Menuju konten utama

Sampah Ramadan Meningkat, Naim Tukang Sampah Harus Kerja Ekstra

Selama Ramadan, volume sampah meningkat sekitar satu setengah kali lebih banyak dari hari biasa.

Sampah Ramadan Meningkat, Naim Tukang Sampah Harus Kerja Ekstra
Sejumlah aktivis Walhi melakukan aksi 1001aksi untukbumi mengampanyekan pengurangan penggunaan plastik di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (6/3). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Kamis, 14 Juni 2018, menjadi hari terakhir berpuasa umat Islam Indonesia di bulan Ramadan. Di sepanjang bulan suci itu, ada kesan tertoreh di hati Naim, seorang tukang sampah di bilangan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Ramadan yang mestinya menjadi momentum menahan diri nyatanya tidak dirasakan Naim dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Ia bilang, jumlah sampah sepanjang Ramadan justru meningkat ketimbang hari biasanya.

Menjelang hari terakhir Ramadan Naim tampak sibuk mengambil dan mengumpulkan sampah di Jalan Cipedak Raya, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Pria berusia 57 tahun mengatakan lonjakan volume sampah yang ia angkut sudah terjadi sejak hari pertama Ramadan.

Sambil duduk di sebuah bangku panjang pada halaman rumahnya, Naim bercerita sampah yang ia dapat sepanjang Ramadan 2018 bertambah 1,5 kali lipat hari biasa. Tambahan sampah banyak berasal dari bahan dan sisa-sisa makanan. Variannya ada buah, sayur, dan aneka jenis makanan lain. Bikin repot? Tentu. Tidak semua sampah bisa diangkut kendaraannya, sehingga ia harus bekerja ekstra membersihkan sampah-sampah yang tersisa.

"Nambahnya sampah sampai [membuat] kendaraan saya enggak muat bawa. Tahu sendiri kalau puasa segala macam [makanan] dibeli orang. Banyakan sampah basah, misal timun suri tuh yang jarang ketemu kalau enggak puasa," ujar Naim kepada Tirto.

Sehari-hari, Naim mengangkut sampah menggunakan sepeda motor roda yang telah dipasangi bak di bagian belakangnya. Kegiatannya dimulai tepat pukul 05.30 WIB dengan memanaskan mesin kendaraan. Setelah motor siap, pria yang sudah memiliki satu cucu itu langsung beranjak ke beberapa Rukun Tetangga (RT) di RW 12 Srengseng Sawah. Ia pergi untuk menunggu para penghuni rumah membuang sampah ke gerobaknya.

Naim bercerita, total ada tiga orang selain dirinya yang bertugas mengangkut sampah di RW 12 Cipedak Raya. Jika ditotal, volume sampah yang mereka angkut dalam sehari rata-rata mencapai 12 ton.

Tumpukan sampah itu dibawa Naim dan teman-temannya ke sebuah tempat penampungan di Jalan Pemuda, Srengseng Sawah. Jika sampah yang menumpuk di terlalu banyak, seperti sering terjadi kala Ramadan, sampah ia simpan semalam di dalam kendaraannya.

"Sampah itu satu RW 12 ton. Dipisah itu [pengumpulannya] masing-masing RW [...] Kalau nanti truknya sudah tidak muat nampung sampah, tunggu sampai besok paginya. Kalau nggak, [sampahnya] nginap," ujar Nami.

Berawal Dari Praktik

Pekerjaan sebagai pemulung dilakoni Naim bukan tanpa sebab. Awalnya, pria asli Jakarta itu mengaku sempat bekerja di berbagai perusahaan. Sambil menerawang ia bercerita, saat masih muda Naim sempat menjadi sopir angkot. Ia menjadi sopir selama delapan tahun dan melayani berbagai rute di jalanan ibu kota.

Setelah itu, ia bekerja di sebuah perusahaan di daerah Tangerang selama 12 tahun. Keluar dari sana, Naim sempat mendapat kerja di kawasan Sunter, Jakarta Utara, sebelum akhirnya memutuskan menjadi tukang sampah.

"Soalnya mata saya sudah enggak awas kalau malam. Makanya saya berhenti saja, terus ambilin sampah," katanya.

Naim mengenal pekerjaannya saat ini dari sebuah praktik yang dilakukan rombongan mahasiswa universitas di bilangan Depok, Jawa Barat.

Menurut ceritanya, pada 2014 lalu ada sekelompok mahasiswa yang melakukan pengolahan sampah untuk dijadikan pupuk. Naim ikut kegiatan itu. Ia diberi lahan, gerobak, serta mesin pengolah sampah.

Setelah berjalan beberapa bulan, praktik itu selesai. Akan tetapi, tak ada tindak lanjut dari kegiatan itu. "Akhirnya saya bingung, saya ke tempat pengelolaan sampah di Lenteng. Awalnya saya dikasih [kendaraan] roda tiga plat merah [untuk angkut sampah]," tutur Naim.

Setelah mencoba peruntungan menjadi tukang sampah yang bekerja dengan pemerintah provinsi, ia memutuskan untuk bekerja mandiri. Naim beralasan ingin memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel. Hal tersebut tak bisa ditemukan jika ia masih bekerja dengan Pemprov DKI Jakarta.

"Masalahnya kalau kita kerja bulanan kan terikat, kalau sekarang enggak terikat. Saya capek kalau kerja terikat begitu, dulu soalnya sudah lama kerja begitu," tuturnya.

Suka Duka Sang Pemungut Sampah

Selama Ramadan, Naim mengaku jam kerjanya banyak berubah. Jika di hari-hari biasa ia bisa mengangkut sampah hingga sore hari, saat Ramadan kegiatan itu hanya dilakukan maksimal sampai pukul 12.00 WIB.

Selama digunakan untuk mengangkut sampah, kendaraan yang digunakan Naim tak pernah mengalami kerusakan besar. Persoalan yang kerap ia temukan hanya munculnya karat di badan kendaraan. Karat mudah muncul, ujarnya, karena pengaruh air sampah yang menetes. Kemunculan karat tak bisa diatasi meski setiap hari Naim mencuci kendaraannya.

"Kalau ini [kendaraan] kan tergantung kita merawatnya saja [...] Mau enggak mau harus dicuci setiap hari soalnya ada cucu sering main ke sini. Kalau ada sampahnya, ya ditutup pakai terpal," ujarnya.

Naim juga bercerita tentang perbedaan pendapatan selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri beberapa tahun terakhir. Menurut penuturannya, jumlah tunjangan hari raya (THR) yang ia dapat dari warga belakangan berkurang drastis.

Dulunya, kata Naim, ia kerap mendapat parsel dan THR jelang Idul Fitri. Untuk bayaran, Naim biasa dibayar Rp30-50 ribu oleh tiap warga yang membuang sampah kepadanya. Pendapatan itu berkurang sejak 2 tahun terakhir. Ia berkata tak pernah mendapat parsel di dua Idul Fitri terakhir.

"Kalau 2 tahun lalu THR ada, bingkisan ada. Sekarang sudah tidak begitu," katanya.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Muhammad Akbar Wijaya