tirto.id - Kawasan Kota Depok dan sekitarnya mempunyai sejarah yang panjang. Meski baru berdiri sebagai kota mandiri sekira 24 tahun lalu, komunitas Depok sudah berkembang sejak era Kompeni VOC. Perkembangan Depok tak terlepas dari peran tuan tanah Cornelis Chastelein.
Chastelein-lah yang mulanya membuka kegiatan produktif di wilayah itu sejak 1696. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang diusahakan Chastelein di sana pun menghidupkan komunitas yang bermula dari para budak yang dimerdekakan.
Komunitas Depok yang diprakarsai lelaki keturunan Perancis-Belanda itu pun memiliki kekhasan tersendiri.
“Chastelein merupakan pionir, beliau membentuk sebuah komunitas Kristen pertama di Jawa, di luar komunitas perkotaan Belanda,” tulis Denys Lombard Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan (2000, hlm. 96).
“Ia juga termasuk orang pertama di Indonesia yang mengembangkan bisnis kopi,” sambung Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (1997, hlm. 200).
Sepeninggal Chastelein, Depok berkembang menjadi pemukiman para mardijker (kaum yang dimerdekakan) yang membentang di antara Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan serta berada di tengah-tengah jalur Jakarta dan Bogor.
Seturut Rian Timadar dalam penelitiannya “Persebaran Data Arkeologi di Permukiman di Depok Abad 17-19 M: Sebagai Kajian Awal Rekonstruksi Sejarah Pemukiman Depok”(2008, PDF), permukiman kolonial berada di daerah yang sekarang bernama Depok Lama dengan pusat kegiatan di Jalan Pemuda.
Pemukiman kolonial ini dekat dengan aliran Sungai Ciliwung. Ia terbagi dalam beberapa konsentrasi, yaitu pemukiman bantaran sungai, bantaran jalan kereta api, memanjang mengikuti Jalan Siliwangi dan Margonda, serta pemukiman yang berada di pedalaman.
Situs di
Jalan Pemuda
Tri Wahyuning M. Irsyam dalam Sejarah Depok 1950-1990an (2017) menyebut Chastelein mulai mencurahkan perhatiannya mengembangkan perkebunan di Depok sejak 1705. Dia pindah ke sana dengan membawa 200-an orang budaknya. Merekalah yang kemudian membuka perkebunan di situ dan menjadi cikal-bakal komunitas warga Depok yang pertama.
Di tanah itulah, Chastelein mewujudkan cita-citanya membangun komunitas Kristen pribumi di Depok. Hari ini, kita masih bisa menilik jejak komunitas Kristen Depok di sekitar Jalan Pemuda. Situs-situs bersejarah yang penting di sini di antaranya GPIB Immanuel, Gedung Eben Haezer, dan Rumah Pastoran.
GPIB Immanuel semula bernama Gereja Masehi dan didirikan oleh Chastelein sekira awal abad ke-18. Di masa itu, ia masihlah gereja sederhana yang dibangun dengan material kayu dan rumbia sebagai atapnya.
Pada 1792, barulah gereja ini dibangun lagi dengan material yang lebih permanen. Gereja Masehi sempat rusak akibat gempa yang terjadi pada 1833. Karenanya, jemaat Depok terpaksa beribadah di bangunan darurat hingga 1854.
“Baru pada 1854 dibangun kembali gereja permanen. Gereja ini tercatat baru bergabung dalam GPIB pada 31 Oktober 1948,” tulis laman Kompas.com seturut keterangan dari Koordinator Bidang Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) Ferdy Jonathans.
Lalu, ada Gedung Eben Haezer yang terletak tepat di seberang GPIB Immanuel. Seturut penelusuran Timadar, ia semula adalah gedung serbaguna untuk pertemuan warga dan perayaan hari besar, seperti Natal dan Paskah.
Situs ketiga yang tak boleh dilupakan adalah Rumah Pastoran yang terletak di sebelah timur GPIB Immanuel.
Rumah Pastoran Depok
Rumah Pastoran Depok dibangun sekira 1817-1823. Di belakang situs ini, terdapat bangunan lain yang difungsikan sebagai SMP Kasih sejak 1960.
Rumah Pastoran ini pernah ditinggali seorang pendeta Protestan terkenalCornelis De Graaf dan istrinya Adriana J. de Graaf. Pendeta De Graaf juga menjadi guru misionaris yang mampu menghadirkan sekitar 150 orang dalam kebaktian di hari Minggu.
Menurut Jan-Karel Kwisthout dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657-1714) Kepada Para Budaknya Yang Dibebaskan (2015), mereka juga dikenal karena jiwa sosialnya yang tinggi. Merekalah yang menginisiasi dan mencari sponsor untuk pembangunan Koningin Emma Ziekenhuis yang kini berubah nama menjadi Rumah Sakit PGI Cikini.
Kondisi bangunan Rumah Pastoran itu masih terawat dengan baik di bawah pengelolaan YLCC. Kini, ia digunakan untuk kegiatan YLCC dan sekolah.
Bangunan Rumah Pastoran Depok berdenah persegi panjang berukuran 4700 meter persegi, membentang timur-barat dengan arah hadap utara. Ia memiliki atap limasan yang telah mengalami penggantian menggunakan genteng baru.
Bangunan berdiri di atas batur (undakan) setinggi 50 cm sehingga untuk naik ke bagian bangunan harus melewati anak tangga yang berada di bagian muka. Anak tangga membentang sepanjang sisi muka bangunan.
Berdasarkan informasi dari pihak YLCC, gedung ini mengalami restorasi pada 2012-2013. Restorasi dilakukan di bagian dalam gedung dengan tujuan mengembalikan ke bentuk semula, terutama bagian jendela, pintu, serta pembagian ruangannya.
Menilik denah awalnya, Rumah Pastoran Depok masih menampakan keasliannya. Namun, tentu saja telah terjadi perubahan pada beberapa bagian bangunan seiring dengan perjalanan waktu. Yang tampak saat ini adalah bagian belakang bangunan yang ditambah dengan ruang baru.
Bagian lain yang telah berubah adalah fasad bangunan. Di masa lalu, rumah bersejarah ini memiliki serambi depan yang pada bagian kanan dan kirinya terdapat kamar. Di bagian dalam terdapat koridor yang pada bagian kanan dan kirinya terdapat kamar. Koridor tersebut terhubung pula dengan serambi belakang.
Tengara Indische Woonhuizen
Seturut studi Timadar, desain Rumah Pastoran Depok adalah bentuk adaptasi terhadap iklim tropis Indonesia. Inilah yang membuatnya istimewa sebagai peninggalan sejarah.
“Adaptasi ini terlihat pada atap, pintu, jendela dengan desain ganda, dan pekarangan rumah yang luas. Atap berbentuk limas, dan menjorok keluar (overstek) cocok untuk daerah Indonesia yang selalu turun hujan,” tulis Timadar.
Para penekun sejarah dan arkeologi lazim menyebut langgam arsitektur yang diterapkan pada Rumah Pastoran Depok itu dengan istilah indische woonhuis.
Langgam yang jamak pula disebut Indische Empire Style ini mekar sekira awal abad ke-19. Ia diaplikasikan guna menghadapi iklim tropis Hindia Belanda.
Langgam ini diperkirakan berkembang di pemukiman baru orang-orang Eropa di sekitar kawasan Gambir. Rumah-rumahindische woonhuis menampakkan gaya yang lebih bercorak lokal daripada klasistis Eropa.
Pada umumnya, ia bertingkat satu, dilengkapi dengan taman, denah dasar sederhana yang mencakup dua beranda di depan dan belakang rumah. Kedua beranda dan taman inilah yang membikin rumah lebih teduh karena terlindung dari terpaan sinar matahari.
Kedua beranda itu terhubung melalui koridor tengah yang di sisi kanan-kirinya terdapat kamar-kamar. Material lokal untuk membangun rumah tipe ini di antaranya batu bata, plesteran putih, genteng kodok, dan batu alam marmer untuk lantai.
Rumah indische woonhuis mungkin tidak terlalu estetik jika dibandingkan tipe klasik Eropa, tapi ia sangat cocok untuk iklim tropis yang lembab.
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi