tirto.id - Pada akhir abad ke-15 menuju abad ke-16, masyarakat Jawa menginjak masa-masa paling krusial dalam sejarah kebudayaannya. Para dewaraja yang ratusan tahun berkuasa tengah menyongsong senja kala, kalah oleh jiwa zaman yang mengadang.
Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda sebagai dua eksponen politik Hindu-Buddha berpengaruh terakhir di Tanah Jawa, tak bisa mengelak, bergiliran bersimpuh di hadapan takdir zaman.
Sebagaimana disebut oleh Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit: Girindrawardhana dan masalahnya (2009), Majapahit tenggelam karena konflik internal yang tak berkesudahan.
Serangan Demak dengan demikian hanyalah tinju pungkasan yang meruntuhkan Majapahit, karena kerajaan itu sebelumnya memang telah goyah.
Sementara pada Kerajaan Sunda yang runtuhnya belakangan, modus operandi yang berlaku agak berbeda dengan Majapahit. Mereka runtuh akibat dikeroyok tiga kekuatan sekaligus, yaitu Demak, Cirebon, dan Banten.
Menurut Nina Herlina Lubis dkk. dalam Sejarah Kebudayaan Sunda (2011), kepungan dari tiga arah itu awalnya hanya menyisakan efek keterkungkungan bagi kerajaan di ujung barat Pulau Jawa itu.
Penaklukan Sunda Kelapa pada 1527 oleh koalisi Kerajaan Islam menyebabkan Kerajaan Sunda seakan tertinggal dari dunia luar. Secara alami, Sunda mengalami kemunduran perlahan hingga datang waktunya Kesultanan Banten memberi pukulan pamungkas ke ibu kota Pakwan Pajajaran pada tahun 1579.
Di luar dunia keraton, masyarakat klasik di tanah Jawa pada dasarnya masih bisa bertahan di beberapa kantong daerah terpencil dan sulit diakses. Mereka hidup terisolasi dan secara esoteris mengembangkan kebudayaannya sampai pada masa-masa berikutnya.
Namun, orang-orang di luar sistem itu pada akhirnya harus berinteraksi dengan para pemimpin baru yang beragama Islam. Beberapa sumber tertulis dari keraton-keraton Islam Jawa, banyak memberi gambaran tentang interaksi lintas kultural ini.
Rentang waktunya berlaku kira-kira sejak masa awal kerajaan-kerajaan Islam. Salah satu yang paling awal memberi keterangan ini adalah Kesultanan Banten yang berdiri pada abad ke-16 dan terus bertahan sampai kedatangan Daendels di abad ke-19.
Sultan Banten dan Para Ajar di Gunung Pulosari
Apabila ditelusuri dari sumber-sumber manuskrip kuno, Raja Islam Jawa pertama yang memiliki hubungan mesra dengan masyarakat Hindu-Buddha adalah Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama.
Ia dikisahkan berinteraksi dengan para ajar atau guru resi yang masih mempertahankan ilmu pengetahuan dan tradisi Hindu-Buddha.
Menurut Titik Pudjiastuti dalam tesisnya Sajarah Banten: Edisi Kritik Teks (1991), latar belakang waktu interaksi antara Maulana Hasanudin dengan para ajar terjadi ketika ia belum menjadi raja.
Dikisahkan bahwa Maulana Hasanuddin yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati, suatu kali meninggalkan keraton ayahnya di Cirebon untuk pergi ke arah barat.
Perjalanannya itu kemudian terhenti di daerah Banten Girang (sekitar wilayah selatan Kota Serang sekarang). Lalu ia melanjutkan perjalanan menanjak ke Gunung Pulosari.
Sesampainya di Gunung Pulosari, Maulana Hasanuddin bertemu dengan sekumpulan ajar yang menetap di sana. Para ajar ini di dalam manuskrip Sajarah Banten disebut berjumlah sekitar 800 orang.
Maulana Hasanuddin agaknya diterima baik oleh para ajar, karena kemudian ia berhasil menjumpai pemimpin mereka, yakni Pucuk Umun. Maulana Hasanudin kemudian diberi kesempatan oleh para ajar untuk melakukan tapa di tempat bekas pertapaan seorang resi bernama Brahmana Kandali.
Menurut Sajarah Banten, setelah bertapa, sang Pucuk Umun rupanya telah menetapkan bahwa Maulana Hasanudin akan menjadi penggantinya di Gunung Pulosari. Ia bahkan meramalkan bahwa Pakwan Pajajaran (ibu kota Kerajaan Sunda) tidak akan lagi memiliki raja yang bertakhta. Maka itu, Pucuk Umun pun secara magis akhirnya menghilang—moksa.
Karena telah mendapat kepercayaan dari Pucuk Umun, Maulana Hasanuddin kemudian melanjutkan tapanya dengan mengikuti tempat-tempat suci menurut kepercayaan para ajar.
Mula-mula ia bertapa di Gunung Pulosari, kemudian dilanjutkan ke Gunung Karang, lalu ke Gunung Lér, dan diakhiri dengan pergi ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Di pulai ini, Maulana Hasanudin mendapatkan pusaka berupa gong yang ia bawa pulang ke Gunung Pulosari.
Laku menyepi di Gunung Pulosari dilakukan Maulana Hasanuddin selama tujuh tahun, sampai akhirnya datang Sunan Gunung Jati menjemput anaknya untuk diajak naik haji ke Makkah.
Bukti Arkeologis dan Motif Politik
Cerita dalam Sajarah Banten sekilas memang seperti dongeng yang sarat bumbu legenda dan mitos. Namun, berdasarkan bukti arkeologis yang dijumpai di daerah Gunung Pulosari dan Pulau Panaitan, dugaan bahwa tempat-tempat itu adalah tempat tinggal para ajar, bukan hal yang mustahil.
Menurut C. Guillot dkk. dalam Banten sebelum zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang (932?-1526) (1996/1997), sejak akhir abad ke-19 para peneliti Belanda telah menyadari bahwa Gunung Pulosari bukan sekadar gunung yang baru saja ditempati. Mereka menjumpai banyak kepurbakalaan yang mencirikan anasir kebudayaan Hindu-Buddha.
Beberapa di antaranya yang monumental adalah arca-arca keluarga Dewa Śiwa dari puncak Gunung Pulosari yang sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Apabila ditinjau dari bentuk gaya ikonografi arcanya, kemungkinan arca-arca itu sudah ada sejak abad ke-10 M. Tentu bagi Guillot, temuan di Gunung Pulosari memiliki kesinambungan dengan temuan yang berhasil ia jumpai di Situs Banten Girang.
Di sana, ia menemukan fragmen prasasti yang memiliki beberapa baris aksara Jawa Kuno. Menurut Guillot, fragmen-fragmen aksara dari Banten Girang itu memiliki corak paleografi abad ke-10.
Temuan-temuan ini juga berkesinambungan dengan temuan Arca Dewa Śiwa dan Ganeśa dari Pulau Panaitan, yang malah sudah ada terlebih dahulu di sekitar abad ke-7-8 M.
Lantas, apa sebenarnya motif besar dari program blusukan Maulana Hasanudin? Boleh jadi, motif politik merupakan anasir yang paling cocok dalam memahami latar belakang perjalanan Maulana Hasanudin ke Gunung Pulosari.
Sebagai catatan, di masa akhir Kerajaan Sunda, para resi di gunung-gunung mulai memiliki pandangan miring terhadap pihak keraton.
Itu terlihat dari bagaimana penulis Carita Parahyangan yang merupakan seorang resi, menggambarkan betapa raja-raja akhir Sunda memiliki perilaku yang kurang elok dan tidak pantas sebagai seorang pemimpin.
Peluang inilah yang coba diambil oleh Maulana Hasanudin yang memang hendak memiliki pegangan demi stabilitas kekuatan politiknya di Banten. Kalangan pandita dan resi yang dihormati, memang cocok didekati dengan pendekatan kultural, demi menggalang legitimasi dari kalangan minoritas rakyat Banten saat itu.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi