tirto.id - Kata "akal" berasal dari bahasa Arab: aqala, ya'qilu, aqlan.
Sementara pakar berpendapat bahwa rangkaian ketiga huruf di atas berkisar maknanya pada “menghalangi” dan (dari sana) lahir kata ‘iqal yang berarti "tali". Mengapa "menghalangi" dan "tali"?
Tali yang biasanya berwarna hitam yang melilit kain yang menyelubungi kepala pria dalam pakaian Arab Saudi dinamai ‘iqal karena "tali" itu menghalangi" kain tersebut diterbangkan angin atau terjatuh. Demikian juga tali yang mengikat binatang agar tidak lepas/kabur.
Makna-makna lain yang ditemukan dalam bahasa Arab untuk kata tersebut, antara lain:
Pertama, (pem)paham(an)/ilmu. Dengan pemahaman dan ilmu seseorang bagaikan memiliki tali yang menghalanginya melakukan kesalahan atau keburukan. Makanya, dalam Qur'an, sinonim kata aqla adalah annuha yang seakar dengan kata yanha yang berarti "melarang" (Q.S. Thaha ayat 128) dan kata hijr yang berarti "kamar" yang antara lain berfungsi menghalangi.
Kedua, menghafal. Siapa yang menghafal bagaikan mengikat pengetahuannya sehingga tidak tercecer/terlupakan olehnya.
Ketiga, benteng/tempat berlindung, penjara. Tempat-tempat semacam itu menghalangi seseorang dari bahaya atau menghalanginya keluar agar tidak mengulangi kejahatannya.
Keempat, kehati-hatian. Sikap kehati-hatian membuat seseorang dapat terhalang/tenghindar dari apa yang tidak berkenan baginya.
Kelima, istri. Dinamai aqilah karena seorang istri telah terikat dalam perkawinan dengan seorang suami sehingga terhalangi untuk menikah dengan pria lain selama ia dalam status perkawinan itu.
Pakar bahasa Arab, al-Khalil bin Ahmad (718-788 M) berpendapat bahwa istri dinamai aqilah karena ia ditahan di rumah/tidak diperkenankan keluar. Pandangan ini tidak sejalan dengan semangat tuntunan al-Qur'an yang membolehkan istri keluar rumah secara terhormat. Di sisi lain, al-Qur'an menetapkan hukuman larangan keluar rumah bagi perempuan hanya kepada mereka yang melakukan fahisyah atau pelanggaran berat (Q.S. an-Nisa ayat 15)
Keenam, diyah/saksi yang berupa “ganti rugi” atas pembunuhan yang diserahkan atas nama pembunuh kepada keluarga terbunuh karena dengan diyah tersebut maka gugur dan terhalangilah keluarga terbunuh untuk menuntut balas/qishash terhadap pembunuh.
Benang merah yang menghimpun makna-makna di atas tidak keluar dari hakikat keterhalangan/keterhindaran.
Secara umum, makna kata ‘aqal dalam konteks potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia adalah potensi yang mendorong pada lahirnya budi pekerti luhur atau menghalangi seseorang melakukan keburukan. Makna ini, menurut pakar Mesir kenamaan, Abbas Mahmud al-Aqqad, sejalan dengan kata mind dalam bahasa-bahasa Indo-Germania yang juga mengandung arti “keterhindaran dan kehati-hatian” serta digunakan untuk mengingatkan seseorang agar berhati-hati. Memang, akal berfungsi mendorong ke arah kebaikan dan menghalangi/mengingatkan seseorang menyangkut dampak keburukan agar berhati-hati sehingga tidak terjerumus dalam bahaya/sesuatu yang tidak diinginkan.
Akal dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an al-Karim tidak ditemukan kata ‘aqala yang menunjuk potensi manusiawi itu. Yang ditemukan adalah kata kerjanya dalm bentuk ya’qilun dan ta’qilun. Masing-masing muncul dalam al-Qur'an sebanyak 22 dan 24 kali. Di samping itu, ada juga kata na’qilu dan qi’luha serta ‘aqaluhu yang masing-masing disebut sekali dalam al-Qur'an.
Terulangnya kata "akal" dan aneka bentuknya dalam jumlah yang sedemikian banyak mengisyaratkan pentingnya peranan akal. Bahkan kedudukan itu diperkuat oleh ketetapan al-Qur’an tentang pencabutan/pembatasan wewenang mengelola dan membelanjakan harta-walau milik seseorang bagi yang tidak memiliki akal/pengetahuan (Q.S. An-Nisa ayat 5). Bahkan pengabaian akal berpotensi mengantar seseorang tersiksa di dalam neraka (Q.S. Al-Mulk ayat 11).
Melalui akal, lahir kemampuan menjangkau pemahaman sesuatu yang pada gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Ini dapat dinamai al-‘aql al-wazi’, yakni akal pendorong.
Akal juga digunakan untuk memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah yang dapat ditarik dari analisis tersebut. Kerja akal di sini membuahkan ilmu pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar pemiliknya mengetahui dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini dinamai al’aql al-mudrik, yakni akal penjangkau (pengetahuan).
Di samping kedua fungsi di atas, masih ada lagi yang melebihi keduanya, yaitu yang mencakup keduanya, tapi dalam bentuk yang sempurna dan matang sehingga tidak ada lagi kekurangan atau kekeruhan. Memang, bisa saja ada akal yang menghasilkan pengetahuan, tetapi (masih berpotensi mengandung) kekurangan hikmah. Demikian juga bisa jadi ada hikmah yang dilahirkan oleh mereka yang tidak berpengetahuan.
Banyak ayat al-Qur’an membicarakan ketiga fungsi di atas. Ambillah misalnya Q.S. Al-Baqarah ayat 165 yang menyatakan:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan (suburkan) bumi sesudah mati (kering)-Nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; (pada semua itu) sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal."
Ayat di atas merupakan salah satu dari puluhan ayat yang mengajak untuk menggunakan akal untuk memperhatikan fenomena alam dalam rangka meraih pengetahuan.
Firman-Nya dalam Q.S. Yusuf ayat 109: "Kami tidak mengutus sebelummu, melainkan orang laki-laki yang kami wahyukan kepada mereka di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka berpergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka dan sesungguhnya negeri akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu berakal?"
Ayat di atas merupakan salah satu ayat memerintahkan menggunakan akal dengan tujuan mendorong meraih pengetahuan dan hikmah guna menghindari hal-hal buruk di atas. Demikian juga firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr ayat 14:
Mereka tiada akan menyerang kamu dalam keadaan padu, kecuali di dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok-tembok. Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Engkau mengira mereka bersatu padahal hati mereka berpecah belah. Itu disebabkan karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak berakal. Yakni tidak menggunakan akalnya untuk meraih pengetahuan dan hikmah.
Ada juga ayat-ayat yang berbicara tentang Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm. Dua istilah itu merujuk orang-orang yang demikian mantap pengetahuan dan pengamalan ilmi dan hikmah yang diraihnya. Mereka itu dinamai orang-orang yang memiliki rusyd.
Perhatikanlah firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 7:
Dan ketahuilah oleh kamu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Jika seandainya dia menuruti (kemauan sebagian) kamu (yang lemah imannya) dalam banyak urusan, tentu kamu benar-benar akan mendapat kesulitan (dan kebinasaan), tetapi Allah telah menjadikan kamu (para sahabat Rasulullah) yang setia, cinta kepada keimanan dan menjadikannya indah dalam hati kamu serta menjadikan kamu membenci kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah ar-rasyidin (orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus).
Demikian juga QS. Ali-Imran ayat 7:
Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad SAW). Di antara ayat-ayat(nya) ada yang mukhamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh apa (ayat-ayat) yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman) dan untuk mencari-cari ta’wilnya (yang sesuai dengan kesesatan mereka), padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 'Kami beriman dengannya (al-Qur’an), semua dari sisi Tuhan Pemelihara kami'. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan Uli al-Albab."
Untuk meraih hal-hal di atas, maka akal harus difungsikan. Dalam konteks memfungsikannya, al-Qur’an sekali menggunakan kata yatafakkarun. Kali lain menggunakan ya’qilun. Kali ketiga memakai yatadabbarun, selanjutnya yatadzakkarun, dan lain-lain. Semuanya mengarah pada upaya memfungsikan akal guna meraih pengetahuan atau pengetahuan dan hikmah, bahkan guna meraih rusyd yang menjadikan peraihnya dinamai Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm (orang yang mantap dalam pengetahuannya).
Al-Qur’an tidak saja menganjurkan penggunaan akal, tetapi juga mengecam yang tidak menggunakannya untuk meraih ilmu dan hikmah. Ini antara lain terbaca dalam firman-Nya pada QS. Az-Zumar ayat 9:
"Apakah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dalam keadaan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya orang yang dapat menarik pelajaran adalah Ulu al-Albab."
Demikian juga firman-Nya dalam Q.S. Al-Araf ayat 179:
"Sungguh Kami telah ciptakan untuk Jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka gunakan memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan melihat dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
Di samping itu, al-Qur’an menggarisbawahi perlunya menghindari hal-hal yang dapat menghambat akal untuk berpikir lebih jernih dan beramal lebih baik. Kecaman al-Qur’an terhadap mereka yang mengikuti tradisi leluhur tanpa dasar ilmu merupakan salah satu contoh dari penekanan kitab suci ini menyangkut pentingnya penggunaan akal.
Memang, kaum muslim dituntut untuk percaya, tetapi kepercayaan yang harus didukung oleh ilmu dan dikukuhkan oleh hati yang suci, bukan sekadar percaya atas dasar pengamalan dan pengamalan leluhur. Bertebaran ayat yang mengandung makna ini, antara lain Q.S. Al-Baqarah ayat 170:
Apabila dikatakan kepada mereka (oleh siapa pun): 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: '(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.'
Dengan uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa akal yang dimaksud oleh al-Qur’an adalah akal yang mengantar manusia meraih pengetahuan dan hikmah serta mengantarnya menuju akhlak luhur serta pemeliharaan kesucian nurani.
Tuntunan Sunnah tentang Akal
Sikap Nabi SAW, bahkan ucapan-ucapan beliau pun, menunjukkan kedudukan akal yang sangat penting. Perhatikanlah, antara lain dialog beliau dengan Mu’adz bin Jabal RA, yang beliau tugaskan ke Yaman untuk menangani urusan kaum Muslim di sana.
Nabi bertanya kepadanya: “Atas dasar apa engkau memutuskan perkara jika engkau harus memutuskan?”
Mu’adz menjawab: “Aku memutuskan berdasarkan apa yang terdapat dalam kitab Allah/ al-Qur’an.”
Nabi kembali bertanya: “Kalau engkau tidak menemukan di sana?”
“Dengan Sunnah Nabi SAW,“ jawab Mu’adz.
“Kalau di Sunnah Nabi pun engkau tidak temukan?” tanya Nabi lagi.
Mu’adz menjawab: “Aku berijtihad/berusaha dengan sungguh menggunakan akalku tidak berlebih (dalam berijtihad).”
Mendengar jawabannya, Nabi SAW mengetuk dengan telapak tangan beliau ke dada Mu’adz pertanda memberi persetujuan beliau. Lalu Nabi bersabda:
Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah menuju apa yang diridai Rasulullah (HR. Ahmad, Abu Daud. Dan at-Tirmidzy).
Memang, ada sementara ulama hadis yang menolak secara langsung semua hadis yang berbicara tentang akal. Itu mereka nyatakan tanpa merinci alasan-alasan ilmiah yang biasa digunakan ulama hadis ketika menilai kesahihan hadis. Ibnu al-Qayyim, Ibnu al-Jauzy, dan lain-lain menegaskan bahwa semua hadis yang berbicara tentang akal adalah palsu.
Al-Imam ad-Daraquthny menyebut empat nama yang merupakan sumber utama hadis-hadis itu dan yang dinilainya sebagai pembohong-pembohong. Dari satu sisi harus diakui bahwa memang ada hadis-hadis Nabi yang bila terhadapnya dapat dilakukan kritik sanad (rentetan perawinya), matan (kandungannya) yang harus ditolak, tetapi itu bukan menolak keseluruhannya, lalu atas dasar itu menolak penggunaaan akal.
Ibnu Taimiyah yang juga berbicara tentang akal dan terkesan menilai hadis-hadis tentang ini lemah, dia pun sama sekali tidak menolak penggunaan akal. Bahkan beliau menggunakannya dalam sekian banyak persoalan. Penolakannya itu lebih terarah (sebagai kritik) terhadap akal yang dipahami dan digunakan oleh fislsuf-filsuf Yunani dan pemikir-pemikir Muslim yang menggunakannya serta terkagum-kagum dengan mereka.
=======
*) Naskah dinukil dari buku "Logika Agama"yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS