tirto.id - Tersebab suatu penyakit—kemungkinan tuberkulosis—pelukis Sindudarsono Sudjojono mesti dirawat di Sanatorium Onrust. Sebulan dirawat di sana, kesehatannya mulai membaik, tetapi belum kuat benar untuk pulang. Hingga pada suatu hari Minggu ia mendapat kunjungan dari seorang temannya bernama Soetarto.
Soetarto membawa satu eksemplar koran Java Bode yang mengabarkan adanya undangan berpameran dari Bataviasche Kuntskring. Seluruh pelukis bumiputra diperbolehkan mengirim karyanya untuk diseleksi. Panitia menambahkan bahwa mereka tak akan memilih karya-karya dari pelukis yang sudah sohor macam Abdullah Sr, Basoeki Abdullah, Dezentje, atau Pirngadi.
“Saya mesti ikut ini,” kata Sudjojono kepada Soetarto.
Sudah beberapa tahun ia berlatih melukis dan pameran itu adalah kesempatannya membuktikan diri. Maka ia memantapkan diri untuk tak berlama-lama lagi menjalani perawatan di pulau itu. Senin, esoknya, ia bergegas minta izin pulang kepada dokternya.
“Besar hati saya bukan main, dan tidak tunggu lama, saya kirim satu-satunya lukisan cat minyak saya ‘Kinderen met Kat’ (50 x 60 cm) ke Kunstkring,” ungkap si pelukis dalam autobiografinya, Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya (2017: 54).
Betapa bungah Sudjojono ketika selang beberapa waktu ia mendapat kiriman katalog pameran tersebut. Selain karyanya lolos seleksi, lukisan itu juga menjadi gambar sampul katalog pameran yang diadakan pada April-Mei 1938.
Tak dinyana lukisannya mendapat apresiasi positif dari media-media kala itu. Satu keyakinan tumbuh dalam dirinya: perupa-perupa Barat bisa dikalahkan.
“Kepercayaan saya sebagai bangsa Indonesia secara sadar mulai kukuh, naik dari kedudukan ‘inlander’ rasanya [...] Orang Barat harus kita taklukkan. Lusa atau besok kamu akan nyembah di depan lukisan kami di museum Indonesia yang akan datang,” tulis Sudjojono.
Menilik ke belakang, cita-cita Sudjojono melampaui perupa-perupa Barat itu sudah tampak sejak ia belajar melukis pada pelukis Pirngadi dan Chioji Yazaki. Karya-karya awal Sudjojono adalah lukisan-lukisan arang di atas kertas yang menggambarkan figur orang dewasa atau anak-anak. Juga lukisan-lukisan panorama Kota Jakarta beserta rakyat kecil yang mendiaminya. Semuanya dilukis secara ekspresionis, alih-alih naturalis ala mooi Indie.
Itulah pemberontakan Sudjojono terhadap hegemoni rupa Barat yang cenderung romantik-turistik. Dalam Sejarah Seni Rupa Indonesia (1977: 161-164) disebut bahwa benang merah karya-karya Sudjojono semasa Persagi adalah penekanannya pada pengungkapan ekspresi jiwa, alih-alih ketaatan pada teknik dan rumus anatomi.
Misalnya terlihat dalam lukisan berjudul “Jalan Lempang”. Itu adalah lukisan yang menggambarkan seorang berbaju putih sedang menyusuri jalan lurus menuju sebuah gunung. Suatu simbol seseorang, atau mungkin Sudjojono sendiri, yang menapaki cita-citanya.
Sudjojono melukis “Jalan Lempang” laiknya anak-anak menggambar: spontan dan sederhana. Ia seakan-akan membuang kecakapan tekniknya dengan proporsi-proporsi yang janggal. Lukisan itu juga dominan warna pastel, bukan warna-warna cerlang sebagaimana lukisan mooi Indie.
Momen pameran di Kunstkring pada 1938 itulah yang jadi awal mula perjalanan panjang Sudjojono menemukan corak seni lukis yang khas Indonesia. Di tahun itu juga ia mendirikan wadah Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia alias Persagi bersama pelukis Agus Djaya, Abdulsalam, Remeli, dan kawan-kawannya yang lain. Agus Djaya didapuk sebagai ketua dan Sudjojono menjadi sekretaris.
