tirto.id - Suatu hari pada 1944, ketika Jepang menduduki Indonesia, pelukis Hendra Gunawan blusukan di Bandung untuk mencari inspirasi melukis. Ia tak sendiri. Bersamanya ikut pelukis-pelukis muda Angkama, Tjatja Hidajat, dan Popo Iskandar. Seperti biasa mereka membuat sketsa-sketsa dari kejadian-kejadian yang mereka temui di jalan.
Ketika sedang khusyuk membuat sketsa, tiba-tiba saja Hendra kejang-kejang. Sontak kejadian itu mengagetkan kawan-kawan Hendra. Pelan-pelan mereka menggotong Hendra. Diteduhkannya tubuh Hendra yang pingsan di bawah sebuah pohon.
Untungnya tak lama kemudian Hendra siuman. Kepada kawan-kawan yang mengerubunginya, Hendra mengatakan bahwa ia ditembak tentara Jepang. Tentu saja itu membuat kawan-kawannya terbahak.
“Kamu kelaparan. Bukan ditembak Jepang!” sergah Angkama.
Maklum, saat itu memang masa-masa prihatin. Kawan-kawannya mafhum belaka bahwa Hendra jarang makan. Beras susah didapat, kalaupun ada itu pun dijatah Jepang. Blusukan dengan perut kelaparan di bawah matahari terik, tak heran jika Hendra semaput. Namun, keadaan itu toh tak menghentikan renjananya.
Meski keadaan susah, esok-esoknya Hendra tetap mengajak kawan-kawannya itu blusukan. Lumayan, dari blusukan itu ia mengumpulkan banyak sekali sketsa yang lalu ia transformasikan jadi lukisan-lukisan cat minyak. Salah satu lukisan itu kemudian ia ikutkan pameran yang diadakan Keimin Bunka Shidoso—lembaga kebudayan bikinan Jepang. Siapa nyana lukisan yang menggambarkan suasana Pasar Babatan itu diganjar penghargaan lukisan terbaik.
“Jepang tahu benar penderitaanmu. Kau diberi kesempatan beli nasi,” komentar Popo Iskandar atas penghargaan itu.
Hendra cuma nyengir. Kenyataannya ia hanya mendapat selembar kertas penghargaan, alih-alih uang.
Menghayati Kehidupan Kere
Itulah pelukis Hendra Gunawan. Sejak muda ia memang dikenal lekat dengan kehidupan yang serba rudin. Bukannya ditolak, Hendra justru mengakrabi dan menjadikannya sebagai inspirasi berkarya. Padahal, pelukis kelahiran Bandung, 11 Juni 1918 ini terlahir dari keluarga amtenar terpandang.
Usai menyelesaikan pendidikan jenjang HIS pada 1933, Raden Prawiradilaga, ayah Hendra, menyuruhnya berkarier sebagai pegawai kolonial seperti dirinya. Hendra muda menolak karena ia sudah memutuskan ingin jadi seniman. Keadaan ini terang bikin keduanya cekcok. Dasar Hendra keras kepala, minggatlah ia.
Saat itulah kali pertama hidup Hendra bersinggungan dengan kehidupan jelata. Seperti dicatat dalam harian Kompas (17/7/1979), Hendra mengembara selama beberapa lama sebelum akhirnya numpang hidup dengan seorang jongos. Ia juga sempat hidup bersama gelandangan-gelandangan di bawah sebuah jembatan di Bandung. Ia begitu terharu pada keakraban dan persaudaraan para “kere” yang hidup di situ. Pengalaman itu menumbuhkan empatinya kepada “dunia kere” yang di kemudian hari sangat memengaruhi karya lukisnya.
Tak berapa lama, karena suatu sebab, Hendra akhirnya pulang. Ternyata, ayah-ibunya kini lebih bisa menerima pilihan hidup Hendra. Bahkan ayahnya kemudian mencarikan seorang guru gambar.
“Ia adalah Wahdi Sumanta. Seorang pelukis muda yang mulai dikenal baik di Bandung, yang ternyata adalah murid Abdullah Suriosubroto. Hendra pun mencoba menimba ilmu pada Wahdi dengan sepenuh hati, walaupun pada guru yang umurnya setara ini ia hanya belajar tak lebih dari 40 hari,” tulis Agus Dermawan T. dalam Surga Kemelut Pelukis Hendra (2018: 8-9).
Sebenar Hendra sudah cukup mahir membuat sketsa ketika ia hidup menggelandang. Wahdi hanya mengasahnya dan meyakinkan Hendra. Mentor kedua, dan mungkin yang paling berpengaruh baginya, adalah Affandi yang membentuk komunitas perupa di Gang Wangsaredja.
Keduanya lekas menjadi akrab. Berkat Affandi juga kemudian Hendra berkenalan dengan pelukis Barli dan Sudarso. Hendra, Wahdi, Affandi, Barli, dan Sudarso kemudian membentuk sebuah wadah profesional yang mereka sebut Kelompok Lima pada 1935.
“Meski perkumpulan ini pada satu sisi hanyalah sarana untuk membina pertemanan dan persaudaraan, masyarakat seni menganggap Kelompok Lima sudah menawarkan peran yang kelihatan penting. Yakni untuk menandai bahwa pada kurun itu sudah ada segelintir pelukis Indonesia yang punya hasrat kuat mewujudkan eksistensi seni Indonesia,” tulis Agus Dermawan (hlm. 14).
