tirto.id - Upaya DKI Jakarta meraih status kota global akan sangat ditentukan dengan kualitas sumber daya manusia. Kualitas SDM sendiri erat kaitannya dengan status kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Salah satu syarat mutlak mencapai status kota global adalah kemampuan mengentaskan angka stunting di wilayah tersebut.
Menurut data yang diterima Tirto dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta, hingga Agustus 2024, balita stunting di Jakarta sebanyak 5.688 kasus atau 1,67 persen. Data diambil dari laporan di elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM).
Kepala Dinkes Provinsi DKI Jakarta Ani Ruspitawati menjelaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang tergabung dalam Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) terus berupaya mencegah serta mempercepat penurunan stunting melalui intervensi spesifik dan sensitif. Tim ini diisi oleh Dinkes Provinsi DKI Jakarta dan Perangkat Daerah lainnya.
Kegiatan dan inovasi yang dilakukan, lanjut Ani, sasaran utamanya 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Mulai dari ibu hamil, bayi dan balita, hingga sasaran pendamping, yaitu remaja putri dan calon pengantin.“Hal ini sebagai upaya pencegahan untuk mencapai target penurunan stunting,” kata Ani kepada reporter Tirto, Kamis (17/10/2024).
Ia menambahkan, peningkatan pengukuran balita adalah langkah awal penanganan stunting. Balita bermasalah gizi lainnya seperti BB (Berat Badan) tidak naik, BB kurang, gizi kurang, dan gizi buruk, diintervensi sedini mungkin, dengan harapan tidak jatuh ke kondisi stunting.
Seluruh balita yang mengalami stunting diupayakan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) agar ditangani Dokter Spesialis Anak. Harapannya, mereka dapat menerima tatalaksana yang sesuai dan dapat mempercepat balita tersebut lulus stunting. Ani mengemukakan, intervensi spesifik lainnya dalam pencegahan stunting menyasar remaja putri, calon pengantin, ibu hamil, serta bayi dan balita.
Pemprov DKI Jakarta juga terus berupaya meningkatkan intervensi sensitif lewat perbaikan sanitasi dan akses air bersih, peningkatan kualitas udara, serta kemudahan mengakses bahan makanan bergizi. “Setiap perangkat daerah memiliki peran penting dalam penanganan stunting. Karena dalam penanganan stunting diperlukan intervensi spesifik dan intervensi sensitif,” ujar Ani.
Dalam penanganan stunting, tambahnya, intervensi spesifik menyumbang 30 persen, sedangkan intervensi sensitif menyumbang 70 persen. Sesuai amanat Peraturan Presiden (Perpres) 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting maka Provinsi DKI Jakarta juga menerbitkan Keputusan Gubernur (Kepgub) 981/2022 tentang Tim Percepatan Penurunan Stunting. “Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat bahwa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain di luar kesehatan juga memegang peranan yang besar dalam penanganan stunting,” ucap Ani.
Kolaborasi Berantas Stunting
Peneliti kesehatan lingkungan dari Global Health Security, Griffith University, Dicky Budiman, menyatakan, kolaborasi multisektoral memang menjadi kunci utama memberantas stunting. Ia menegaskan, stunting bukan cuma masalah di sektor kesehatan, namun juga meliputi banyak faktor yang saling beririsan satu sama lain.
Misalnya, akses terhadap pangan bergizi yang tidak semua warga mampu menjangkaunya. Apalagi, tuntutan hidup di provinsi besar seperti Jakarta cukup tinggi, sehingga kerap kali gizi yang cukup dikesampingkan.
“Terus sanitasi dan akses air bersih di Jakarta sebagai kota besar memang masih ada kawasan yang aksesnya terbatas. Jelas berdampak kepada anak dan menyebabkan infeksi berulang,” tutur Dicky kepada Tirto, Kamis.
Menurutnya, asa Jakarta untuk meraih status kota global akan berkorelasi positif dengan capaian Pemprov DKI dalam mengentaskan stunting. Ia menilai, kota global identik dengan standar kehidupan tinggi, termasuk layanan universal di sektor pendidikan dan kesehatan.
Stunting, imbuh Dicky, menjadi salah satu indikator yang menandakan kualitas kehidupan serta kesehatan masyarakat. “Kalau Jakarta bisa mengatasi stunting, ini menunjukkan komitmennya pada pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan,” terangnya.
Ia sepaham dengan upaya Pemprov DKI Jakarta yang menekankan intervensi gizi spesifik dan sensitif untuk mempercepat penanganan stunting. Salah satu yang penting diupayakan adalah pemenuhan makanan tambahan bergizi bagi ibu hamil, ibu menyusui, balita, serta anak-anak.
Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta perlu terus menyosialisasikan literasi gizi dalam keluarga. Terkadang stunting akan memburuk dengan pengetahuan yang kurang soal gizi dan kesehatan anak. “Harus ada kolaborasi multisektor, karena ini bukan cuma masalah kesehatan, tapi juga sosial ekonomi,” urai Dicky.
Ani pun mengungkapkan, kasus-kasus stunting di Jakarta memang disebabkan oleh multifaktor. Misalnya, biaya hidup yang tinggi di Jakarta, sehingga memaksa keluarga untuk menghemat pengeluaran, termasuk untuk makanan. “Sehingga makanan yang dikonsumsi cenderung rendah nutrisi, yang diperparah oleh pengetahuan rendah ibu tentang gizi dan kesehatan,” kata Ani.
Di sisi lain, sanitasi dan akses air bersih yang tak memadai meningkatkan risiko penyakit infeksi, seperti diare, yang dapat menghambat penyerapan nutrisi anak. Polusi udara, air, dan lingkungan dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh anak, sehingga menyebabkan masalah kesehatan kronis.
“Urbanisasi yang tinggi menciptakan permukiman yang kumuh. Penduduk migran yang datang ke Jakarta sering kali tidak memiliki akses ke layanan kesehatan yang memadai dan tinggal dalam kondisi yang tidak mendukung,” beber Ani.
Sedangkan pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar, menganggap akar persoalan stunting yang multifaktor hanya dapat selesai jika ditangani secara multisektor. Ini menjadi kesempatan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk berkolaborasi dengan pihak swasta maupun pemerintah pusat.
Terlebih, stunting memang merupakan salah satu indikator untuk meraih status kota global. Jika prevalensi stunting bisa terus ditangani Pemprov DKI Jakarta, maka terjadi peningkatan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat Jakarta. “Walaupun yang diukur berat badan anak, tapi ini sebenarnya merefleksikan banyak faktor di dalamnya,” beber Iqbal kepada reporter Tirto, Kamis.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Intan Umbari Prihatin