tirto.id - Tiada hari seindah dulu lagi
Tiada mungkin kembali
Tiada nama seharum namamu lagi
Tiada, tiada Bing lagi
Itu adalah nukilan bait terakhir lagu "Bing", yang digubah oleh Titiek Puspa di sekitar tahun-tahun sepeninggal Bing Slamet—maestro lawak nasional. Lagu tersebut merupakan wujud sembah haru Titiek mengenang almarhum.
Dari penuturan Jose Choa Linge dalam Musisiku 2 (2009), lagu tersebut perdana dilantunkan oleh musikus kenamaan, Grace Simon, lewat label Paragon dengan album berjudul sama pada 1975.
"Bing" melesat populer sekaligus melambungkan nama Titiek Puspa sebagai komponis dan penulis. Bahkan, ia menembus peringkat ke-41 dalam daftar “150 Lagu Indonesia Terbaik” versi majalah Rolling Stone Indonesia edisi #56 Desember 2009.
Kamis 10 April 2025, pukul 16.25 WIB, giliran Titiek yang menyusul Bing Slamet ke haribaan Tuhan.
Dikabarkan, kesehatan Titiek menurun drastis sedari insiden pingsan dan terjatuh saat syuting program televisi "Lapor Pak" di Studio Trans 7 pada 26 Maret 2025. Cepat tanggap, kru Trans 7 segera melarikannya ke UGD RS Medistra, Jakarta Selatan, untuk menjalani perawatan intensif. Dia didiagnosis strok setelah diketahui pembuluh darahnya pecah di bagian otak sebelah kiri.
Di rumah sakit itu pula Titiek mengembuskan napas terakhirnya.
“Kesannya banyak sekali, tapi yang jelas eyang sangat cantik sekali. Senyum dan badannya tidak keriput sama sekali, cantik sekali,” tutur Inul Daratista, saat melayat ke kediaman almarhumah di Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Siapa jua dapat dengan mudah dibuat menganggukkan dagu ketika mengindahkan rinai suara sang diva. Iramanya begitu menyayat hati. Di dalam gendang telinga, gema dan ruh lagu-lagunya berdenyar begitu luar biasa.
Tiada yang meragukan reputasi beken Titiek Puspa. Di masa primanya, dia manggung nyaris tanpa pesaing.
Alberthiene Endah, dalam Titiek Puspa: A Legendary Diva (2008), bersaksi, boleh jadi jarum jam hanyalah trayek penanda waktu buat dia. Jika seseorang mencari via telepon rumahnya di Perdatam, barang mungkin asistennya mengabarkan, hampir setiap hari Eyang Titiek show di luar kota, bahkan lintas pulau.
Namun, di balik kemasyhurannya, Titiek Puspa bukanlah diva yang memompa kariernya dengan bensin bernama ambisi. Dia tidak pernah berpikir menjadi seorang narsis yang dengan gampang mengelabui popularitas demi mendongkrak ekonomi.
Sekalipun kediaman pribadinya bagai museum memorabilia, lengkap dengan pajangan piala dan sederet penghargaan yang tercecer, dia tidak pernah memusingkan itu.
Sekali waktu, Alberthiene Endah mewawancarai sang diva pada Mei 2007 demi kebutuhan penulisan, Titiek bahkan mengaku piagamnya banyak yang hilang. Album-album fisik atas namanya juga raib dari ingatan.
Satu-satunya benda yang dia sayangkan sirna adalah coretan lirik dan notasi lagu Bing yang ditulisnya di atas pesawat. Rumah Titiek Puspa di Menteng pernah dilahap jago merah pada 1985. Lembaran kertas yang mengenang Bing itu turut terbawa hangus jadi abu, membumbung bersama kepulan asap yang mengantar Bing Slamet ke nirwana.
Bukan berarti Titiek tidak diajarkan menghargai apresiasi dan cendera mata. Jauh pandang dari itu, kehidupan pribadi Titiek justru lekat dengan nurani dan muhasabah diri. Dia sangat menghormati perasaan, lebih-lebih yang berkaitan dengan pikiran dan kebebasan.