Mendidik Pelukis Muda di Zaman Revolusi
Bersama Kelompok Lima, Hendra Gunawan pertama kali merasakan berpameran dalam Pasar Malam Tahunan Bandung. Sayangnya, kala itu lukisannya ternyata tak seberapa laku. Sampai-sampai, Barli perlu mencarikan pembeli agar semangat Hendra tak patah.
Meski begitu, pada tahun-tahun akhir eksistensi Hindia Belanda kariernya sudah cukup lempang. Lingkaran profesionalnya pun meluas. Tak hanya berkutat di Bandung, ia juga sesekali menjelajah Jakarta. Saat inilah ia bersinggungan dengan persona dan ide-ide nasionalistis-kerakyatan Sudjojono.
Ketika Jepang akhirnya menduduki Indonesia, Hendra ikut bergabung dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Di Putera, Hendra kebagian tugas membuat poster-poster propaganda. Juga, di masa pendudukan inilah nama Hendra kian melejit. Gara-garanya tak lain adalah keberhasilannya meraih penghargaan lukisan terbaik dari Keimin Bunka Shidoso.
Sebagaimana pelukis-pelukis muda segenerasinya, Hendra dimatangkan oleh zaman Revolusi (1945-1949). Dalam catatan Agus Dermawan, Hendra ikut arus seniman-seniman yang angkat senjata dalam laskar Pelukis Front. Dari medan-medan pertempuran itu ia membawa pulang puluhan sketsa kemelut perang.
“Dari situasi inilah muncul sketsa Hendra yang di hari kelak menjadi sebuah lukisan yang amat terkenal, dan dianggap sebagai salah satu adikaryanya, ‘Pengantin Revolusi’,” tulis Agus.
Ketika ibu kota pindah ke Yogyakarta, ia pun ikut hijrah. Di kota Yogyakarta inilah pameran tunggalnya yang pertama dihelat pada 1946. Ia boleh berbangga, karena pameran itu adalah juga pameran pertama pelukis Indonesia pasca-kemerdekaan.
Di Yogyakarta, Hendra tak lagi mengangkat senjata. Ia lebih memusatkan perhatiannya kepada pembinaan perupa-perupa muda. Ia juga mulai berkreasi dengan patung.
Hendra Gunawan sempat sebentar ikut bergabung dengan sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM). Ia keluar dari SIM dan kemudian membikin sendiri sanggar Pelukis Rakyat di Kampung Sentulharjo, Yogyakarta, pada 1947. Ia keluar karena merasa tak sejalan dengan metode pembinaan Sudjojono yang kaku.
Pelukis-pelukis muda di SIM mulai diajar melukis dengan pendekatan realisme-fotografis. Mereka juga diwajibkan untuk menyelesaikan lukisannya langsung on the spot. Itu menjadi kecakapan dasar yang mesti dimiliki anggota SIM.
Hendra menggugat metode ini, karena hanya memperkuat potensi mata sementara mengurangi potensi rasa. Hendra punya metode sendiri. Ia mengandalkan sketsa untuk menangkap momen. Sketsa itu lantas ia olah dengan imbuhan imajinasi dan fantasi.
Karena metodenya ini, Hendra jadi berbeda dengan Sudjojono dan Affandi, mentornya sendiri. Meskipun sebenarnya dari segi pemikiran, mereka sama-sama menonjolkan ide-ide kerakyatan.
“Berlainan dengan ungkapan Sudjojono yang ironis atau Affandi yang muram, Hendra mengungkapkan kehidupan rakyat dengan semangat tetapi berisi kelembutan. Selain karya-karyanya penuh warna, Hendra yang memulai dengan impresionisme, akhirnya dikenal dengan ekspresionisme dengan deformasinya yang bebas seperti mengikuti bentuk-bentuk wayang,” tulis M. Agus Burhan dalam Seni Lukis Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra (2013: 89).
Karena metode Hendra yang lebih bebas, sanggarnya dengan cepat jadi populer. Kebanyakan murid Hendra adalah pelukis-pelukis muda yang tak sanggup menempuh pendidikan formal karena kurang biaya. Mereka semua ditampung Hendra di sanggar yang sekaligus rumahnya itu. Mereka menghidupi diri dan kebutuhan sanggar dari mengerjakan proyek-proyek seni.
Affandi dan Sudarso pun kemudian ikut masuk membantu Hendra. Dalam mengajar, mereka menerapkan metode lama yang telah dipraktikkan sejak masa Kelompok Lima: rajin-rajin blusukan. Selain mengasah teknik, pelukis-pelukis muda itu juga diajak berempati pada kehidupan kaum kere.
Sanggar Pelukis Rakyat terus aktif hingga revolusi usai. Ia terus menarik minat pelukis-pelukis muda dan aktif berpameran. Hingga kemudian mereka masuk dalam orbit Lembaga Kebudayaan Rakyat yang dekat dengan PKI.
==========
Sepanjang Oktober hingga November, Tirto menayangkan edisi khusus bertajuk "Seri Para Pelukis Revolusi". Serial ini ditayangkan setiap Kamis.
Editor: Ivan Aulia Ahsan