Menuju konten utama
Kultum Quraish Shihab

Kejumudan dan Mereka yang Menyembah Kitab Suci

Zaman Nabi dan periode salaf memang penuh kejayaan, tapi tak berarti generasi setelahnya sudah pasti merosot dan membusuk.

Kejumudan dan Mereka yang Menyembah Kitab Suci

tirto.id - Tidak ada yang lebih menjauhkan orang dari agama melebihi jumud dan riya. Jumud adalah sikap batin yang menjadikan pandangan terpaku pada sesuatu disertai upaya keras mempertahankannya kendati perubahan dibutuhkan.

Jumud dapat diibaratkan air yang tergenang lama dan tidak mengalir. Air itu akan sangat membahayakan kesehatan, bukan saja ketika diminum, tetapi juga bila digunakan untuk mandi atau bahkan digunakan mencuci tangan.

Jumud menjadikan seseorang terpaku pada teks dan penafsirannya yang kaku. Ia yakin serta menyatakan kepada semua pihak bahwa inilah kebenaran mutlak yang tiada lagi kebenaran sesudahnya. Sehingga yang selain dari itu adalah kesesatan yang mengantar ke neraka.

Orang jumud pada masa lalu dan masa kini enggan menganalisis yang lalu dan menduga bahwa analisis terhadap masa lalu akan mengakibatkan pengabaian agama, bahkan meruntuhkan agama. Padahal analisis tidak ubahnya seperti merenovasi bangunan. Merenovasinya sambil memilih apa yang dapat digunakan dari bangunan lama dan apa pula yang sudah lapuk sehingga harus ditinggalkan demi keamanan dan kenyamanan penghuninya.

Sebagian orang takut menghadapi atau menerima upaya “renovasi” itu dan enggan keluar dari bangunan lama. Mereka mengurung diri dalam wadah pemikiran masa lalu yang (memang) telah memberi solusi yang baik untuk masyarakat masa lalu namun (belum tentu) untuk masyarakat sekarang.

Yang bersikap seperti ini adalah manusia-manusia yang terlambat lahir dan mestinya hidup di masa lalu. Mereka itu mengambil buah yang bisa jadi telah “membusuk” dan mengabaikan pemeliharaan pohon yang menghasilkan buah itu. Mereka hanya mengambil hasil pemikiran dari masa lalu namun mengabaikan metode yang digunakan untuk menghasilkan pemikiran itu.

Mereka beralasan bahwa “agama telah sempurna”. Nabi SAW., yang ditugaskan memberi penjelasan dan teladan menyangkut ajaran agama telah menyelesaikan tugas beliau dengan sukses. Para sahabat Nabi SAW., yang merupakan murid-murid beliau pun telah memahami dan menerapkannya di hadapan beliau dengan restu Nabi. Jika demikian, mengapa harus mencari gantinya? Usaha menggantinya, bagi mereka, pasti akan buruk.

Dan sikap macam itu dikaitkan dengan dalil-dalil keagamaan. Misalnya:

Sebaik-baiknya abad adalah abadku (kata Abdullah bin Mas’ud yang menyampaikan hadis ini: aku tidak tahu apakah setelah mengucapkan itu tiga kali atau empat kali, beliau bersabda: kemudian akan datang setelah mereka orang-orang yang kesaksian salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya. Maksudnya: “Mereka itu tidak terpercaya sehingga mereka menghimpun antara kesaksian dan sumpah, padahal mestinya kalau mereka terpercaya salah satu di antara keduanya sudah cukup.”

Ada dua hal dalam hadis di atas yang perlu digarisbawahi:

Pertama: Kata qarny (abadku/generasiku) tidak terdapat dalam riwayat yang dinilai sahih. Riwayat di atas tidak sepenuhnya sama dengan riwayat Imam Bukhari. Yang diriwayatkan Imam Bukhari adalah khairu an-nas, sebaik-baik manusia/masyarakat. Imam Muslim juga tidak meriwayatkannya dengan kata qarny, tetapi riwayat beliau -- melalui Abu Hurairah RA. -- menggunakan kalimat: “Sebaik-baik umatku adalah (yang hidup) pada abad di mana aku diutus."

Jika hadis di atas menggunakan kata qarny (abadku), maka ini mengesankan bahwa hadis ini berbicara tentang keniscayaan sejarah dan bahwa sejarah dari saat ke saat memburuk. Pandangan ini, kalau ditinjau dari segi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, jelas tidak benar karena dari saat ke saat manusia semakin maju dalam bidang tersebut.

Di sisi lain, kalau yang dimaksud adalah keniscayaan sejarah menyangkut kebaikan manusia, maka ini berarti manusia dari abad ke abad semakin buruk. Pemahaman semacam ini dapat mengakibatkan terjadinya kelesuan, jika bukan kepasrahan, dalam menghadapi masa depan. Jika pemahaman itu yang dipilih, maka suka atau tidak suka, kebobrokan pasti dari saat ke saat akan semakin parah.

Atas dasar itu, tidaklah tepat memahami hadis di atas sebagai berbicara tentang keniscayaan kebobrokan generasi sesudah generasi Nabi, generasi sahabat beliau, dan generasi sesudahnya yang biasa dinamai generasi salaf (yakni tiga ratus tahun sejak masa Nabi SAW).

Bahwa ada sekelompok manusia, sedikit atau banyak, yang buruk sekali akhlaknya sesudah ketiga generasi salaf tersebut, tidaklah dapat disangkal. Tetapi menjadikan semua anggota masyarakat yang termasuk generasi sesudah itu (sebagai seluruhnya buruk akhlaknya), tidak juga dapat diterima.

Sekali lagi, ada atau banyaknya umat yang sangat buruk moralnya, tidak dapat dipungkiri. Ini dikuatkan juga sekian banyak hadis yang senada, misalnya hadis Muslim yang disinggung di atas, demikian juga riwayat at-Tirmidzy:

“Kemudian akan datang sesudah mereka (ketiga generasi yang lalu) kelompok orang-orang yang senang mengakui apa yang tidak dimilikinya/berbicara tanpa dasar atau menghimpun harta dan makan yang mewah dan lezat. Mereka memberi kesaksian padahal mereka tidak dimintai bersaksi."

infografik Al Lathif

Terlihat bahwa hadis ini lebih mengarah pada uraian tentang akhlak banyak orang yang hidup setelah abad ketiga Hijrah dan tidak berbicara tentang kebobrokan semua yang hidup sesudah masa generasi salaf itu. Nah, sebagian yang tidak bobrok itulah yang diharapkan melakukan renovasi agar agama Islam benar-benar menjadi agama yang sesuai dengan setiap waktu dan tempat hingga batas akhir keberadaan manusia di pentas bumi ini.

Bahwa yang buruk memang ada, atau katakanlah banyak atau lebih banyak, tidaklah dapat dipungkiri. Tetapi bukan berarti semuanya buruk. Memang di era sekarang banyak yang menyimpang. Ini antara lain karena populasi manusia bertambah banyak. Di samping itu, sering kali yang ditonjolkan di media adalah berita-berita buruk, sedang yang baik-baik tidak dinilai sebagai “berita”.

Sekali lagi, hadis di atas berbicara tentang akhlak manusia secara umum pada tiga abad pertama dari kehadiran Islam, bukan berbicara tentang keniscayaan kebobrokan abad sesudah ketiga abad tersebut. Hadis itu tidak juga menyatakan bahwa sesudah masa itu tidak ada lagi hasil pemikiran manusia yang baik.

Kesimpulan di atas dikuatkan oleh sekian banyak argumentasi keagamaan. Salah satu di antaranya adalah firman Allah yang membagi umat manusia dalam tiga kelompok.

Kelompok pertama adalah as-Sabiqun (Q.S. al-Waqi’ah ayat 10), yakni orang-orang yang mendahului selainnya dalam kegiatan positif. Kalau yang dimaksud oleh ayat ini umat Nabi Muhammad saw., maka mereka itu antara lain adalah sahabat-sahabat Nabi yang bersegera memeluk Islam dan melakukan amal-amal saleh. Kelompok kedua dinamai Ashhab al-Yamin, yakni penghuni-penghuni surga. Jumlah mereka, menurut Q.S. al-Waqi’ah ayat 39-40 banyak berasal pada masa lalu dan banyak juga pada masa akhir. Kelompok ketiga adalah Ashhab asy-Syimal (QS. al Waqi’ah ayat 41).

Yang wajar digarisbawahi di sini adalah jumlah penghuni surga, yang tentunya berasal dari orang-orang yang taat beragama, menurut ayat di atas: jumlah mereka banyak pada masa lalu dan banyak juga pada akhir.

Demikian terlihat dari teks al-Qur’an bahwa yang baik-baik pun banyak di masa akhir. Dengan kata lain, tidak semua generasi sesudah generasi ketiga merupakan orang-orang yang bejat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ada yang hidup di masa akhir yang termasuk mereka yang dinamai Rasul SAW., sebagai saudara-saudara beliau.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW., menyampaikan kepada Sayyidina Abu Bakar RA., bahwa:

“Wahai Abu Bakar! Aduhai seandainya aku dapat bertemu dengan saudara-saudaraku karena aku mencintai mereka. Abu Bakar berkata: Wahai Rasulullah, kami saudara-saudaramu. Beliau bersabda: Kalian adalah sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka yang tidak melihat aku, (tapi) membenarkan aku dan mencintaiku, sampai-sampai aku lebih dicintai oleh mereka daripada anak atau ayahnya” (H.R. Muslim dan Ahmad).

Kembali pada awal uraian menyangkut kelompok yang enggan melakukan “renovasi”, penulis tambahkan bahwa situasi menjadi lebih parah karena sebagian mereka enggan berdiskusi, tidak juga menerima pemikiran logis, bahkan menyesatkan dan menuduh kafir para pemikir yang berbeda dengan mereka. Kelompok itu enggan menerima atau lupa bahwa Nabi SAW., pernah bersabda bahwa:

“Allah mengutus untuk umat ini (Islam) pada puncak seratus tahun siapa (seorang atau sekelompok) yang berfungsi memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Daud).

Nabi saw. juga pernah bersabda walau diperselisihkan kesahihannya bahwa:

“Perumpamaan umatku seperti hujan, tidak diketahui awalnya yang baik atau akhirnya" (HR. Ahmad).

Yang jumud itu tidak mempertimbangkan jiwa manusia dan perkembangan masyarakat. Mereka terpaku pada teks sehingga seakan-akan mereka tidak menyembah Tuhan Yang Mahakasih dan penuh cinta itu, tetapi menyembah teks yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Akibatnya, jiwa sebagian umat terkekang, bahkan menjadikan manusia tawanan yang terancam dengan hukuman yang berat.

Mereka yang jumud itu tidak sadar bahwa agama yang benar selalu sesuai dengan setiap tempat dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, penafsiran teks harus selalu terbuka, bahkan kalau perlu dipahami dalam arti metafora -- atau dalam bahasa agamawan di-ta’wil-kan -- serta dicari latar belakangnya agar teks mencair dan tidak kaku atau membeku.

Tentu saja langkah tersebut harus disertai dengan syarat-syarat tertentu sehingga tidak bertentangan dengan prinsip ajaran pokok agama dan dalam saat yang sama memberi kemudahan dan ketenangan sekaligus menyebarkan cinta kasih antar sesama. Memang “renovasi” yang dilakukan tidak mengubah, bahkan tidak boleh mengubah fondasi bangunan.

Demikian, wa Allah a'lam..

======

*) Naskah dinukil dari buku Kumpulan 101 Kultum Tentang Islam yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.

Kultum Quraish Shihab

Baca juga artikel terkait KULTUM QURAISH SHIHAB atau tulisan lainnya dari M. Quraish Shihab

tirto.id - Pendidikan
Reporter: M. Quraish Shihab
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS