tirto.id - Suara lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an mengalun merdu, memenuhi ruang masjid. Anak-anak muda dan santri silih berganti estafet melafalkan setiap huruf, mengaji, dan berusaha menyempurnakan bacaan mereka. Dua juz bacaan didapatkan oleh mereka setiap hari yang dimulai setelah Asar hingga menjelang Magrib.
Sesekali, seorang jemaah yang lebih tua mengoreksi tajwid atau makhraj bacaan dengan penuh kasih sayang. Mereka pun saling menyimak, bertanya, dan berbagi pemahaman tentang makna ayat yang dibaca.
Itu bukan sekadar aktivitas membaca sekenanya, melainkan pembelajaran bersama penuh semangat untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam membaca kitab suci.
Angin sepoi-sepoi berembus dari jendela yang terbuka, membawa aroma masakan tetangga yang disiapkan untuk berbuka puasa bersama. Ramadhan di masjid perkampungan Desa Cimande, Bogor, sore itu, bukan sekadar tentang ibadah individu, melainkan kebersamaan dan kekeluargaan.
Ketika azan Magrib berkumandang, tadarus atau tadarusan berakhir dengan doa, diikuti dengan buka puasa bersama yang penuh syukur.
Tradisi Tadarus Sejak Zaman Nabi
Selain bulan puasa, Ramadhan juga dikenal sebagai bulan turunnya Al-Qur’an, kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat muslim. Salah satu tradisi yang sangat erat kaitannya dengan bulan suci ini adalah tadarus Al-Qur’an.
Kata tadarus berasal dari bahasa Arab, yaitu darasa, yang berarti belajar atau mempelajari. Secara metafora, kata tersebut berarti membaca secara berulang-ulang, disertai dengan pemahaman, hingga seseorang mudah menghafalnya. Ketika ditambahkan awalan ta-, kata itu berubah menjadi tadarasa, yang artinya 'saling belajar atau mempelajari bersama-sama'.
Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, dalam makalah terbitan Almufida berjudul “Tadarus Alquran: Urgensi, Tahapan, dan Penerapannya”, menyimpulkan asal-usul tadarus menjadi syarat yang harus dipahami bahwa tadarus Al-Qur’an minimal harus dilakukan oleh dua orang.
“Jika hanya dilakukan seseorang saja, maka tidak dapat disebut tadarus, karena istilah ini menuntut adanya partisipasi lebih dari satu orang dalam mengkaji Al-Qur’an,” sambung Zamakhsyari.
Dengan demikian, tadarus Al-Qur’an dapat dipahami sebagai kegiatan belajar atau membaca Al-Qur’an secara bersama-sama. Aktivitas ini tidak hanya sekadar membaca, tetapi juga diskusi, tafsir, dan belajar memahami makna ayat-ayat yang dibaca.
Tadarus Al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Islam sejak zaman Rasulullah saw. Bahkan, Nabi Muhammad saw. sendiri yang mempelopori tradisi tersebut. Pada masa itu, Rasulullah sering membaca Al-Qur’an bersama para sahabat.
Nabi tidak hanya membaca, tetapi juga menjelaskan makna dan tafsir dari ayat-ayat yang dibaca. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa para sahabat memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu momen penting dalam sejarah tadarus Al-Qur’an adalah peristiwa turunnya wahyu pertama kali kepada Nabi Muhammad di Gua Hira. Pada 17 Ramadhan, Malaikat Jibril datang membawa wahyu surat Al-‘Alaq ayat 1-5:
“Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar [manusia] dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Rasulullah pun akhirnya bertadarus dengan Malaikat Jibril setiap Ramadhan guna memperkuat hafalan dan pemahaman isi Al-Qur’an. Oleh karena itulah Ramadhan memiliki kedudukan khusus dalam Islam, terutama karena Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada bulan ini yang dipertegas dalam surah Al-Baqarah ayat 185:
“Bulan Ramadhan adalah [bulan] yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda [antara yang benar dan yang batil].”
Sejak saat itu, Al-Qur’an secara bertahap diturunkan kepada Nabi Muhammad. Setiap kali menerima wahyu, dia langsung menghafalnya dan membacakannya kepada para sahabat yang bertugas menuliskannya kembali. Mereka adalah Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Mu'adz, Abu Darda', Sa'ad bin Ubaid, dan Abu Zaid.
Pembelajaran Al-Qur’an generasi awal Islam ini dilakukan di rumah-rumah pribadi dan masjid yang dilakukan dengan musyafahah, yaitu membaca secara benar tanpa tambahan atau kekurangan.
Seiring waktu, lahir beberapa varian dari sisi pembacaan Al-Qur’an atau qiraah, yang mencakup perbedaan dalam intonasi, vokalisasi, dan huruf tertentu. Kendati demikian, semuanya memiliki rantai transmisi yang tak terputus hingga Nabi Muhammad.
Untuk mengatasi hal itu, kodifikasi Al-Qur'an lantas dilakukan di masa Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 650 M. Proyek ini yang akhirnya melahirkan mushaf, yakni kumpulan lembaran-lembaran ayat-ayat Al-Qur'an yang ditulis dan dikompilasikan secara tertib sebagaimana kita kenal sekarang, lengkap dengan susunan surah dan ayat-ayatnya.
Tujuan kodifikasi tersebut ialah mengatasi perbedaan cara membaca Al-Qur’an yang muncul di antara umat muslim ketika Islam makin menyebar ke wilayah lain.
Seturut makalah berjudul “The Origins of the Variant Readings of the Qur'an”, bacaan dalam mushaf Utsman mengikuti tiga aturan utama: kesesuaian dengan kerangka konsonan mushaf Utsman, konsistensi dengan tata bahasa Arab, dan rantai transmisi yang autentik.
Tadarusan di Berbagai Wilayah
Setiap tahunnya, tradisi membaca Al-Qur’an kian marak saban Ramadhan, dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang saleh terdahulu, seperti Utsman bin Affan, Ubai bin Ka’b, dan Tamim Ad-Dari. Lalu, tradisi ibadah ini diteruskan oleh generasi ulama berikutnya, seperti Imam Malik dan Imam asy-Syafi'i.
Imam Syafi’i bahkan dikisahkan kerap mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 60 kali selama Ramadhan. Itu artinya, rata-rata ia mampu menuntaskan bacaan 30 juz sebanyak 2 kali dalam sehari.
Proses ini menjadi cikal bakal tradisi tadarus yang terus diwarisi oleh umat Islam hingga saat ini. Dari sini pula lahir para penghafal Al-Qur’an, hafiz, yang berkemampuan melafalkan ayat suci tanpa teks.
Para hafiz umumnya menerima sertifikat yang disebut ijaza. Dengan itu, mereka berizin resmi untuk mengajarkan pembacaan Al-Qur'an dan menjadi mata rantai baru dalam rantai qari dan qariah yang mengarah kembali ke Nabi Muhammad (sanad).
Di Indonesia, tradisi tadarus rutin diadakan di musala dan masjid, baik itu sore menjelang buka puasa ataupun setelah Tarawih pada malam hari. Bahkan ada yang menggelarnya menjelang sahur. Adapun jumlah bacaan setiap tadarus umumnya mengacu pada jumlah juz.
Di kota Makkah dan Madinah, bacaan Al-Qur'an biasanya khatam pada malam ke-29 Ramadhan. Sebab, setiap malam, bacaan salat Tarawih di Masjidilharam dan Masjid Nabawi selalu diisi dengan 1 juz. Namun, sejak pandemi Covid-19, dua kota suci tersebut menurunkan jumlah rakaat salat Tarawihnya, dari 20 rakaat menjadi 10 rakaat.
Penggunaan istilah tadarus juga berlaku di Brunei Darussalam—sebagian ada yang menyebutnya tedarus. Di Istana Darul Iman, rutin diadakan Tadurus Diraja atau Tadarus Kerajaan, yang digelar oleh Sultan Hasanal Bolkiah. Tradisi ini dimulai beberapa dekade lalu, ketika istana sudah dibuka secara umum untuk salat Tarawih dan pembacaan Al-Qur'an.
Di Turki dan beberapa negara Balkan seperti Makedonia, tadarus dikenal dengan istilah lain, yakni muqabala, yang mengacu pada kisah pembacaan Al-Qur’an dari malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Tradisi muqabala di Makedonia dimulai bahkan sebelum Ramadhan.
Selama periode Ottoman, di Turki, petugas masjid yang disebut cuzhan bertugas membaca 20 halaman Al-Qur’an sebelum salat.
Makna dan Keutamaan Tadarus Al-Qur’an
Kegiatan membaca Al-Qur’an secara bersama-sama bukan sekadar tradisi. Ia memiliki makna mendalam bagi umat muslim.
Tadarus Al-Qur’an merupakan pemicu bagi seorang muslim untuk terus memperdalam ilmu agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa mengenal waktu dan usia. Lima ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad mencerminkan bahwa Al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu.
Al-Qur’an juga tidak membedakan antara orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Az-Zumar ayat 9:
“Katakanlah, ’Apakah sama orang-orang yang mengetahui [hak-hak Allah] dengan orang-orang yang tidak mengetahui [hak-hak Allah]?’ Sesungguhnya hanya ululalbab [orang yang berakal sehat] yang dapat menerima pelajaran.”
Ayat-ayat tersebut dapat menjadi landasan berpikir bahwa kegiatan tadarus selayaknya menjadi sarana mengajarkan pentingnya belajar bersama dan sarana saling mengingatkan.
Dari sisi keutamaannya, membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan memiliki berbagai faedah, baik dari segi spiritual maupun sosial. Salah satunya ialah iming-iming pahala berlipat ganda. Rasulullah saw. bersabda:
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan.” (HR. Tirmidzi)
Lain itu, membaca Al-Qur’an merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan membaca dan merenungkan ayat-ayat-Nya, seorang muslim dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaannya.
Tadarus tidak hanya sekadar kegiatan membaca, tetapi juga melibatkan diskusi dan tafsir. Dengan begitu, tadarus membantu umat muslim memahami makna dan pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an.
“[...]tadarus itu meliputi tiga proses: yang pertama itu kita membacanya, kemudian kita memahaminya dan kemudian kita berusaha menelaah dengan sangat mendalam merefleksikan apa yang kita baca,” ujar Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Muti.
Dengan kata lain, membaca Al-Qur’an juga dapat menenangkan hati dan pikiran. Ia bisa menjadi sarana membersihkan diri dari dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan. Dengan membaca dan merenungkan Al-Qur’an, seorang muslim dapat menemukan petunjuk dan solusi atas berbagai masalah kehidupan.
Tadarus Al-Qur’an yang dilakukan secara berjemaah dapat mempererat hubungan sosial antarumat muslim. Aktivitas ini menjadi sarana untuk saling mengingatkan dan saling mendukung dalam amal kebaikan.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin