Menuju konten utama

Jejak Budaya Majapahit di Kesultanan Cirebon

Siapa nyana, beberapa jejak budaya dari era Majapahit dapat ditemui di Kesultanan Cirebon. Mulai dari ragam hias hingga tari topeng.

Jejak Budaya Majapahit di Kesultanan Cirebon
Header Mozaik Majapahit di Cirebon. tirto.id/Ecun

tirto.id - Cirebon merupakan salah satu daerah di Pulau Jawa yang paling awal menjadi pusat penyebaran agama Islam. Daerah di pesisir utara Jawa ini pada awalnya merupakan salah satu pelabuhan penting bagi Kerajaan Sunda. Ia pun terletak di perbatasan timur kerajaan tersebut.

Cirebon selanjutnya tampil pula sebagai pusat politik sebuah monarki Islam di abad ke-15. Menurut manuskrip Carita Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cerbon, sebagaimana disinggung oleh Uka Tjandrasasmita dalam “Kesultanan Cirebon: Tinjauan Historis dan Kultural” (2009), Cirebon mulai melepaskan diri dari pengaruh politik Kerajaan Sunda di era Sunan Gunung Jati.

Figur wali cum negarawan masyhur itu menginisiasi pemogokan pengiriman upeti uyah kalawan trasi (garam dan terasi) ke ibu kota Pakuan Pajajaran. Peristiwa itu disebut terjadi pada 1479.

Sunan Gunung Jati pulalah yang kemudian diyakini sebagai pendiri Kesultanan Cirebon dan menyebarkan pengaruhnya ke beberapa wilayah di sekitarnya, seperti Kuningan, Majalengka, Indramayu dan Karawang.

Di masa yang sama, Cirebon juga mengalami pembangunan besar-besaran di bidang infrastruktur, demi memenuhi visi Sunan Gunung Jati yang menetapkan Cirebon sebagai garage – “nagara gede” (kota besar). Uniknya, dalam proses pembangunan yang memakan banyak waktu dan tenaga itu, terselip suatu kisah mengenai peran “orang-orang Majapahit”.

Raden Sepat dan Ki Gede Trepas

Data terkait peran nyata orang-orang Majapahit di awal sejarah Kesultanan Cirebon sebenarnya tidaklah gamblang. Jejak-jejaknya yang sumir setidaknya terekam dalam memori kolektif masyarakat Cirebon masa lalu.

Hal ini disinggung oleh Wawan Hernamawan dan Ading Kusdiana dalam Biografi Sunan Gunung Jati: Sang Penata Agama di Tanah Sunda (2020).

Menurut penelusuran kedua sejarawan itu terhadap sumber-sumber tertulis Cirebon, Sunan Gunung Jati yang baru saja merintis Cirebon disebut menginginkan pula dibangunnya sebuah masjid agung. Bagaimanapun masjid merupakan tengara penting dalam lanskap kota Islam.

Tak hanya sebagai pusat peribadatan, masjid baru di Cirebon itu diharapkan dapat pula berperan sebagai “pasangan” Masjid Agung Demak sebagai forum musyawarah pemuka Islam. Untuk mewujudkan misinya itu, Sunan Gunung Jati lantas menunjuk Sunan Kalijaga untuk memimpin pendirian masjid itu.

Masjid itu kemudian diberi nama Masjid Sang Cipta Rasa. Sunan Kalijaga ketika itu disebut merekrut dua orang tawanan dari Majapahit untuk membantunya. Kedua tawanan itu dikenal sebagai Raden Sepat dan Ki Gede Trepas. Mereka didapuk menjadi arsitek dan bekerja bersama dengan sekitar 500 tukang bangunan yang berasal dari Cirebon, Demak, dan juga Majapahit.

Kisah itu sekilas memang tampak mustahil terjadi, tapi ia setidaknya punya korelasi tak langsung dengan informasi dari beberapa sumber sejarah Jawa. Salah satunya adalah Babad Tanah Jawi.

Willem Remmelink dalam Babad Tanah Jawi: The Chronicle of Java (2020) menafsirkan bahwa Sunan Kalijaga memanglah putra seorang pejabat Majapahit. Di masa mudanya—kala ia masih memakai nama Jaka Said, dia disebut pernah datang ke Cirebon. Dikatakan, setelah bertobat dan bersumpah menjadi petapa pada Sunan Bonang, Jaka Said datang ke Cirebon untuk melakukan pertapaan.

Di Cirebon pula, Jaka Said menikah dengan saudari dari Sunan Gunung Jati. Remmelink juga menyebut bahwa Babad Tanah Jawijuga meyakini Jaka Said mendapatkan gelar “Kalijaga” di masa dia tinggal di Cirebon. Kemungkinan, Sunan Kalijaga punya peran besar sebagai agen kebudayaan Majapahit di Cirebon.

Nuansa Budaya Majapahit di Cirebon

Secara arkeologis, bukti-bukti tinggalan yang mencerminkan corak-corak budaya Majapahit justru agak lebih terang. Itu dapat dijumpai dalam gaya arsitektur dan ornamental beberapa objek bangunan bersejarah di Cirebon.

M.H. Hakimuddin dkk. dalam “Pengaruh Arsitektur Tradisional Jawa terhadap Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon” (2016) menyebut bahwa ciri “ke-Majapahitan” dari segi ornamental bisa ditemui contohnya melalui lambang Surya Majapahit di ambang mihrab Masjid Sang Cipta Rasa.

Istilah Surya Majapahit merujuk pada suatu simbol berbentuk seperti matahari dengan garis-garis semburat cahaya. Pada delapan sisinya biasanya dilengkapi dengan relief dewa-dewa astadikpalaka–dewa-dewa penjaga arah mata angin dalam kepercayaan Hindu.

Infografik Mozaik Majapahit di Cirebon

Infografik Mozaik Majapahit di Cirebon. tirto.id/Ecun

Penjabaran soal pengaruh budaya Majapahit secara arsitektual juga dijelaskan oleh Tri Utaminingsih dalam Bangunan-bangunan di Sitinggil pada Kompleks Keraton Kasepuhan, Cirebon (1996). Dalam studinya itu, Utaminingsih menunjukkan bahwa bentuk dan struktur bangunan sitinggil di halaman Keraton Kasepuhan memiliki kemiripan karakter dengan gambaran yang terdapat dalam relief beberapa candi masa Majapahit, antara lain Candi Jago, Candi Panataran dan Candi Tegawangi.

Utaminingsih juga menulis, “Di Cirebon (F.D.K.) Bosch mengambil contoh gapura bentar yang ada di kompleks kraton Kasepuhan dan di kompleks bangunan Sunyaragi yang ia bandingkan dengan Gapura Wringin Lawang (Mojokerto). Menurut pendapatnya Gapura Bentar di Cirebon itu hanya monumental saja menonjol, selebihnya merupakan peniruan yang mengagumkan.”

Dari sisi budaya nonbenda, corak Majapahit yang masih tersisa justru menjadi ikon dari Cirebon, yakni tari topeng. Tari topeng sebagaimana banyak diketahui bersandar pada cerita Panjiyang populer pada masa Majapahit.

Sebagaimana disinggung oleh Agus Aris Munandar dalam Tekes: Tinjauan terhadap Kisah-kisah Panji (2020), kepopuleran ceritera Panji dapat ditelusuri dari banyaknya candi masa Majapahit yang menampilkan relief adegan cerita itu, misalnya Candi Panataran, Mirigambar dan Kendalasada.

Lagi-lagi Sunan Kalijaga diyakini sebagai tokoh sentral dalam penyebarluasan tradisi tari Topeng Panji di Cirebon. Menurut M.S. Prawiredja dalam Cirebon Falsafah, Tradisi, dan Adat Budaya (2005), sumber Babad Cirebon maupun sumber lisan lain sama-sama menyebut bahwa tari topeng cirebon yang saat ini berkembang seluruhnya berkenaan dengan Sunan Kalijaga.

Bedanya, Babad Cirebonmengisahkan bahwa tari topeng di bawa oleh Sunan Panggung, salah seorang anak Sunan Kalijaga. Sementara itu, beberapa sumber lisan menyebut tari topeng cirebon disebarkan untuk kali pertama oleh Ki Danalaya, seorang tokoh Cirebon yang berguru pada Sunan Kalijaga bernama.

Kedua cerita itu sama-sama mengarah pada bentuk modifikasi tari topeng ala Majapahit dengan unsur budaya lokal Sunda, yang dalam salah satu sumber disebut berpokok pada tarian dari Karawang.

Baca juga artikel terkait CIREBON atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi