tirto.id - “Hai orang-orang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal.”
Ayat ini, menurut banyak ulama, turun menyangkut kasus al-Walid Ibn Uqbah Ibn Abi Mu’ith yang ditugaskan Nabi SAW., pergi menuju ke Bani al-Musthalaq untuk memungut zakat. Ketika anggota masyarakat yang dituju mendengar kedatangan utusan Nabi, mereka keluar dari perkampungan untuk menyambutnya sambil membawa sedekah mereka. Tetapi al-Walid malah menduga bahwa mereka akan menyerangnya.
Karena itu, ia kembali dan melapor kepada Rasul bahwa Bani al-Mustalaq enggan membayar zakat dan bermaksud menyerang Nabi SAW (dalam riwayat lain dinyatakan bahwa mereka telah murtad). Rasul marah dan memerintahkan Khalid Ibn Walid menyelidiki keadaan sebenarnya sambil berpesan agar tidak menyerang mereka sebelum duduk persoalan menjadi jelas.
Khalid lantas mengutus seorang informan untuk menyelidiki perkampungan Bani al-Musthalaq. Ternyata masyarakat desa itu mengumandangkan adzan dan melaksanakan salat berjamaah. Khalid kemudian mengunjungi mereka lalu menerima zakat yang telah mereka kumpulkan.
Riwayat lain menyatakan bahwa justru mereka yang datang kepada Rasul SAW., untuk mengantarkan zakat sebelum Khalid Ibn al-Walid melangkah ke perkampungan mereka.
Ada riwayat lain tentang asal usul ayat ini. Namun, yang jelas, ia berpesan bahwa: jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu berita yang penting, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan, yakni telitilah kebenaran informasinya dengan menggunakan berbagai cara, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan tentang keadaan yang sebenarnya dan yang pada gilirannya dan dengan segera menyebabkan kamu atas perbuatan kamu itu beberapa saat saja setelah terungkap hal sebenarnya menjadi orang-orang menyesal atas tindakan kamu yang keliru.
Berbeda-beda pendapat ulama tentang kasus turunnya ayat ini. Ada yang menolak riwayat tersebut sehingga riwayat ini tidak dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa ada sebagian sahabat Nabi yang tidak dapat diakui integritasnya. Ada lagi yang membenarkannya, sambil menyatakan bahwa al-Walid Ibn Uqbah salah paham menyangkut Bani al-Musthalaq, apalagi sebelumnya telah ada permusuhan antara mereka dan al-Walid yang pernah membunuh salah seorang keluarga mereka. Yang salah paham tentunya tidak berdosa.
Ada lagi yang mempersalahkan al-Walid dengan alasan jika dia salah paham maka sewajarnya kesalahpahamannya itu dia sampaikan kepada Nabi saw., sambil berkata: “Saya duga mereka akan membunuhku”, dan tidak memfitnah dengan menyatakan: ”Mereka enggan membayar zakat”. Dengan demikian, dialah yang dimaksud dengan kata fasiq pada ayat ini, apalagi sejarah hidupnya menunjuk ke arah sana.
Banyak ulama yang menyatakan bahwa al-Walid ditugaskan oleh Sayyidina Utsman RA., sebagai penguasa kota Kufah di Irak, dan pada suatu ketika, dalam keadaan mabuk, dia memimpin salat subuh sebanyak empat rakaat. Ketika dia ditegur, dia berkata: ”Maukah aku tambah lagi rakaat-rakaatnya?” Akhirnya, dia dipecat oleh Sayidina Utsman -- demikian antara lain menurut al-Biqa’i.
Ayat di atas menggunakan kata "in"/"jika" yang biasa digunakan untuk sesuatu yang diragukan atau jarang terjadi. Ini mengisyaratkan bahwa kedatangan seorang fasik kepada orang-orang beriman diragukan atau jarang terjadi. Hal itu disebabkan orang-orang fasik mengetahui bahwa kaum beriman tidak mudah dibohongi dan bahwa mereka akan meneliti kebenaran setiap informasi sehingga sang fasik dapat dipermalukan dengan kebohongan.
Kata fasiq terambil dari kata fasaqa yang biasa digunakan untuk melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka adalah orang yang keluar dari koridor agama akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil.
Sedangkan kata naba digunakan dalam arti berita yang penting. Berbeda dengan kata khabar yang berarti kabar secara umum. Baik penting maupun tidak. Dari sini, terlihat perlunya memilah informasi apakah itu penting atau tidak dan memilah pula pembawa informasi apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari siapa pun yang tidak penting, bahkan didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak energi dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.
Kata bi jahalah dapat berarti tidak mengetahui dan dapat juga diartikan serupa dengan makna kejahilan, yakni prilaku seorang yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran ilahi.
Ayat di atas merupakan salah satu dasar yang ditetapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan suatu berita. Kehidupan manusia dan interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi. Karena itu, ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu ada yang jujur dan memiliki integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, dan ada pula sebaliknya. Karena itu pula berita harus di aring, jangan sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat di atas bi jahalah.
Dengan kata lain, ayat ini menuntut kita untuk menjadikan langkah kita berdasarkan pengetahuan sebagai lawan dari jahalah yang berarti kebodohan, di samping melakukannya berdasar pertimbangan logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah SWT., sebagai lawan dari makna kedua jahalah.
Penekanan pada kata fasiq bukan pada semua penyampaian berita karena ayat ini turun di tengah masyarakat muslim yang cukup bersih. Sehingga, bila semua penyampaian berita harus diselidiki kebenaran informasinya, maka ini akan menimbulkan keraguan di tengah masyarakat muslim dan pada gilirannya akan melumpuhkan masyarakat. Namun demikian, perlu dicatat bahwa, bila dalam suatu masyarakat sudah sulit dilacak sumber pertama dari satu berita, sehingga tidak diketahui apakah penyebarnya fasik atau bukan, maka ketika itu berita apapun yang penting tidak boleh begitu saja diterima.
Dalam konteks serupa, Sayyidina Ali RA., berkata: ”Bila kebaikan meliputi satu masa beserta orang-orang di dalamnya, lalu seorang berburuk sangka terhadap orang lain yang belum pernah melakukan cela, maka sesungguhnya ia telah menzaliminya. Tetapi, apabila kejahatan telah meliputi satu masa disertai banyaknya yang berlaku zalim, lalu seorang berbalik sangka terhadap orang yang belum dikenalnya, maka ia akan sangat mudah tertipu.”
Perlu dicatat bahwa banyaknya orang yang mengedarkan informasi atau isu bukan jaminan kebenaran informasi itu. Banyak faktor yang harus diperhatikan.
Dahulu ketika ulama menyeleksi informasi para perawi hadis Nabi, salah satu yang diperbincangkan adalah penerimaan riwayat yang disampaikan sejumlah orang yang dinilai mustahil berbohong, atau yang diistilahkan dengan mutawatir. Ini diakui oleh semua pakar, hanya masalahnya jumlah yang banyak itu harus memenuhi syarat-syarat. Boleh jadi orang banyak itu tidak mengerti persoalan, boleh jadi juga mereka telah memiliki asumsi dasar yang keliru. Di sini, sebanyak apa pun yang menyampaikannya, tidak menjadi jaminan kebenaran.
======
*) Naskah dinukil dari buku "Tafsir al-Misbah" yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS