Menuju konten utama

Menguji Ide Heru Budi soal Pembangunan Pulau Sampah di Jakarta

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membuat pulau sampah yang akan dipusatkan di laut Jakarta Utara.

Menguji Ide Heru Budi soal Pembangunan Pulau Sampah di Jakarta
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi.

tirto.id - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana membuat pulau sampah yang akan dipusatkan di laut Jakarta Utara. Ide brilian ini, nantinya akan memanfaatkan sendimen alias lumpur yang berada di dasar 13 sungai wilayah DKI Jakarta serta dari sampah-sampah masyarakat.

Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi, mengatakan tumpukan sedimen berasal sungai-sungai kerap kali menjadi persoalan karena setiap hari dikeruk dan tidak ada lagi tempat pembuangan. Maka, salah satu opsi bisa ditarik adalah memindahkan ke area pesisir laut utara menyerupai pulau.

"Jadi, nanti pembuangan sampah itu, termasuk sedimen, menjadi pulau-pulau," kata Heru di Rorotan, Jakarta Utara, Senin (13/5/2024).

Pengelolaan atas pulau tersebut, kata Heru, nantinya bisa dipegang oleh Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta. Oleh dinas terkait, pulau-pulau sampah ini bisa dikembangkan selain menjadi tempat pembuangan akhir sampah juga menjadi ruang terbuka hijau (RTH).

"Pulau-pulau itu bisa pengolahan dinas, Dinas Taman. Juga tentunya untuk pengolahan sampah itu sendiri dan kita bisa menambah RTH," tuturnya.

Heru juga sudah meminta kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta untuk melakukan kajian atas rencana pembuatan pulau sampah tersebut. Menurut Heru, Pemprov DKI memang harus membuat pulau sampah di laut Jakarta.

Sebab, Pemprov DKI tak lagi memiliki lahan untuk menjadi lokasi pembuangan sampah dari jutaan masyarakat Jakarta. Pemprov DKI juga disebut tak mungkin terus-menerus membuang sampah di TPS Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.

"Kalau saya ditanya, ya kita harus ke depan seperti itu. Tidak mungkin lagi membuang sampah Bantar Gebang di wilayah daratan Jakarta," kata Heru.

Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengatakan pembangunan tempat pengolahan sampah di pulau di laut Jakarta sejatinya bukan rencana baru. Rencana ini disebut telah ada sejak 2013. Terlebih, sudah ada negara percontohan seperti Singapura yang memiliki pulau sampah.

"Kita punya beberapa contoh, kayak di Singapura dengan Pulau Semakau-nya. Mereka juga concern terhadap pengelolaan sampahnya," ujar dia.

TUMPUKAN SAMPAH DI CILINCING

Warga berjalan meniti jembatan bambu yang penuh sampah di sekitarnya, di kawasan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (8/6/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.

Negeri Singa itu merupakan negara yang membuat pulau buatan dari sampah pertama. TPA lepas pantai ini diberi nama TPA Semakau menjadi solusi sementara untuk masalah sampah di Negara Singa terebut.

TPA ini dirancang untuk menangani sampah dari Singapura untuk memastikan bahwa lingkungan di sekitarnya terlindungi. Plastik adalah kategori limbah terbesar yang dibuang di Singapura,ada kurang lebih sekitar 763.400 ton menurut data dari Badan Lingkungan Nasional (NEA).

Hanya 6 persen dari 763.400 ton limbah plastik yang bisa didaur ulang. Analisis data NEA menunjukkan bahwa limbah plastik per kapita telah meningkat hampir 20 persen selama 15 tahun terakhir.

"Sekali lagi, bagaimana reklamasinya, prosesnya, ataupun nanti pemanfaatan pulau-pulau yang ada di perairan Jakarta, itu memang akan kita lakukan kajian dahulu dengan pakar dan pemerhati lingkungan," ucap dia.

Ide gagasan membuat pulau sampah di laut utara justru menuai kritik. Salah satunya dari Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah. Dia mengatakan, wacana tersebut belum tepat dilakukan di Indonesia apalagi berkacanya dari Singapura.

"Karena kita kan banyak pulau-pulau masih kosong. Kalau Singapura itu tidak punya pulau lain lagi," ujar dia saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).

Belum lagi, kata dia, di Indonesia masalahnya adalah inkonsistensi kebijakan. Setiap kebijakan dibuat, selalu berubah kemudian hari setelah pemimpin berikutnya berkuasa. Sehingga proyek tersebut akhirnya mangkrak dan dampaknya terhadap lingkungan rusak.

"Kebijakan itu seringkali jadi ajang untuk urusan cuan. Tidak ada pertanggungjawaban secara berkesinambungan. Itu tidak ada. Artinya putus di situ," ujar Trubus.

Sementara, lanjut Trubus, dari sisi cost benefit akan lebih banyak dikeluarkan ketimbang didapat. Karena cost dikeluarkan berkaitan masalah lingkungan yang dipertaruhkan, terumbu karang yang rusak, ikan-ikan yang mati, hingga ekosistem laut lainnya.

Ide Konyol dan Mengada-ngada

Sementara itu, Manajer Kampanye Polusi dan Urban Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), Abdul Ghofar, mengatakan gagasan untuk bikin pulau sampah kemudian dijadikan tempat penampungan sampah merupakan ide konyol dan mengada-ngada. Karena menurutnya, masalahnya akan menjadi multidimensional.

"Ya, jadi gagasan untuk bikin pulau reklamasi kemudian jadi tempat penampungan sampah khusus bahkan mungkin idenya reklamasi itu sendiri pakai sampah juga dengan tanah, itu sesuatu yang menurut kami konyol dan mengada-ada," ujar Ghofar saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).

Apalagi, kata dia, jika kemudian rujukannya adalah Singapura. Meski faktanya Singapura punya pulau tersendiri dan jauh dari pulau utama, namun perlu digarisbawahi di pulau tersebut terdapat juga terdapat fasilitas pembakaran sampah plastik.

Pemprov DKI, dalam hal ini harusnya belajar dari bagaimana proses pembakaran sampah itu merupakan hal yang toksik dan berbahaya. Karena selain menghidupkan polusi udara, pembakaran sampah juga melepaskan emisi gas beracun atau istilah teknisnya adalah persistent organic pollutants.

Maka, jika kemudian pulau-pulau tersebut nantinya dibuat dari sedimen dan sampah-sampah masyarakat mayoritas adalah plastik akan berdampak lebih luas. Sebab, plastik sendiri jika diperairan dalam jangka waktu yang lama akan terfragmentasi dan pecah-pecah menjadi mikroplastik.

"Jadi, bayangkan kalau plastik atau sampah ditumpuk jadi satu, jadi pulau reklamasi, reklamasinya menimbulkan persoalan, plastik yang dikuburkan itu diperairan dalam jangka waktu yang lama itu terfragmentasi jadi mikroplastik," kata Ghofar.

PENINGKATAN VOLUME SAMPAH TPA RAWA KUCING PASCABANJIR

Truk sampah beraktivitas di area Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Rawa Kucing, Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Kamis (9/1/2020). ANTARA FOTO/Fauzan/nz

Alih-alih mengatasi masalah, kata Ghofar, ide tersebut justru akan menimbulkan masalah yang lebih kompleks. Mulai dari reklamasinya jadi kendala untuk nelayan dan merusak ekosistem. Kemudian juga dapat menghalangi aliran air dari sungai di Jakarta.

"Seharusnya bagaimana kebijakan yang ada itu mengurangi jumlah plastik yang diproduksi setiap hari, mengelola sampah organik yang dihasilkan oleh warga Jakarta ketimbang memikirkan solusi numpuk sampah di satu tempat," terang dia.

"Jadi mengatasi masalah dengan memindah masalah dan menimbulkan masalah baru yang lebih multidimensional," ujar dia menambahkan.

Pengkampanye Urban Greenpeace Indonesia, Atha Rasyadi, mengatakan solusi paling utama dalam menyelesaikan krisis sampah bukanlah dengan mengadopsi teknologi yang terlampau jauh atau bahkan berencana membakar sampah dan menjadikan abu buangannya sebagai materi untuk membuat pulau baru.

"Pemilahan justru harusnya menjadi kunci utama," ujar dia kepada Tirto, Senin (13/5/2024).

Jika kita lihat komposisinya, sampah di Indonesia lebih dari separuhnya sampah organik yang punya cara tersendiri untuk mengelolanya. Sayangnya hal ini tidak pernah jadi perhatian serius sehingga tak hanya sampah tercampur, jumlahnya kian meningkat dari tahun ke tahun.

Seperti yang kita tahu, masalah sampah di Jakarta sudah sangat kritis. TPA kita di Bantar Gebang sudah overcapacity dari beberapa tahun yang lalu," ungkap dia.

RTH dan Reklamasi Dua Hal yang Beda

Lebih lanjut, Walhi juga mengkritisi logika Heru Budi terkait keberadaan pulau sampah yang dinilainya akan menambah RTH. Menurut Abdul Ghofar, pemikiran ini justru mundur seperti gubernur-gubernur sebelumnya yang selalu berdalih jika Jakarta butuh ruang untuk bangun pemukiman dan RTH, maka butuh reklamasi.

"Padahal kan problem RTH ini gak pernah di-address mas," ujar dia.

Padahal, kata Ghofar, teman-teman Walhi Jakarta selalu mengingatkan bahwa RTH di Jakarta ini kurang dari 30 persen. Di mana 20 persen RTH untuk publik dan 10 persennya untuk private.

"Kalau argumennya butuh RTH nih menurut kami diatasi satu-satu. Masalah sampah, ini masalahnya. Ini soal masalah RTH juga sama," ucap dia.

Jika masalahnya krisis ruang terbuka hijau untuk publik, maka yang seharusnya dipenuhi oleh Pemprov DKI adalah wilayah komersil yang selama ini merupakan daerah pemukiman real estate dan lain sebagainya. Karena jika mau terus terang, banyak RTH justru berubah peruntukan menjadi mal-mal.

Maka, lanjut dia, jika mau bicara soal memenuhi RTH, penuhi RTH dengan melakukan penegakan hukum yakni mengembalikan fungsi kawasan ruang terbuka hijau yang hilang jadi kawasan komersil. Bukan kemudian justru memikirkan membuat pulau sampah menambah RTH baru.

"Jadi kayak ada upaya yang seharusnya dikerjakan tidak dikerjakan, tapi mikir solusi yang jauh nih 'oh diuruk aja bikin daratan baru jadi RTH dan lain sebagainya'," ujar Ghofar.

Baca juga artikel terkait PULAU SAMPAH atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang