tirto.id - Pada 11 November 2017, Louvre Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) dibuka untuk umum setelah melalui proses pembangunan selama 10 tahun. Museum ini dibangun berkat kerja sama antara Pemerintah UEA dan Perancis melalui Agence France-Museum yang disepakati pada 2007. Semula, museum ini bakal dibuka pada 2012, tapi ditunda karena krisis keuangan global.
Pemerintah UEA dikabarkan merogoh kocek hingga €700 juta untuk membayar hak penggunaan nama “Louvre” dan kontrak peminjaman koleksi selama 30 tahun. Selain memajang koleksi pinjaman dari beberapa museum milik pelat merah Perancis, Louvre Abu Dhabi juga berambisi mengembangkan koleksinya sendiri.
“Dikelilingi oleh air dari tiga sisi, museum tersebut menjadi rumah bagi 600 karya seni yang dibeli sendiri dan 300 karya seni yang dipinjam dari 13 institusi Prancis. Karya-karya seni itu dipamerkan di 23 galeri permanen dan merupakan karya dari berbagai artis mulai dari Paul Gauguin dan Vincent Van Gogh, hingga Pablo Picasso dan Cy Twombly,” tulis Liputan 6 dalam pemberitaannya.
Hadirnya Louvre di UEA adalah salah satu contoh bagaimana Pemerintah Perancis menerapkan otonomi dalam pengelolaan museum-museumnya. Otonomi itu memungkinkan museum di Perancis untuk mencari dan mengelola sumber pendanaan alternatif di luar anggaran dari pemerintah. Inilah resep yang membuat museum-museum itu mampu menjalankan fungsi PRC-nya (preservasi, riset, dan komunikasi) secara ekstensif.
Pola ini sudah berjalan setidaknya sejak tiga dekade lalu, kala Pemerintah Perancis menerapkan tiga kategori musées nationaux (museum pemerintah).
Tiga Kategori
Kategori manajemen museum pertama adalah Établissement Public à Caractère Administratif(EPAC). Museum-museum dalam kategori ini sepenuhnya didanai oleh pemerintah dan beroperasi sesuai hukum publik. Para staf museum EPAC berstatus pegawai negeri, sementara benda-benda koleksinya adalah milik negara.
Beberapa museum paling bergengsi dan terkenal di Perancis, seperti Musée du Louvre dan Museum of the Domaine National de Versailles, adalah museum EPAC.
Kategori kedua adalah Établissement Public à Caractère Industriel et Commercial(EPIC), yaitu museum yang sebagian pendanaannya bersumber dari negara dan beroperasi sesuai dengan peraturan perundang-undang privat. Beda dari museum EPAC, para pegawai di museum EPIC terdaftar sebagai pegawai swasta. Benda-benda koleksinya pun tidak harus menjadi barang milik negara.
Kategori ketiga adalah Service a Competence Nationale (SCN), yaitu bangunan atau monumen bersejarah yang diberi status administratif khusus. Bangunan SCN biasanya didanai oleh pemerintah tapi tidak dikelola secara terpusat. Misalnya, Musee National du Moyen Age-Thermes et Hotel de Cluny.
Presiden Asosiasi Konservator Koleksi Publik Perancis (AGCCPF) Christophe Vital dalam laporan Le Livre Blanc des Musées de France(2011) menyebut, museum pemerintah dari semua kategori itu lazim menerapkan beberapa strategi yang hampir sama untuk memanfaatkan kebebasan finansial yang mereka punya.
Pertama, museum akan mematok harga tiket masuk yang tinggi untuk pameran temporer berskala besar. Kedua, mengenakan biaya cukup tinggi untuk peminjaman koleksinya. Ketiga, membebankan biaya untuk transfer keahlian ke museum-museum lain di Perancis atau luar negeri. Strategi lainnya adalah dengan mewaralabakan jenama museum—pendirian Museum Louvre Abu Dhabi adalah salah satu contohnya.
Namun, menurut Vital, tidak semua museum mampu merealisasikan strategi finansial itu. Hanya museum besar seperti Louvre—yang dikunjungi oleh sekira 9 juta orang per tahun dan mendapat pendanaan besar dari pemerintah—yang mampu memaksimalkan strategi-strategi itu.
Kelemahan dan Solusi
Sementara itu, museum-museum yang yang lebih kecil sering kali kehilangan nilai tawarnya di hadapan pendonor swasta. Pasalnya, koleksi mereka tidak dikelola sebaik museum besar di Paris. Pegawai di museum kecil juga tidak semahir pegawai museum besar. Terlebih, jenama mereka jelas tidak sekuat Louvre atau Versailles.
Laporan Cour de comptes (2011, PDF) menyebutkan, sistem manajemen museum yang otonom rupanya juga tidak luput dari kelemahan. Pertama, sistem ini terbukti tidak mengurangi beban anggaran negara karena mayoritas museum tetap bergantung pada pendanaan negara. Kedua, sistem ini justru tidak sinkron dengan kebijakan nasional, seperti penetapan tarif masuk, pemerataan akses, dan standarisasi prosedur kontrak.
Untuk menjawab tantangan-tantangan ini, Pemerintah Perancis memperkenalkan Etablissement Public de Cooperation Culturellepada 2000. Itu adalah skema kerja sama budaya yang memungkinkan pemerintah pusat membagi pengeluarannya dengan pemerintah daerah atau lembaga pemerintah lain.
Skema ini memungkinkan pembentukan institusi baru, seperti Museum Louvre-Lens (2013) di Kota Lens atau Centre Pompiou-Metz (2010) yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah Lorraine.
Pemerintah Perancis juga menerbitkan serangkaian peraturan tentang patronase dan sponsor kesenian untuk mendorong kontribusi lembaga swasta. Rangkaian peraturan ini mengizinkan pihak swasta untuk membayar pajak dalam bentuk karya seni bersejarah. Pada 2003, Pemerintah Perancis menerbitkan peraturan lain untuk meningkatkan insentif pajak yang signifikan bagi perusahaan swasta yang berkontribusi sebagai pelindung museum milik pemerintah.
Perancis dapat menikmati manfaat dari sistem manajemen museum yang sedemikian rupa karena kebijakan budayanya yang efisien dan terstruktur. Pemerintah Perancis juga menyediakan anggaran yang cukup untuk menunjang kebijakan budaya itu. Selain itu, masyarakat Perancis juga memiliki rasa kepemilikan kolektif yang kuat terhadap museum dan warisan kebudayaan masa lalu.
Lantas, bagaimana hasilnya jika kebijakan manajemen finansial museum serupa itu diterapkan di negara lain?
Museum di Eropa Timur
Bagi negara-negara berkembang, peluang pendanaan swasta dan negara untuk museum sangatlah terbatas. Kesadaran budaya dan peran masyarakat sipil pun tak sekuat Perancis. Inilah realitas yang dihadapi oleh museum-museum di Eropa Tengah dan Timur.
Setelah rezim diktator sosialis tumbang pada kurun 1989-1990, museum-museum di wilayah ini harus menyesuaikan diri dengan perubahan. Kegiatan preservasi dan riset koleksi, yang merupakan kegiatan “biasa” di museum Eropa Barat, kini dianggap sebagai kegiatan elitis. Di tengah perubahan rezim politik, museum-museum itu berfokus pada kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan pendapatannya sekaligus tetap melayani kepentingan publik.
Kita bisa menilik kasus di Hungaria sebagai misal. Sebelum jatuhnya rezim sosialis, museum di Hungaria adalah badan milik negara yang didanai sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Kebijakan semacam itu tidak lagi dilakukan ketika demokrasi telah ditegakkan. Pasalnya, kebijakan itu dianggap sebagai intervensi negara terhadap kepentingan publik.
Pada 1997, pemerintah sosialis-liberal yang baru menerbitkan peraturan manajemen museum yang mirip dengan sistem Perancis. Undang-undang yang resminya disebut No. CXL 1997 Act Concerning the Protection of Cultural Property, Museum Institutions, Public Library Services, and Public Education itu menjamin pendanaan negara bagi museum.
Anggaran dari pemerintah itu dimandatkan untuk menutupi biaya personel dan infrastruktur dasar. Selain itu, meski terbatas, ada pula dana khusus dari Kementerian Kebudayaan Hungaria untuk perluasan jumlah koleksi. Selain itu, undang-undang itu memungkinkan pelibatan pihak swasta dan publik dalam pengembangan museum—termasuk dalam soal pendanaan.
Pada 2004, seiring masuknya Hungaria ke dalam Uni Eropa, Pemerintah Hungaria mengumumkan rencana peningkatan infrastruktur dan aksesibilitas museum-museumnya. Pemerintah Hungaria bahkan mematok visi besar: menjadi Ibu Kota Budaya Eropa.
Beberapa kebijakan lantas diberlakukan untuk merealisasikan visi besar itu, salah satunya adalah kebijakan tiket masuk gratis ke semua museum milik negara. Pada prinsipnya, kebijakan ini memperluas akses publik ke museum. Namun, pada praktiknya, kebijakan ini justru menghilangkan sumber besar pendapatan museum.
Kemudian pada 2010, pemerintah konservatif-nasionalis yang terpilih mengumumkan niatnya untuk mengubah lagi beberaoa peraturan terkait museum. Pertama, pemerintahan baru ini memperkenalkan opsi tiket masuk untuk pameran temporer di semua museum milik negara. Kedua, museum harus memaksimalkan fungsi PRC-nya secara profesional.
Lagi-lagi, penerapan aturan baru ini tidak berjalan mulus gara-gara krisis moneter yang melanda Hungaria pada 2011. Saat itu, Pemerintah Hungaria terpaksa memotong anggaran untuk museum-museum pelat merahnya. Tentu saja, pemotongan anggaran itu menyulitkan pengelola museum menjalankan fungsi dasarnya—para staf Museum Sejarah Alam Hungaria bahkan sempat mengeluhkan putusnya sistem pemanas di museumnya.
Memanfaatkan Dana Uni Eropa
Sebagai solusi untuk masalah ini, Pemerintah Hungaria pun mencoba mencari bantuan dari Uni Eropa. Organisasi regional ini sebenarnya tidak memiliki anggaran khusus untuk kebudayaan, melainkan skema Dana Pembangunan Struktural dan Regional. Skema inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Hungaria.
Pemerintah Hungaria menyerap dana itu melalui program penyebaran pengetahuan, promosi pariwisata, dan berbagai elemen lain. Program-program itu disesuaikan pula dengan yang visi Uni Eropa menciptakan persatuan dan identitas Eropa yang kuat.
Dalam konteks permuseuman, prioritas Uni Eropa itu diterjemahkan dengan membuka akses museum seluas-luasnya ke publik, memodernisasi infrastruktur museum, membuat pameran temporer. Uni Eropa rata-rata akan menanggung 90 persen dari total biaya program itu.
Proyek-proyek yang didanai Uni Eropa ini biasanya mengharuskan pemberlakuan tiket gratis dan kemitraan dengan pihak ketiga—seperti sekolah atau lembaga Uni Eropa lainnya.
Meski begitu, program-program Uni Eropa ini juga punya kelemahan. Ia begitu menyita waktu kerja para praktisi museum sehingga membatasi aktivitas preservasi dan riset museum. Para praktisi museum juga jadi terdorong untuk lebih fokus pada fungsi komunikasi museum karena tuntutan finansial.
Ada dua museum di Hungaria yang bisa dijadikan contoh kesuksesan pemanfaatan dana Uni Eropa ini: Museum Sejarah Alam Hungaria dan Museum Seni Rupa Budapest.
Museum Sejarah Alam Hungaria termasuk yang berhasil beradaptasi dengan pergeseran fungsinya, dari preservasi dan riset ke komunikasi. Ia juga menjadi museum pertama di Hungaria yang mendirikan departemen manajemen pamerannya sendiri.
Museum ini punya anggaran tahunan sebesar €5 juta dan menerima tambahan €100 ribu dari Dana Nasional untuk Penelitian Ilmiah yang juga bagian dari skema Dana Struktural Uni Eropa. Ia juga mampu membukukan pendapatan tiket sebesar €400 ribu per tahun berkat promosi program yang didanai Uni Eropa.
Sementara itu, Museum Seni Rupa Budapest meraup pendapatan ekstra dari pameran seni temporer blockbuster. Pameran yang menampilkan karya-karaya para seniman ternama ini mampu mengumpulkan sekitar 500 ribu pengunjung setiap tahun. Pameran Van Gogh pada 2007, misalnya, mampu menarik 450.000 pengunjung.
Capaian ini bahkan melambungkan nama Museum Seni Rupa Budapest ke dalam daftar 50 museum yang paling banyak dikunjungi di dunia.
Pada Oktober 2011, Museum Seni Rupa Budapest menginisiasi proyek perluasan area museum dengan perkiraan anggaran €150 juta—sebagiannya adalah kontribusi dari Uni Eropa. Proyek ini rampung pada 2018 dan bahkan berhasil memenangkan Museum Europa Nostradamus Award (Kusala Warisan Budaya Uni Eropa) di kategori konservasi.
Namun, terlepas dari kisah sukses ini, banyak profesional yang masih mempertanyakan penggunaan Dana Struktural Uni Eropa itu. Menurut mereka, daripada dihabiskan untuk pameran temporer atau promosi pariwisata, dana itu sebaiknya digunakan untuk membiayai kebutuhan yang lebih mendesak seperti pendidikan formal. Kritik ini berlaku pula bagi manajemen finansial museum pemerintah di negara mana pun di seluruh Uni Eropa dan bahkan dunia.
Setidaknya, kita dapat menyimpulkan bahwa model pengelolaan finansial museum pemerintah di Perancis dan Uni Eropa hanya dapat bekerja hingga batas tertentu, meski juga memiliki peluang sukses yang besar.
==========
Pia Diamandis adalah peneliti dan penulis yang menekuni sejarah seni, museologi, serta kajian sinema. Menyelesaikan studi pada jurusan sejarah seni Istituto Marangoni Firenze, Italia.
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Fadrik Aziz Firdausi