Lirik lagu-lagunya yang hit lahir dari pertemuan dengan masyarakat sekitar, perempuan tertindas, pelacur, durjana yang ditinggal sang kekasih, juga lain-lainnya. Dia merasa, menulis dan bernyanyi adalah panggilan hati nurani.
Jalan Terjal yang Dilalui "Anak Ringkih"
Nama asli sang diva adalah Sudarwati, lahir dari pasangan Tugeno Puspowidjojo dan Siti Mariam pada 1 November 1937. Tanjung Tabalong, Kalimantan Selatan, adalah tempatnya berasal.
Alberthiene Endah meriwayatkan, Titiek melabeli dirinya sebagai “anak ringkih”. Imun tubuhnya kepayahan beradaptasi dengan udara luar. Dia tak seperti kakak-kakaknya yang energik.
Ketika kakak-kakaknya berlari dan bermain di halaman rumah, Titiek kecil hanya dapat termangu memandangi mereka dari beranda rumah. Sedikit angin sudah cukup membuatnya meriang dan demam. Dia mengaku tidak memiliki teman, sedikit bicara, bahkan tak kuasa membayangkan kelak ketika besar bakal jadi apa.
Bapaknya simpati terhadap kondisi itu. Menurut kepercayaan orang Jawa, nama acap kali berpengaruh pada nasib seseorang. Karena itu, selamatan bubur merah dan bubur putih dihelat. Tugeno mengganti namanya, dari Sudarwati berubah Kadarwati.
Namun, upaya yang pertama tak sesuai harapan. Pihak keluarga pun mengubah lagi namanya menjadi Sumarti. Alih-alih jadi sehat, nasibnya justru kian memburuk.
Tidak lama setelah menyandang nama Sumarti, dia terserang tifus dan malaria. Kendati pil kina sudah bisa diandalkan, harapan hidupnya terus menipis. Titiek bahkan sempat terpikir mengakhiri hidupnya sebab tersiksa panas dan dingin yang menjalar ke sekujur tubuh, diiringi pusing hebat dan mual sekaligus.
Melawan penyakit sudah bukan lagi pilihan. Dia benar-benar putus asa. Akan tetapi, orang-orang terdekatnya, termasuk sang ibu, tak pernah alpa menuntunnya berdoa dengan cara kejawen. Kalau bukan karena kasih sayang orang tua dan segenap saudara, Titiek mungkin tak akan pernah sampai di masa gemilang kariernya.
Titian awal karier Titiek bisa dibilang merupakan pelarian. Bruce Edmon, wartawan The Jakarta Post sempat menanya-nanyainya dalam sesi intimasi pada 29 Juli 2008.
Mulanya, Titiek bercita-cita menjadi guru taman kanak-kanak. Namun, lantaran acap kali memenangkan kontes menyanyi cilik dalam waktu lama, dia merasa karakternya terletak di sana. Sayang, keputusannya menjadi penyanyi saat usia 14 tahun ditentang orang tua. Sebagaimana majalah Varia menulis dalam artikelnya, “Biduanita Kesajangan Anda: Titiek Puspa” (11/9/1963), profesi penyanyi lekat dengan cap “penghibur” dan buruk di anggapan moral umum.
Akan tetapi, pertentangan sama sekali tak menciutkan nyalinya. Dia memakai siasat cerdik agar bisa terus bernyanyi. Salah seorang kawan, Yayu, pernah menyarankannya menggunakan nama panggung guna menyamarkan identitas. Dia memilih “Titiek Puspa” yang diambil dari kombinasi sapaan sehari-hari dan nama belakang ayahnya.
Bersakit Dahulu, Beroleh Popularitas Kemudian
Titiek memutuskan mengikuti acara pencarian bakat bertajuk "Bintang Radio" yang dihelat RRI di Semarang pada 1954. Bakatnya tak berkhianat. Dia langsung menyabet juara dua.
Pada malam penganugerahan juara, Titiek menyanyi lagu "Chandra Buana", karya penyair Ismail Marzuki, diiringi oleh Orkes Simphony Djakarta (OSD) pimpinan Sjaiful Bachri. Merasa sreg dengan alunan suara Titiek, Sjaiful lantas mengajaknya ikut OSD dengan bayaran 75 perak sekali tampil.
Sambil menyelam minum air. Tak hanya hadiah dan tawaran kerja yang diperoleh Titiek dalam acara pencarian bakat itu, tetapi juga pujaan hati pertamanya, Zainal Ardi. Namun sayang, setelah menikah pada 1957 dan dikaruniai dua anak perempuan, Petty Tunjungsari dan Ella Puspasari, pernikahan mereka pupus sebelas tahun kemudian.
Meski begitu, berkah kariernya tak putus. Sejak kontes di RRI, nama Titiek mulai sohor di kalangan musisi kenamaan nasional. Selang setahun setelahnya, Titiek memberanikan diri masuk dapur rekaman pada 1955. Piring hitam pertamanya berlabel Gembira yang berisi lagu "Di Sudut Bibirmu", "Esok Malam Kau Kujelang", dan vokal duet lagu Indada Siririton bersama Tuty Daulay.
Bahkan, bakat olah vokalnya tercium sampai istana. Dia pernah diundang sebagai tamu istimewa Presiden Sukarno pada 1960. Senandung suara Titiek berhasil menyihir pikat orang nomor satu di Indonesia waktu itu. Diminta personal, Titiek menjadi penyanyi istana sekaligus mengisi vokal grup musik Lensois bentukan presiden.
Soekarno adalah tokoh yang meresmikan nama panggung Titiek Puspa, superdiva yang selalu memiliki karier emas di setiap masa. The grande dame of Indonesian entertainment, begitulah Bruce Edmond menjulukinya.
Semasa Orde Soeharto, Titiek yang sudah senior kembali berkesempatan hadir di acara "Kontes Pop Singer" dalam rangka HUT RRI. Kali ini, dia bukan lagi sebagai peserta, melainkan juri sekaligus bintang tamu. Pelantun lagu "Kupu-Kupu Malam" itu merasa berterima kasih bisa kembali ke tempat dia meniti karier.
Dia menyanyi musik pop orkestra, ditemani 12 penggesek biola. Sementara itu, dua juri lainnya, Sam Saimun dan Benny Pablo, bermain klarinet.
Majalah Tempo edisi 9 Oktober 1971 menggambarkan gaya Titiek Puspa waktu menyanyi pop tidak seperti patung. Tubuhnya ikut bersorak bersama dentum bit musik.
Melambunglah Sang Diva
Pentas demi pentas dijajaki oleh Titiek Puspa. Hingga akhirnya tibalah kesempatan di panggung besar. Tak main-main, dia tampil bersama pionir musisi pop-rock Indonesia, Koes Plus, dalam Pekan Seni Jakarta 1971. Penonton berjubel memasuki Taman Ismail Marzuki (TIM), berusaha mendapatkan tempat utama di muka, meski langit waktu itu tampak muram. Beberapa di antaranya sudah siap-siap sedia payung.
Namun, Titiek cukup lihai mengendalikan situasi. Lekuk-lekuk nada dari bibirnya yang menggayut aneh dan bebas memang terdengar janggal, tetapi cukup bisa membuat penonton ketagihan. Tema lagunya sederhana, tetapi ditulis dengan ungkapan populer yang hidup dalam pergaulan sehingga masyarakat umum dapat mudah menerima. Dia menyanyikan "Hidupku Untuk Cinta", "Remaja", dan "Idaman". Ada pula lagu dengan lantunan seriosa yang digarap matang macam "Minah Gadis Dusun" dan "Pantang Mundur".
Pada waktu itu, Titiek sudah menikah lagi dengan Mus Mualim, pianis grup Indonesia Lima yang menjadi pengiringnya di TIM. Titiek sudah mengenal Mus sejak lama. Di awal meniti karier, dia pernah menggarap lagu bersama Mus Mualim, Iskandar, dan Wedasmara, pada 1963.
Kiprah Titiek pun makin melesat sejak itu. Dua album yang meledakkan nama sang diva, Si Hitam dan Pita, adalah bukti kebolehan suaranya. Tidak heran jika sang diva menjadi bidikan penggawa Soeharto.
Titiek Puspa dan beberapa artis diundang untuk memeriahkan penutupan raker Departemen Penerangan pada April 1971. Sebagai penghibur utama bagi para tamu undangan, Titiek menyanyikan lagu “Neng-neng neng-neng gung” alias "Hidupku Untuk Cinta".
Meski tergolong sebagai biduan muda, Titiek sama sekali tidak melihatkan gelagat gugup. Bahkan, dia memberanikan diri turun panggung lantas menggandeng tangan Menteri Penerangan, Budiardjo, dan mengulurkan ajakan dansa bersama.
Titiek juga pernah berkolaborasi dengan studio rekaman milik negara, Lokananta, menjadi penyanyi tetap di Hotel Des Indes, dan melawat ke Malaysia dengan misi muhibah seni.
Tidak hanya tampil sebagai diva, Titiek juga sempat sibuk berkampanye di Jawa Tengah. Dia pernah mendaftar sebagai calon anggota DPR nomor 90 pada pemilu 1971. Saat berkampanye, kekuatan Titiek Puspa adalah tarik suara. Suaminya, Mus Mualim, setia menemani di atas panggung Stadion Utama Senayan, bernyanyi sembari berkampanye bersama Golkar.
Seturut buku Perjalanan Titiek Puspa Jilid 2, Titiek pernah membuatkan kado spesial untuk Soeharto: sebuah lagu berjudul "Bapak Pembangunan". Dia juga merekam romantisisme presiden dan istri, Siti Hartinah (Tien Soeharto), lewat "Dua Sejoli". Lagu terakhir disebut juga sempat dibawakannya pada perayaan ulang tahun Kompas ke-28 pada 1993.
Stamina Titiek patut diacungi jempol. Dia turut melihatkan totalitas peran dalam grup Persatuan Artis Penyanyi Ibu Kota (Papiko) yang didirikannya pada 27 Mei 1972.
Di Papiko, Titiek tidak hanya bernyanyi solo, tetapi juga melakoni operet Bawang Merah Bawang Putih, Ketupat Lebaran, Kartini Manusiawi, dan Ronce-ronce. Aksi nyentriknya di atas panggung langsung jadi primadona pemirsa TVRI. Penggubah lagu "Apanya Dong" tersebut juga pernah menampilkan Operetta Lebaran bertajuk Kampung Gang Kelinci pada 1984, ditayangkan pada malam jelang hari raya Idulfitri di TVRI.
Titiek memang lihai merekam kehidupan masyarakat, merangkai kisah pilu dan membaca peluang sebagai modal menulis lagu. Lihat misalnya lagu "Gang Kelinci" yang menggambarkan kehidupan di gang sempit padat penduduk, dengan anak-anak yang bermain riang, atau "Kupu-Kupu Malam" yang melukiskan kisah pelacur yang ditemuinya pada sebuah pertunjukan.
Soal kepiawaiannya menganalisis komposisi suara tak perlu diragukan. Sebagai produser musik, Titiek Puspa kenal betul karakter vokal penyanyi yang membawakan lagunya. Bing, misalnya, tak dibebankan kepada Eddy Silitonga yang sudah populer lewat senandung "Jatuh Cinta". Dia lebih memilih Grace Simon. Ia juga memilih Euis Darliah sebagai pelantun "Apanya Dong" lantaran dinilai memiliki karakter suara nakal dengan lengkingan yang menggelitik.
Titiek sengaja menciptakan lagu untuk musisi-musisi yang menurutnya cocok membawakan lagunya. Misalnya, lagu "Kepergiannya" dan "Tamatnya Sandiwara" diberikan kepada Hetty Koes Endang. Hasilnya, Hetty berhasil meraih juara dalam "Festival Lagu Pop 1977" berkat tembang pertama disebut.
Lagu yang diciptakan maestro diva sudah ratusan jumlahnya. Mungkin sekitar 600 buah, yang kebanyakan dipopulerkan oleh musisi nasional, seperti Marini dan Acil Bimbo. Karya-karyanya melenggang abadi sepanjang masa. Dia senantiasa menjadi diva ternama sejak masa Sukarno sampai Prabowo.
Bersemayamlah dengan damai, seperti namamu yang seharum bunga, Titiek Puspa!
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin