Menuju konten utama

Membaca Bursa Calon di Pilkada Jakarta & Kans Menang Pileg 2029

Partai politik dinilai akan mendapat efek ekor jas ketika kandidat mereka menang di Pilkada Jakarta, benarkah pengaruhnya hingga kemenangan di pileg?

Membaca Bursa Calon di Pilkada Jakarta & Kans Menang Pileg 2029
Ilustrasi Partai Politik Peserta Pemilu. tirto.id/Ecun

tirto.id - PDI Perjuangan (PDIP) DKI Jakarta memastikan beberapa nama yang akan diajukan dalam Pilkada DKI Jakarta. Politikus PDIP DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, mengaku sejumlah nama tokoh publik non-kader ikut dipertimbangkan untuk maju di bursa cagub Pilkada Jakarta seperti Menteri Keuangan, Sri Mulyani, hingga mantan Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa.

Kedua nama itu menjadi nama yang dipertimbangkan selain Menteri Sosial, Tri Rismaharini, maupun Ketua DPD PDIP Jakarta, Adi Wijaya, yang dibahas di internal untuk maju Pilkada DKI Jakarta.

"Di internal [DPD PDIP DKI Jakarta], masih melihat nama-nama yang masuk. Sejauh ini ada Bu Risma, Bu Sri Mulyani, Pak Andika dan Pak Adi Wijaya," tutur Kepala Badiklatda DPD PDIP DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak kepada awak media, Selasa (7/5/2024).

Gilbert mengatakan, di internal PDIP terus menggodok nama yang akan maju di Pilkada DKI Jakarta. Saat ini, nama-nama tersebut masuk dalam daftar di kader PDIP, tetapi belum masuk dalam usulan.

"Itu yang beredar dari bawah, belum diusulkan, tapi masuk ke tahap penjaringan. Setelah itu diseleksi lagi nama yang akan dikirim ke DPP," ungkapnya.

Anggota DPRD DKI Jakarta ini menyatakan, nama pasti calon gubernur DKI Jakarta yang diusung oleh PDIP akan dipastikan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDIP.

"Semua akan jelas setelah Rakernas. Tentu, tapi [nama yang akan diusung] dipublikasikan atau tidak, itu hal lain," ucap Gilbert.

Harus diakui, pertempuran DKI Jakarta dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 kali ini cukup unik. Partai-partai menurunkan kader mereka untuk berebut kursi di Jakarta. Sebut saja Golkar dengan Ahmed Zaki Iskandar dan Ridwan Kamil. Meski Ridwan Kamil tampaknya lebih condong untuk maju di Pilkada Jawa Barat.

Selain itu, PKS -setelah mengantongi perolehan suara besar di Jakarta- berencana untuk mengusung mantan Presiden PKS, Sohibul Iman, untuk maju di DKI Jakarta. Namun, selain nama Sohibul, ada juga nama petahana Anies Rasyid Baswedan. Dalam catatan, Anies masih mungkin membawa koalisi perubahan untuk mengusungnya di Pilkada DKI Jakarta.

Nasdem dan PKB membuka peluang untuk mengusung kembali Anies di Pilkada DKI Jakarta. Namun, Nasdem dan PKB punya nama lain untuk maju Pilkada DKI Jakarta, yakni Ahmad Sahroni dari Nasdem dan Ida Fauziyah dari PKB.

PDIP justru tercatat dengan banyak nama yang diusung. Di internal kader, selain nama Risma dan Adi Wijaya, ada nama eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, maupun MenPAN-RB, Azwar Annas, yang juga kader PDIP. Kedua nama itu juga sempat disinggung dalam sejumlah pemberitaan. Selain itu, ada juga nama Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, sebagai nama alternatif di luar Risma dan Andika.

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Kunto Adi Wibowo melihat strategi PDIP mengumumkan banyak nama tidak lepas dari upaya mencari kandidat yang cocok untuk Pilkada DKI. Ia mengakui ada kesan perlombaan antara DPP PDIP dengan DPD PDIP Jakarta. Jika dilihat dengan kacamata relasi organisasi, mungkin dapat dikatakan anomali. Namun, mungkin ada maksud lain.

"Mungkin PDIP ingin mendapatkan perhatian media lebih banyak dengan mengasosiasikan diri dengan banyak nama untuk calon gubernur DKI atau ya PDIP ingin mendapatkan kader atau calon terbaik dari nama-nama itu. Paling tidak memang secara popularitas, secara kinerja paling tidak dan track record-nya lumayan oke nama-nama yang kemudian didorong oleh PDIP sekarang," kata Kunto, Rabu (8/5/2024).

Sementara itu, analis politik dari Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, melihat bahwa banyak nama dilempar PDIP tidak lepas dari stok kader PDIP yang cukup banyak dikenal publik. Ia pun sepakat hal itu tidak lepas untuk mencari kandidat paling layak untuk memenangkan Pilkada.

"PDIP kenapa mewacanakan banyak kandidat yang maju dalam bursa gubernur tentu ini tidak lepas dari PDIP memiliki stok banyak kader yang bisa dijual ke publik sehingga wacana yang dilempar ke publik banyak tokoh tersebut bertujuan untuk melakukan cek ombak sejauh mana tokoh yang akan direspon oleh pemilih Jakarta," kata Imam, Rabu (8/5/2024).

Sri Mulyani bertemu Puan Maharani

Menteri Keuangan Sri Mulyani bertemu Ketua DPR RI Puan Maharani, Kamis (25/1/2024). FOTO/Dok. Instagram Sri Mulyani

Upaya Parpol Rebut Kursi DKI 1

Kunto juga menjawab kenapa partai-partai ngotot mengusung kader mereka di Pilkada Jakarta. Ia melihat, partai mendapat ekspose pemberitaan ketika mengusung kader mereka di Pilkada Jakarta. Berbeda dengan Pilkada lain, Pilgub Jakarta terkesan spesial karena perhatian publik tertuju ke Jakarta.

Selain itu, tokoh yang diusung dan menang di Jakarta berpeluang untuk maju Pilpres dan memenangkan pemilu. Salah satu contohnya, Jokowi yang berhasil lolos menjadi presiden setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta.

"Tapi kemudian ada perubahan mendasar soal waktu. Waktu Pak Jokowi, Pilkadanya jadi Pilkada antar Pemilu jadi Pilkada antara, jadi pemilu antar pemilu. Jadi Pilkada di 2012 lalu pemilih 2014, Pilkada 2017 Pemilu 2019. Jadi waktu sebelum Pilkada serentak, Pilkada Jakarta dijadikan semacam eksperimentasi dan kemudian usaha untuk mendorong, mendapatkan popularitas yang besar sebelum pemilu legislatif biasanya di 2019," kata Kunto.

Dari catatan sejarah, pemilihan kepala daerah di Jakarta memiliki beberapa catatan unik. Para pemenang Pemilu Legislatif Jakarta 2024 disinyalir turut memberi pengaruh pada Pilkada Jakarta.

Salah satu yang terjadi pada Pilkada 2007, pasangan Fauzi Bowo-Prijanto mendapat dukungan semua partai kecuali PKS sebagai lawan mereka yang mengusung Adang Daradjatun dan Dani Anwar.

Kemenangan Fauzi Bowo-Prijanto lantas berimbas kepada kemenangan Partai Demokrat di Pileg DKI Jakarta 2009. Mengutip pemberitaan Kompas.com pada 2009, Demokrat mengantongi 32 kursi dari total 94 kursi atau kursi terbanyak saat itu. PKS berada di peringkat kedua dengan 18 kursi, PDIP 11 kursi, Golkar 7 kursi, dan PPP 7 kursi.

Pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Demokrat yang mengusung kembali Fauzi Bowo bersama kader Partai Demokrat lain, Nachrowi Ramli gagal merebut kursi gubernur dan wakil gubernur.

Kursi tersebut berhasil direbut oleh Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diusung utama oleh PDIP bersama Gerindra. Hal itu berimbas pada perolehan suara Pileg 2014 DKI Jakarta. Mengutip dari Antara, dari 106 anggota DPRD 2014-2019, PDIP berada di kursi pertama dengan 28 kursi. Kemudian disusul Partai Gerindra 15 kursi, PKS 11 kursi, Demokrat 10 kursi dan PPP 10 kursi.

PERKEMBANGAN PROYEK MRT

Presiden Joko Widodo didampingi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kiri) meninjau perkembangan proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (30/9). Saat ini Mustikabumi II atau mesin bor bawah tanah keempat proyek pembangunan MRT Jakarta dari Bundaran Hotel Indonesia sudah menembus Stasiun Dukuh Atas dengan total panjang terowongan sekitar 678 meter. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/kye/16.

Sedangkan pada Pilkada 2017, Basuki yang maju kembali bersama Djarot Saiful Hidayat gagal memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Kursi gubernur direbut oleh Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang diusung Gerindra, PKS dan PAN. Namun, kursi legislatif 2019 tetap dikuasai oleh PDIP. Mengutip Antara, PDIP mengantongi suara tertinggi dengan 25 kursi. Gerindra mengantongi 19 kursi, PKS 16 kursi, Demokrat 10 kursi dan PAN 9 kursi.

Pada rentang waktu 2019-2024, tidak ada pemilihan kepala daerah di Jakarta. Namun, perolehan suara PKS, yang lebih berafiliasi dengan Anies, daripada Partai Gerindra, yang notabene pengusung dengan suara terbesar dalam Pileg 2014 lalu, justru melejit dalam Pileg 2024. PKS diperkirakan akan mengantongi 18 kursi. PDIP berada di peringkat kedua dengan 15 kursi. Gerindra juga turun dari 19 kursi menjadi 14 kursi.

Kenaikan kursi di Jakarta tidak hanya dialami oleh PKS di DPRD. Nasdem juga naik menjadi 11 kursi dari sebelumnya 7 kursi. PKB juga naik dari 5 kursi menjadi 10 kursi di legislatif. Hal ini dikaitkan dengan koalisi mereka yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam Pilpres 2024. Meski tidak menang di Pilpres, Anies membawa partai pengusung mereka memperoleh banyak kursi di Pileg DKI Jakarta.

Kunto menilai, partai tidak lagi menggunakan pilkada sebagai alat untuk pengukuran, melainkan demi mengejar prestise dan mencari sorot media.

"Sekarang partai-partai merasa tidak terlalu, bukan lagi untuk mengejar elektoral di pemilu legislatif 2029 yang masih terlalu lama tapi lebih menjaga prestise untuk menangkan Pilkada di DKI ini karena tadi dia punya prestise yang lebih apalagi sorotan media juga sangat besar di Pilkada Jakarta," kata Kunto.

Di sisi lain, Kunto menilai perlu ada pengujian lebih lanjut soal partai pengusung utama pemenang pilkada akan mendapat eksposur dan akan memenangkan Pileg 2029 mendatang.

Ia mengakui eksposur media kepada calon yang diusung oleh parpol dan menang Pilkada akan datang dalam jumlah besar. Namun, waktu pilkada ke pileg kali ini cukup jauh. Publik bisa saja lupa dengan afiliasi kandidat pemenang Pilkada 2024 dengan Pileg 2029.

"Ini menarik untuk dicermati kalau pun ternyata efeknya masih ada ya perlu penjelasan lebih atau riset yang lebih mendalam tentang kenapa masih ada tapi kalau enggak ada ya itu hipotesis terbukti belum tentu Pilkada DKI 2024 itu akan memenangkan Pileg 2029. Sebab, walaupun dapat perhatian publik yang besar, liputan media besar, mungkin bahkan viralitas di media sosial ya cuma jaraknya sudah terlalu jauh dan orang Indonesia kan cepat lupa," kata Kunto.

Di sisi lain, Imam mengatakan faktor elektoral tidak serta-merta memenangkan partai di pileg berikutnya. Ia menilai ada setidaknya dua situasi. Faktor pertama, memang tokoh yang diusung dan memenangkan pemilu memiliki kinerja baik sebagai pendukung.

"Jika misalnya gubernur yang diusung partai dan partainya mendapat efek elektoral tentu ada banyak faktor, di antaranya karena bisa jadi gubernur tersebut memiliki kinerja baik sehingga masyarakat simpati dan akhirnya mendukung partai yang mengusungnya," kata Imam.

"Kedua, bisa jadi gubernur bisa juga dalam tanda petik memobilisasi pemilih untuk mendukung partai yang telah mengusungnya," tutur Imam.

Analis sosiopolitik ISESS, Musfi Romdoni, menilai Jakarta penting untuk dikuasai partai. Hal ini tidak lepas posisi Jakarta sebagai pusat politik dan ekonomi. Selain itu, keuntungan lain tidak lepas dari efek media.

"Ada juga keuntungan publisitas karena hampir semua kantor berita berkantor di Jakarta. Ini membuat isu Jakarta menjadi nasional, yang artinya Gubernur Jakarta akan mendapatkan surplus pemberitaan," kata Musfi, Rabu (8/5/2024).

Selain itu, Jakarta juga dipercaya sebagai batu loncatan karier politik. Ini terjadi pada kasus Jokowi dan Anies yang berhasil mendapat dorongan maju di Pilpres. Ia pun menilai partai akan mendapat efek ekor jas ketika kandidat mereka menang di Jakarta.

Selain itu, kenapa partai ingin menjadi pengusung utama karena partai pengusung utama identik dengan kandidat. Tentu saja, konsekuensi yang diterima partai pengusung utama adalah akan mengeluarkan uang terbesar untuk pemenangan.

"Singkatnya, semua partai politik pasti ingin berkuasa di Jakarta," kata Musfi.

Lalu kenapa PDIP paling banyak mengusung nama? Musfi melihat manuver tersebut adalah cara PDIP meningkatkan bargain atau daya tawar politiknya.

Dengan kalah di Pilpres 2024, PDIP harus memastikan bahwa mereka yang menguasai Jakarta. Musfi menilai, pemenangan Pilkada Jakarta menjadi langkah strategis untuk melakukan lobi dengan pemerintah pusat dan bertarung di Pilpres 2029.

"PDIP harus banyak mengusung nama kader agar nama-nama itu terus dibicarakan publik. Yang menarik kan ada nama Sri Mulyani dan Menteri PUPR Basuki yang masuk bursa PDIP. Dua nama itu sangat populer. Ini adalah cara untuk membuat PDIP menjadi partai yang paling dibicarakan karena status dua nama itu adalah kandidat dari PDIP," pungkas Musfi.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri