Menuju konten utama

Khazanah Mushaf Al-Qur'an dari Penyusunan hingga Perburuan

Mushaf Al-Qur'an telah banyak dikaji para sarjana Barat dan diburu kolektor. Kiwari di Indonesia bermunculan mushaf kuno-kunoan dengan harga sangat mahal.

Khazanah Mushaf Al-Qur'an dari Penyusunan hingga Perburuan
Header Mozaik Mushaf Al-Quran Nusantara. tirto.id/Ecun

tirto.id - Al-Qur'an diturunkan secara bertahap selama hampir 23 tahun melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Pada masa itu, Al-Qur'an ditulis secara sporadis oleh para sahabat di atas lembaran lontar atau perkamen, batu tulis, pelepah kurma, tulang belikat unta, tulang rusuk unta, dan kulit binatang ternak lainnya.

Al-Qur'an juga dihafal oleh para sahabat yang disebut hafidz atau penghafal Al-Qur'an. Penulisannya tidak memiliki susunan tertentu, termasuk penggunaan titik dan tanda baca (harakat).

Setelah Nabi Muhammad wafat, banyak hafidz yang syahid dalam peperangan Yamamah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Al-Qur'an akan hilang atau berubah. Abu Bakar Ash-Shiddiq selaku khalifah pertama memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua tulisan-tulisan dalam satu mushaf.

Mushaf ini disimpan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, lalu diwariskan kepada Umar bin Khattab dan kemudian kepada putrinya Hafsah binti Umar yang menjaganya dengan baik sehingga dikenal juga dengan Mushaf Hafsah.

Setelah itu, Umar bin Khattab menjadi khalifah kedua dan mulai memperbaiki Mushaf Al-Qur'an. Pada masa kepemimpinannya, mushaf yang dihasilkan sudah mulai memiliki susunan dan urutan ayat-ayat yang teratur.

Penulisan masa selanjutnya kemudian dikenal dengan Mushaf Pra-Utsmani, merujuk pada kumpulan salinan Al-Qur'an yang terkumpul sebelum proses kodifikasi oleh Utsman bin Affan. Para sahabat nabi menjaga wahyu tersebut melalui dua cara, dihafalkan dan melalui penulisan.

Utsman bin Affan mengeluarkan keputusan untuk membuat Mushaf Al-Qur'an yang standarnya sama di seluruh wilayah Islam pada tahun 651 M. Proses penulisannya dilakukan dengan mengambil Mushaf Hafsah sebagai dasarnya.

Proses penyusunan mushaf tersebut diawali dengan pembentukan komite khusus yang terdiri dari para sahabat nabi yang ahli dalam bahasa Arab dan hafidz Al-Qur'an, seperti Zaid bin Tsabit, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka'ab, Thalhah bin Ubaidillah, Sa'id bin Al-'As, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisham.

Sebanyak empat salinan Mushaf Utsmani dikirim ke Makkah, Madinah, Kufah, dan Bashrah. Dua salinan lainnya dikirim ke Damaskus dan Bahrain.

Beberapa salinan Mushaf Utsmani masih ada hingga sekarang seperti di Topkapi Museum di Istanbul, Uzbekistan State Museum of History di Tashkent, Husaini Mosque di Cairo, dan British Library di London.

Di beberapa negara seperti Indonesia, Mushaf Utsmani menjadi standar penulisan (rasm) Al-Qur'an hingga sekarang.

Kajian Mushaf Al-Qur'an

Studi Al-Qur'an telah lama berkembang dan banyak dipelajari sarjana Barat. Studi ini mencakup berbagai disiplin ilmu seperti filologi, sejarah agama, dan fenomenologi. Awalnya, kajian Al-Qur'an di Barat dilakukan oleh sarjana Kristen dan Yahudi yang bertujuan untuk melakukan penerjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Eropa dan memahami Islam secara lebih baik.

Namun, kajian tersebut masih penuh dengan nuansa polemik dan apologetik terhadap Islam.

Pada pertengahan abad ke-19, para sarjana Barat mulai memperkenalkan pendekatan akademis dalam kajian Al-Qur'an yang lebih deskriptif. Salah satu tokoh penting dalam hal ini adalah Abraham Geiger yang menerapkan pendekatan Historical-Criticism.

Selain itu, sejarah agama menjadi disiplin yang diakui di beberapa universitas dan digunakan untuk mempelajari Islam.

Para sarjana Barat juga menggunakan pendekatan fenomenologi dalam kajian Al-Qur'an, yaitu dengan mencari esensi suatu fenomena dan identifikasi struktur internalnya. Beberapa tokoh yang menggunakan pendekatan ini antara lain Charles J. Adams, Maurice Bucaille, dan William C. Smith.

Selain meneliti teks Al-Qur'an, mereka juga mempelajari penafsiran muslim terhadap Al-Qur'an. Ignaz Goldziher, misalnya, melihat berbagai mazhab penafsiran sejak zaman awal Islam hingga periode Muhammad Abduh.

Banyak karya tulis yang akhirnya diterbitkan oleh sarjana Barat, seperti Bell’s Introduction to the Qur’an (1970) karya W. Montgomery Watt yang diterbitkan oleh Universitas Press.

Kemudian ada Quranic Studies: Sources And Methods Of Scriptural Interpretation (1977) karya John Wansbrough yang diterbitkan Oxford University. Selain itu, terdapat juga karya-karya lainnya seperti Encyclopedia of the Qur'an (2001) karya Jane Dammen McAuliffe dan Blackwell Companion to the Qur'an (2006) yang disunting oleh Andrew Rippin.

Karya-karya tersebut dapat dijadikan referensi dalam membahas berbagai aspek Al-Qur’an, termasuk sejarah, budaya, konteks, tafsir, dan lain-lain. Karya-karya ini telah membuka jalan kolaborasi antara sarjana Barat dan Muslim dalam mempelajari agama Islam secara lebih mendalam.

Memburu Manuskrip dan Mushaf Kuno

Pada 26 April 2018, Eléonore Cellard mengunjungi pusat pelelangan Christie di London. Ia adalah sarjana asal Prancis yang menggeluti manuskrip Al-Qur'an dan mengoleksi puluhan naskah kuno, potongan ayat, juga mushaf dari berbagai belahan dunia.

Saat itu Christie tengah memamerkan berbagai karya seni Islam, seperti karpet dan permadani di masa kejayaan Islam. Kemudia ada manuskrip Al-Qur'an yang diwakili fragmen Surat Al-Maidah dan Surat Al-An’am. Keduanya ditulis dengan gaya Hijazi atau Kufi yang diperkirakan berasal dari abad ke-2 Hijriah atau abad ke-8 Masehi.

Eléonore tertarik pada satu manuskrip tersebut, sebuah potongan ayat Al-Quran Surat Al-Maidah yang menimpa tulisan terhapus berbahasa Koptik--gaya bahasa yang umumnya digunakan orang Mesir Kristen.

Potongan ayat ini menimpa teks sebelumnya untuk memperjelas ayat Al-Qur'an agar terbaca utuh. Dalam hal ini, potongan ayat tersebut kemudian dikenal dengan istilah palimpsest, sebuah teknik menambal tulisan lama yang sudah terhapus atau pudar dengan tulisan baru.

Tulisan yang ditimpa diyakini ayat-ayat dari Kitab Perjanjian Lama umat Kristen.

Penemuan tersebut dianggap menarik karena menambah khazanah tentang sejarah penulisan Al-Qur'an Kuno. Dan tentu saja beberapa pertanyaan akhirnya muncul, bagaimana lembaran ayat itu ditulis? Bagaimana bisa bertahan selama berabad-abad?

Bagi Eléonore, selama 15 tahun pengalamannya mempelajari manuskrip dan naskah-naskah Al-Qur'an kuno, menyalin Al-Qur'an ke perkamen bekas sangat jarang terjadi dalam tradisi manuskrip Al-Qur'an.

Kelangkaan ini menunjukkan bagaimana sakralnya Al-Qur'an dan salinannya sehingga transmisi dengan perkamen lain terpaksa dilakukan.

“Dalam konteks yang sangat spesifik ini, daur ulang perkamen tampaknya merupakan pengecualian, mungkin hanya menanggapi situasi ekstrem kekurangan ekonomi dan material,” ujarnya dalam wawancara dengan majalah La Vie.

Sebelumnya, Eléonore telah mengonfirmasi palimpsest lain yang pernah ia pelajari, yakni Palimpsest Sana’a di Yaman. Dalam salah satu jurnalnya, ia menyebut palimpsest itu ditemukan ketika pemugaran Masjid Haram Sana’a pada tahun 1973. Fragmen-fragmen Al-Qur'an ditemukan di atap dan langit-langit oleh para pekerja proyek yang didanai atas kerja sama pemerintah Jerman dan Yaman.

Setidaknya ditemukan 38 lembar potongan ayat yang terbuat dari lembaran daun dan 35 folio dari palimsest tersebut, termasuk 40 lembaran lain yang ditemukan di perpustakaan masjid.

Dalam laporannya itu ia menyimpulkan bahwa gaya dan bahasa penulisan menunjukkan bahwa manuskrip ditulis pada paruh kedua abad ke-7 atau sezaman dengan Khulafaur Rasyidin.

Pada kesempatan lain, Eléonore memamerkan hasil perburuannya, sebuah manuskrip Al-Qur'an raksasa yang terbuat dari daun lontar yang didapatkannya dari Jawa atau Madura.

“Perlu dicatat bahwa daun lontar adalah alat tulis standar di wilayah ini, tetapi hampir tidak pernah digunakan untuk tulisan Arab,” ujarnya dalam sebuah utas di Twitter.

Mushaf Al-Quran Nusantara

Perkembangan mushaf Al-Qur'an mengalami pasang surut sejak abad ke-13 ketika Samudra Pasai menjadi Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Menurut Annabel Teh Gallop dalam Seni Mushaf di Asia Tenggara (2004), kerajaan di ujung timur laut Sumatra itu menandai keislamannya lewat pengislaman sang raja.

Namun demikian, sebuah koleksi Al-Qur'an tertua baru ditemukan pada abad ke-16 M, tepatnya bulan Jumadil Awal 993 Hijriah, dari koleksi William Marsden. Setelah itu, penyalinan Al-Qur'an dilakukan secara tradisional di berbagai daerah, seperti Aceh, Palembang, Padang, Cirebon, Banten, Solo, Madura, Lombok, Makassar, dan Ternate, berlangsung pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Sedangkan cetakan mushaf Al-Qur'an pertama di Nusantara adalah hasil karya Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah dari Palembang pada tahun 1848. Mushaf ini dicetak di atas batu dengan teknologi litografi.

Pada 1947, Salim Fachry dari Langkat, Sumatra Utara, menulis Mushaf Pusaka atas perintah Presiden Sukarno. Karya monumental ini sekarang menjadi koleksi Bayt Al-Qur'an & Museum Istiqlal, TMII, Jakarta.

Beberapa nama penyusun lainnya yang telah menyelesaikan mushaf Al-Qur'an ialah Muhammad Abdurrazaq Muhili, Muhammad Syadzali Sa'ad, Rahmatullah al-Dimawi, Safaruddin, Didin Sirojudin AR, dan Haji R. Ganda Mangundihardja.

Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur'an kemudian dibentuk pada tahun 1959 untuk memudahkan pentashihan dan penerbitan Al-Qur'an dengan standar penulisan yang telah ditentukan, seperti tanda wakaf dan tanda baca.

Pada era 1970-an, corak mushaf yang beredar di Indonesia masih berupa terbitan Bombay, Pakistan, dan Bahriyah Istanbul.

Saat ini, Al Qur'an standar Indonesia mengikuti Al-Qur'an Utsmani dengan kekhasan pada bentuk Khat Nasakh dan letak Nishf Al-Quran (Wal Yatalatthaf) yang berada di tengah halaman sebelah kiri.

Ali Akbar dalam Kaligrafi dalam Mushaf Kuno Nusantara (2019) menuturkan bahwa kajian mengenai mushaf kuno belum banyak dilakukan para sarjana Indonesia. Sejauh ini baru ada dua kajian akademis yang membahas mushaf Indonesia, yakni karya M. Gazali dari IAIN Jakarta dan M. Ibnan Syarif dari ITB.

Kedua kajian itu membahas Mushaf Istiqlal yang disusun selama empat tahun mulai tahun 1991 oleh A.D Pirous, Mahmud Buchari, dan Ahmad Nu’man, yang melibatkan tenaga ahli iluminasi dari beberapa sarjana ITB.

Infografik Mozaik Mushaf Al-Quran Nusantara

Infografik Mozaik Mushaf Al-Quran Nusantara. tirto.id/Ecun

Manuskrip dan Mushaf Kuno-kunoan

Dalam perkembangannya, Ali Akbar kemudian meneliti “Manuskrip Qur'an Kuno-kunoan” atau “Qur'an Tiban”, sebuah istilah yang ia sematkan merujuk pada transaksi penjualan Al-Qur'an yang dianggap kuno untuk menjaring minat pembeli atau kolektor dengan harga yang fantastis.

Seperti halnya keraguan Eléonore Cellard akan penggunaan daun lontar sebagai penulisan mushaf, Ali juga memiliki pandangan yang sama. Salah satu alasannya ialah karena daun lontar memiliki bidang yang kecil dan sulit untuk menulis teks yang sangat panjang seperti Al-Qur'an yang umumnya menggunakan benda tajam.

Selain itu, huruf Arab tidak cocok ditulis dengan benda yang runcing karena selama 14 abad perkembangannya, huruf Arab selalu ditulis dengan pena tebal-tipis.

Lebih dari itu, menurut Ali, "lembaran" mushaf yang dibuat dari sejumlah daun lontar yang dijahit rasanya merupakan media tulis yang terlalu dibuat-buat dan tidak efektif. Maka, jika “mushaf daun lontar” itu dibuat dengan sengaja untuk membuat kesan kuno suatu mushaf, agaknya itu karena memang sengaja mau "lucu-lucuan".

Salah satu kasus yang dialaminya yakni ketika bersama temannya mengunjungi sebuah museum beberapa tahun lalu, ada seorang penceramah dengan Al-Qur'an di tangannya menggebu-gebu dan menyebut ada tanda tangan Paus Johannes Paulus.

“Hah, apa hubungan Qur’an ini dengan Sang Paus? Ketika seorang kawan menanyakan di mana tanda tangannya, dia jawab, 'Wah, itu tidak bisa dilihat oleh orang biasa!' Dan, dia pun mengatakan, dengan nada meyakinkan, bahwa Qur'an tersebut muncul bersama halilintar yang menyambar! Ono-ono ae!” tukasnya sebagaimana ditulis dalam blog pribadinya.

Pada tahun 2011, seorang pria misterius memberikan Al-Qur'an yang ia sebut kuno kepada panitia pembangunan masjid di Surabaya. Kitab kuno itu disebut-sebut berasal dari era Majapahit, memiliki ketinggian 50 cm yang tebalnya 10 cm. Terbuat dari daun lontar dengan penulisan melalui tinta hitam dibalut dalam sampul kulit kerbau.

Ali Akbar yang kini bekerja di BRIN, sebelumnya merupakan peneliti di Bayt Al-Qur'an & Museum Istiqlal, TMII. Ia telah lama menelusuri, mendokumentasikan, dan mengkaji Al-Qur'an Nusantara sejak 2003 di berbagai wilayah, termasuk Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, dan Turki.

Munculnya manuskrip dan mushaf Al-Qur'an yang dianggap kuno cukup membuatnya resah. Menurutnya, jika penyusun Al-Qur'an jenis ini memang berniat baik, seharusnya ia mencantumkan kolofon (catatan naskah) seperti hari, tanggal, bulan, tahun, dan lokasi penyusunan.

Kolofon itu biasanya ditulis di awal maupun di akhir mushaf, lazim dicontohkan oleh para penyalin mushaf dan ulama-ulama terdahulu.

Baca juga artikel terkait AL QURAN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi