedung gereja ini juga sempat digunakan sebagai tempat persembunyian para pejuang perlawanan pendudukan Jerman pada masa Perang Dunia ke-2.
Jolanda dan Henry mengantarkan saya melihat lihat struktur utama atap berupa gawangan bersudut yang dilapis oleh panel kayu lapis, sementara dinding-dinding dalamnya – juga dari bata merah – dihiasi dengan jendela-jendela kaca patri yang juga berbentuk gawangan bersudut menghantarkan cahaya matahari temaram ke dalam ruang ibadah.
Hal lain yang istimewa dalam sebuah gereja yang bersahaja ini adalah bahwa pada beberapa sudut ruang terdapat benda-benda seni yang berfungsi sebagai obyek pemujaan sesuai dengan aturan liturgis agama Katolik Romawi.
Selain berperan sentral dalam pengelaman spiritual jemaat gereja, benda-benda seni ini juga memperkaya pengalaman estetik karena mereka merupakan karya-karya perupa terkemuka seperti Willem Adolfs (1903-1945), Jan Toorop (1858-1928), Adriaan van der Plas (1899-1974), Andreas Henderickx (1911-1979), dan Han Groenewegen sendiri yang merancang altar, aksesoris bagi prosesi komuni, bangku jemaat, hingga tempat lilin.
Karya Han Groenewegen di Indonesia
Han Groenewegen sendiri tidak sempat menghadiri peresmian gereja Heilig Hart karena pada tahun 1927 ia telah bermigrasi ke Medan, Hindia Belanda.
Meskipun demikian, Groenewegen tetap berkomitmen membantu penyelesaian pembangunan gereja ini dengan surat menyurat.
Kepergiannya ke Medan ternyata membawa berbagai gagasan yang ia kembangkan pada saat ia mengerjakan proyek gereja Heilig Hart di De Gorzen. Pada karya perdananya di Medan, Rumah Sakit St. Elizabeth (dibangun pada 1927-1930), Groenewegen menerapkan bentuk atap menara yang serupa dengan yang ia terapkan pada Heilig Hart.
Pada kesempatan kedua di Medan, Groenewegen sempat merancang sebuah usulan awal (1927) bagi Gereja Katolik Tionghoa (sekarang bernama Gereja Katolik Yesus Raja) dengan bentuk menara yang mirip dengan menara Heilig Hartkerk. Tetapi rancangan ini kemudian dibangun dengan mahkota menara berbentuk atap piramida (dibangun pada 1934).
Di Indonesia, Groenewegen membangun reputasinya sebagai arsitek yang mumpuni di masa akhir pendudukan Belanda dan juga di masa awal kemerdekaan Indonesia.
Di Medan, ia merancang kolam renang umum (1939, Kolam Renang Paradiso), Gereja Katedral Medan (Gereja Santa Perawan Maria yang Dikandung Tanpa Dosa, 1928), beberapa sekolah, rumah tinggal, dan lain-lain. Pada periode yang sama, Groenewegen merancang Gereja Katedral Padang (Gereja Katedral Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus, 1930an) dan Gereja Katolik Keluarga Kudus Atmodirono di Semarang (1939-40).
Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), Groenewegen menjalani masa tahanan di kamp internir sebagaimana kebanyakan orang Eropa saat itu.
Selepas pendudukan Jepang, Groenewegen hijrah ke Jakarta dan kembali merintis karirnya di kota yang baru. Di Jakarta ia bergabung dengan biro insinyur N.V Associatie Selle en de Bruyns, Reyerse en de Vries dan terlibat di berbagai proyek perancangan.
Ia merancang bioskop Menteng (1950, telah dibongkar), beberapa bioskop di berbagai kota, berbagai infrastruktur bagi perusahaan Bataviasche Petroleum Maatschappij (BPM, 1949-1951), Rumah Sakit Sin Ming Hui (sekarang Rumah Sakit Sumber Waras, 1955-1962), dan turut serta dalam kompetisi perancangan Masjid Istiqlal (1955).
Pada tahun 1957, ketika meletus sentimen anti-Belanda dan pengusiran orang Belanda di masyarakat Indonesia, Groenewegen berkeras bertahan untuk tinggal dan berkarya di Indonesia.
Ia menjadi rekanan arsitek Friedrich Silaban di biro arsitek N.V. Silaban dan turut serta dalam menggarap proyek penting seperti Bank Indonesia di Jalan Thamrin dan berbagai proyek lainnya.
Groenewegen dan Silaban juga sama-sama duduk sebagai anggota Dewan Keindahan Jakarta pada awal dekade 1960. Sepanjang karirnya, Groenewegen aktif terlibat dalam berbagai kegiatan kesenian hingga menjadi kolektor karya seniman Indonesia yang disegani.
Pada kurun waktu 1948-1957 ia aktif mengajar mata kuliah sejarah seni dan arsitektur Indonesia di Akademi Teknik Nasional (sekarang Institut Sains dan Teknologi Nasional/ ISTN).
Pada kemudian hari ini membukukan materi perkuliahannya dalam sebuah manuskrip berjudul “Sejarah Seni Bangunan Indonesia dan India”. Groenewegen menghabiskan masa tuanya di area Menteng, Jakarta, hingga meninggal di tahun 1980 dalam usia 91 tahun.
Penulis: Setiadi Sopandi
Editor: Lilin Rosa Santi