Persagi menghimpun seniman-seniman muda yang sudah cukup piawai atau pun yang benar-benar masih awal belajar. Secara rutin mereka menggelar kegiatan melukis bersama di Sekolah Arjuna di bilangan Petojo (sekarang masuk wilayah Jakarta Pusat). Lain itu, mereka juga mengadakan diskusi. Temanya beragam, dari mulai teori melukis hingga soal-soal politik kekinian.
Di Persagi, Sudjojono tampak bagai ideolog. Ia terkenal atas gugatannya kepada aliran mooi Indie yang bersifat turistik. Sudjojono dan Agus Djaya sangat menekankan agar anggota Persagi tak sekadar membebek kepada aliran dan teknik Barat itu. Ia bahkan menganggap pada titik tertentu teknik dan rumus malah hanya menghalangi penemuan kreatif. Keberanian mewujudkan ide menjadi lukisan adalah yang terpenting bagi Sudjojono.
“Semboyan ekstrimnya ialah: Teknik tidak penting. Yang penting isi jiwa ini tumpahkan saja di atas kanvas,” tulis Sudarmaji dalam “Persagi” yang jadi bagian bunga rampai Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Zaman Prasejarah hingga Masa Kini (1990: 74).
Matang di Masa Pendudukan Jepang
Persagi hidup tak berapa lama. Ketika Jepang mendepak Belanda dari Indonesia, Persagi bubar. Namun, eksponen-eksponennya kemudian banyak mengisi lembaga propaganda bikinan Jepang seperti Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan). Termasuk Sudjojono.
Melalui lembaga-lembaga itu ia ikut aktif membina pelukis-pelukis muda. Di antara yang dibinanya adalah pelukis Zaini dan Trubus. Semua keperluan melukis disediakan pemerintah militer Jepang.
Di masa ini Sudjojono mematangkan gaya ekspresionisme yang jadi kekhasannya. Di masa ini pula tercipta lukisan berjudul “Kristus dengan Orang-orang yang Memperjudikan Jubahnya”—suatu gambaran masyarakat yang mulai abai pada nilai-nilai kebajikan asal beroleh untung.
Lukisan Sudjojono yang paling kuat menggambarkan ekspresi jiwanya barangkali adalah “Sayang Aku Bukan Anjing”. Idenya bermula dari dua anjing peliharaannya yang berkelahi. Berkali-kali gagal ia memisahkan keduanya. Jadilah kedua anjing itu luka berdarah-darah. Adegan itu membuatnya terus berpikir.
“Malam saya pikirkan terus perkelahian anjing-anjing saya tadi. Coba saya anjing, punya keberanian maut macam mereka. Saya hancurkan semua penindasan dan penghinaan Barat dan Jepang sekarang juga,” tulis Sudjojono dalam memoarnya (hlm. 77).
Kala itu ia memang sudah panas hati atas pendudukan Jepang yang kejam. Ia pun memendam ketidakpuasan terhadap sepak terjang Sukarno dan Hatta. Muak pula ia melihat banyak orang jadi hipokrit dan hanya cari selamat dengan menjilat Jepang. Semua endapan emosi itu lantas merupa sebagai lukisan “Sayang Aku Bukan Anjing”.
Menjelang akhir pendudukan Jepang, Sudjojono dan Agus Djaya sempat ditawari jadi pelukis perang. Mereka akan dikirim ke front terdepan dan melukis suasana perang, tentunya dengan penekanan untuk propaganda. Sudjojono menyanggupinya asal ia tak harus memanggul bedil.
“Kami lalu menunggu. Sampai revolusi 17 Agustus 1945, panggilan dari pemimpin tertinggi tentara Jepang di Indonesia tak pernah datang,” tutur Sudjojono dalam memoarnya (hlm. 80).
Di Tengah Badai Revolusi
Sudjojono akhirnya benar-benar terjun ke tengah-tengah perang selama revolusi kemerdekaan. Barangkali ia adalah salah satu pelukis yang paling bersemangat menggabungkan diri dengan barisan tentara dan laskar. Meskipun ia tetap pada prinsipnya tak mau pegang bedil.
“Seni lukis adalah satu dari senjata-senjata revolusi kita,” demikian keyakinan Sudjojono.
Pada bulan-bulan awal kemerdekaan, Sudjojono ikut terlibat mengorganisasi seniman-seniman Jakarta. Ia juga bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang diketuai Wikana. Ia ikut membuat poster-poster dan selebaran agitasi yang disebarkan di seantero Jakarta.
Berkat bantuannya, gerakan seniman ini beroleh modal uang dari Keimin Bunka Shidoso dan pengeras suara dari radio pendudukan Jepang. Dengan modal itu para seniman “buka tenda” di beberapa titik keramaian di Jakarta mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Mula-mula di Pasar Senen, lalu Kramat, Manggarai, hingga Jakarta Kota. Tak jarang kelompok Sudjojono kucing-kucingan dengan serdadu NICA.
Kala ibu kota dipindah ke Yogyakarta, Sudjojono ikut pula hijrah. Di sana ia kemudian bergabung dengan Biro Perjuangan bikinan pemerintah. Ia kebagian tugas mengonsep dan mendesain poster perjuangan. Ia lalu pindah ke Madiun saat ikut mendirikan Seniman Indonesia Muda (SIM). Terakhir ia pindah ke Surakarta mengikuti perpindahan markas SIM ke sana.
Di luar kerja pesanan, pada masa ini membanjir karya-karya lukis bertema perjuangan dan dokumentasi kehidupan rakyat yang rudin. Sumbernya jelas dari pengalaman dan perang yang mereka saksikan. Sudjojono tak terlepas dari arus ini.
Lukisan dari masa ini yang paling ikonik dan terkenal adalah lukisan “Kawan-Kawan Revolusi”. Lukisan yang kemudian dikoleksi Presiden Sukarno itu adalah potret 19 orang kawan seperjuangan Sudjojono, dari sesama seniman hingga tentara.
Lukisan-lukisannya yang lain dari masa ini laiknya sebuah dokumentasi perang. Sudjojono masih setia dengan warna-warna pastel sebagaimana gayanya sejak masa Persagi. Teknik ini tak hanya memberi penekanan pada suasana yang depresif, tetapi juga menyimpan gejolak emosi mendalam. Itu bisa ditilik misalnya dari lukisan "Pengungsi" dan "Seko" yang sama-sama dilukisnya pada 1947.
Hari-hari berkarya yang dinamis itu koyak lantaran agresi militer Belanda pada Desember 1948. “Saya tak akan bisa lagi enak-enak dan ayem melukis, atau membantu bikin poster, atau selebaran, untuk dibagikan pada pejuang-pejuang bersenjata kita, di front depan. Semua sekarang jadi front depan. Satu-satunya jalan hanya membuat pasukan sendiri,” kisah Sudjojono dalam autobiografinya (hlm. 91).
Sudjojono lantas mengumpulkan sekitar 60-an pemuda dan membikin pasukan bernama “Lasjkar Gerilja”. Kelompok ini beroperasi di daerah Gunung Merapi hingga perbatasan Yogyakarta-Surakarta. Lasjkar Gerilja biasa bergerak malam hari menyerang basis-basis tentara Belanda. Mereka juga terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Peran sebagai komandan laskar tak menghentikan Sudjojono berkarya. Namun, ia hanya bisa membuat sketsa-sketsa karena peralatan lukisnya tak bisa dibawa bergerilya. Sesekali ia melayani pesanan potret sekadar untuk menyambung hidup.
Sudjojono kembali ke Surakarta setelah pengakuan kedaulatan pada Desember 1949. Barangkali karena pengalamannya bergerilya, Sudjojono mendapat tawaran masuk militer. Tentu saja tawaran itu ia tolak. Ia lebih memilih kembali melukis.
Bersamaan dengan berakhirnya perang, berakhir pulalah pengembaraan kreatif Sudjojono mencari corak lukis Indonesia baru. Dikatakannya bahwa selama masa revolusi itu ia telah mencoba segala pola rupa dari beberapa negara Asia dan juga mengamati seni wayang, tetapi hasilnya nihil. Ia juga mengakui bahwa dirinya memang tak bisa melepaskan diri dari pengaruh Barat.
“Pokoknya ketika saya tahu bahwa mencari-cari tadi hasilnya tidak sevisi saya, maka saya stop mencari corak seni lukis persatuan Indonesia baru. Saya lalu menerima bahwa saya orang Indonesia yang kena pengaruh Barat [...] Saya, sambil cari uang belajar, berlatih melukis serealistis-realistis mungkin, tidak peduli apa itu hasilnya macam foto. Dan ini saya puas. Kalau orang Barat bisa saya pun bisa,” aku Sudjojono akhirnya (hlm. 96).
==========
Sepanjang Oktober hingga November, Tirto menayangkan edisi khusus bertajuk "Seri Para Pelukis Revolusi". Serial ini ditayangkan setiap Kamis.
Editor: Ivan Aulia Ahsan