tirto.id - Sebelum berbicara tentang tantangan yang dihadapi umat Islam secara rinci, perlu digarisbawahi bahwa tantangan dan lawan yang harus dihadapi bukan saja datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri kita sendiri. Agaknya itulah yang menyebabkan mengapa Nabi SAW., ketika beliau kembali dari sebuah pertempuran, menegaskan bahwa: “Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar, yakni melawan diri kita sendiri.”
Diriwayatkan juga bahwa Sayyidina Ali pernah bersabda: “Hai manusia, penyakitmu ada pada dirimu, tapi engkau tidak mengetahui, dan obatnya ada padamu, tapi engkau tidak hiraukan.”
Kalau kini kita telah menyadari adanya tantangan, maka tantangan itu pertama kali harus dicari pada diri kita sebelum mencarinya pada orang lain. Dalam hal ini, kita hendaknya belajar dari jari-jari kita sendiri ketika menunjuk. Hanya satu jari yang kita arahkan keluar, yaitu jari telunjuk, sedangkan tiga jari lainnya menunjuk ke diri kita dan salah satunya ditekan oleh ibu jari.
Dahulu umat Islam disegani oleh masyarakat dunia. Mereka belajar dari kita. Tetapi, kini kita tertinggal dalam segala bidang, bahkan kita mendapat tantangan dari segala penjuru.
Ada yang berkata: Andaikan Baghdad tidak jatuh ke tangan Mongol pada 1258 M, yang disusul dengan penghancuran pusat-pusat ilmu; dan andai kata dunia Barat tidak menemukan jalur perdagangan laut pada abad ke-15 M, tentulah keadaan dunia Islam tidak seperti sekarang ini. Tetapi, apa gunanya berandai-andai karena jarum waktu tidak bisa diputar kembali. Sejak itu, sedikit demi sedikit tetapi pasti, dunia Islam telah mengalami keterpurukan, dan itu berlanjut hingga kini.
Kini dunia Islam yang mengalami kontak dengan Barat, bukan lagi dunia Islam sebelum keruntuhan Baghdad, atau keruntuhan Dinasti Muwahidun dan terusirnya kaum Muslin dari Spanyol pada 1235 M. Bahkan, tantangan yang dihadapi kini bukan hanya dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi juga dalam bidang ideologi dan filsafat materialistis, yang tidak jarang bertentangan dengan ajaran Islam.
Kesadaran tentang adanya tantangan telah lama muncul. Aneka resep dan langkah perubahan pun telah diupayakan. Ada yang mengambil sikap apatis atau acuh tak acuh terhadap kemajuan itu, yang boleh jadi karena mereka tidak menyadari dampak buruknya terhadap umat pada satu pihak, namun kadang karena terbuai oleh kejayaan masa lampau pada pihak lain. Mereka inilah yang menghasilkan apa yang kemudian dinamai Adab al-fakhr wa at-Tamjid, yakni menunjuk zaman keemasan yang telah berlalu dan berbangga dengannya. Dampak buruk dari sikap ini adalah sering kali bila ada penemuan ilmiah dari pihak lain, kita berucap: “Itu sudah ada dalam al-Qur’an.”
Ada juga yang berusaha menghadapi cobaan (rintangan) itu dengan pemurnian agama, seperti antara lain yang dilakukan oleh gerakan Wahabiyah di Saudi Arabia, as-Sanusiyah di Libia, dan Jamaah Islamiyah di Pakistan. Mereka beranggapan bahwa masa Rasulullah SAW., adalah masa terbaik berdasarkan hadis Rasulullah SAW. ("Sebaik-baik generasi adalah generasiku"). Apa saja diterima dari Rasul SAW., tanpa mempertimbangkan faktor budaya dan perkembangan positif masyarakat. Mereka lupa, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa Rasul SAW., juga pernah bersabda: “Umatku seperti hujan, tidak diketahui apakah awalnya, tengahnya, atau akhirnya yang terbaik.”
Dengan logika “masa Rasul SAW., dan sahabat-sahabat beliau, sebagai sebaik-baiknya generasi”, maka mereka dengan gigih menolak segala sesuatu yang datang sesudah masa itu, baik yang bersumber dari dalam masyarakat mereka sendiri, lebih-lebih yang datang dari luar masyarakat dan bangsa lain.
Di sini, sekali lagi, mereka lupa nasihat Nabi Muhammad SAW., bahwa: “Al-Hikmah (yakni amal ilmiah dan ilmu amaliah adalah) milik dan dambaan seorang Muslim, di mana pun ia ditemukan maka sang Muslim itulah yang wajar mengambilnya.”
Ada lagi sekelompok kaum Muslim yang menilai bahwa tantangan itu harus dihadapi dengan belajar dari Barat dan mengambil segala sesuatu dari sana. Tetapi, mereka sering kali lupa pada akar budaya mereka sendiri serta ajaran agama Islam. Ini, misalnya, ditempuh oleh Ahmad Khan di India atau Kemal at-Taturk di Turki.
Ada juga sekelompok kecil yang berusaha mempelajari aneka kemajuan yang dicapai masyarakat Barat dan menerapkannya tanpa meninggalkan kepribadian dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Ketiga pandangan di atas hingga kini masih memiliki pendukung-pendukungnya masing-masing.
Demikianlah, kita mengetahui bahwa saat kita sakit, tetapi obat yang kita gunakan belum tepat. Apa yang telah dilakukan selama ini, paling baru sebatas infus untuk mempertahankan hidup, belum sampai pada pengobatan yang dapat menghilangkan penyakitnya.
Kini, kalau kita telah menyadarinya bahwa masyarakat Islam berada di dalam tantangan dan ketertinggalan, padahal dahulu pernah jaya, maka tuntunan kitab suci menuntut agar kita mencari sebab perubahan itu. Mengapa kita berubah sehingga terpuruk dalam keadaan tertantang? Mengapa dewasa ini kita menjadi konsumen peradaban, sedang dahulu kita adalah produsennya?
Sebagian pakar berkata bahwa untuk mewujudkan peradaban diperlukan tiga unsur yang menyatu yaitu manusia + tanah/wilayah + waktu. Juga tersedianya elemen perekat ketiganya yaitu agama dan nilai-nilai spiritual.
Semua peradaban lahir dari ketiga hal tersebut, yang tentu saja disertai dengan perekatnya.
Menurut sebagian pakar, seperti Max Weber, bahwa kebangkitan Eropa lahir dari etika Protestan, di mana mereka menekankan bahwa surga dapat diperoleh melalui sukses di dunia, dan karena itu mereka bersungguh-sungguh membangun diri dan masyarakat dalam kehidupan dunia guna meraih surga ukhrawi. Bandingkanlah nilai spiritual ini dengan pandangan sebagian umat Islam yang bertolak belakang dengan nilai tersebut.
Dalam pengamatan banyak pakar, nilai-nilai spiritual atau ajaran agama selalu menyertai lahirnya peradaban. Bahkan dari lima belas peradaban besar yang dikenal dalam sejarah, dimulai dari Peradaban Sumeria hingga Peradaban Amerika dewasa ini, kesemuanya lahir dari upaya mempertahankan nilai-nilai tersebut yang terpaksa mereka lakukan dengan berhijrah ke tempat lain.
Umat Islam dewasa ini memiliki ketiga unsur peradaban di atas, manusia, tanah/materi, dan waktu. Umat Islam pun memiliki ajaran agama, namun keadaan kita ternyata tidak seperti yang diharapkan. Jika demikian, kita harus mencari akar persoalannya yang sekaligus menjadi tantangan kita pada unsur peradaban itu, yakni manusia, tanah, dan waktu, juga pada nilai-nilai perekatnya, yakni pemahaman dan pengamalan agama kita.
Apakah ada yang keliru? Jumlah kaum Muslim banyak, tanah yang dimilikinya luas, dan waktu yang tersedia tidak lebih sedikit dari waktu pihak lain. Jika demikian, bagaimana dengan ajaran agamanya? Adakah yang keliru?
Setiap Muslim pasti akan berkata: Tidak! Karena itu, boleh jadi pemahaman dan pengalaman kita terhadap al-Qur’an yang keliru. Dari sini lahir slogan: Mari kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
=====
*) Naskah diambil dari buku "Membumikan al-Qur'an Jilid 2" yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS