Menuju konten utama

Menyusuri Desa Nglanggeran, Wisata Ekonomi Berbasis Kerakyatan

Para wisatawan tidak hanya menginap tetapi bisa bisa ikut melihat perkebunan kakao, belajar produksi cokelat, kerajinan batik topeng di Desa Nglanggeran.

Menyusuri Desa Nglanggeran, Wisata Ekonomi Berbasis Kerakyatan
Hari kedua saya berada di Kabupaten Gunungkidul dalam rangka kegiatan Press Tour Kementerian Keuangan: Mendongkrak Ekonomi Desa. tirto.id/Dwi Aditya Putra

tirto.id - Udara terasa sejuk walaupun sinar matahari mulai menyengat di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Suasana asri jauh dari keramaian membuat hati terasa tenang.

Maklum, saya jarang menikmati suasana dan pemandangan serba hijau ada di sini. Kamis, 2 Mei 2024, menjadi hari kedua berada di Kabupaten Gunungkidul dalam rangka kegiatan Press Tour Kementerian Keuangan: Mendongkrak Ekonomi Desa.

Sejak pagi, saya dan rombongan sudah harus bersiap. Meninggalkan hotel menuju Desa Nglanggeran untuk agenda cukup padat.

Perjalanan dari hotel menuju Desa Nglanggeran tidak memakan waktu lama hanya memangkas 20 menit untuk sampai di titik pertama. Di perjalanan mobil meliuk-liuk menyusuri jalan desa. Pepohonan rindang, persawahan, bukit, dan ladang pertanian memanjakan mata.

Di lokasi pertama, saya melihat ladang perkebunan kakao milik salah satu warga. Di pekarangan tidak begitu besar itu, ditumbuhi puluhan tanaman kakao sudah berumur. Buahnya berwarna merah, cukup banyak dan bentuknya menyerupai pepaya kecil.

Kawasan Desa Nglanggeran terkenal sebagai daerah penghasil kakao dan cokelat. Total luas perkebunan kakao di desa ini mencapai 10,2 hektare (ha), atau sekitar 5.325 pohon kakao yang dikelola oleh 96 warga. Dari pohon itu, yang berbuah sekitar 3.000 pohon. Kemudian bisa memproduksi 1,5 - 2 kuintal biji kakao per bulan.

"Dulu bertani malu. Sekarang justru jadi pendapatan utama ketika [kita] upayakan itu hasilnya tidak kalah," ujar Heri Yulianta, salah satu petani di Dusun Doga, Nglanggeran, Kabupaten Gunungkidul.

Saat kunjungan saya mendengar penjelasan mengenai proses budidaya kakao mulai dari pembibitan, memetik, sampai mengenali proses fermentasinya.

Destinasi selanjutnya yaitu berkunjung ke salah satu homestay di pelosok desa kecil. Perjalanan dilalui hanya bisa muat satu mobil.

Tiba di penginapan tersebut terlihat bangunan dipoles dengan nuansa kayu. Wilayah yang asri dan pemandangan alam bebatuan kapur mendukung untuk para wisatawan bisa betah tinggal di sana.

"Jadi konsepnya homestay di sini itu adalah tamu tinggal bersama warga. Jadi rumah yang dibiayai itu direnovasi sehingga membuat para wisatawan yang tinggal di homestay menjadi lebih nyaman," ujar Direktur Keuangan dan Operasional PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) Persero, Bonai Subiakto.

Press Tour Kemenkeu

Hari kedua saya berada di Kabupaten Gunungkidul dalam rangka kegiatan Press Tour Kementerian Keuangan: Mendongkrak Ekonomi Desa. tirto.id/Dwi Aditya Putra

SMF telah menyalurkan pembiayaan untuk pembangunan homestay di Desa Nglanggeran sejak 2019. Program homestay berperan mendorong ekonomi daerah pada sektor perumahan, terutama karena Desa Nglanggeran merupakan destinasi wisata.

"Hingga 2023, kami telah membiayai 24 unit homestay di Desa Nglanggeran, dengan total penyaluran dana senilai Rp1,57 miliar dan rata-rata tenor 10 tahun," ujar Bonai.

Setelah puas melihat bangunan homestay, saya dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Destinasi selanjutnya yaitu tempat makan Pawon Purba yang menyuguhkan pemandangan langsung Gunung Api Purba dan terasering sawah.

Bagi pendatang baru seperti saya, lokasi ini cukup nyaman. Tempat ini rekomendasi sebagai lokasi nongkrong dengan pemandangan memanjakan mata. Bangunannya terlihat bernuansa seperti rumah joglo. Semakin terasa nuansa khas Yogyakarta-nya.

Menariknya lagi, di Pawon Purba juga tersedia homestay. Lokasinya persis di samping lokasi tempat makan. Bangunannya menyerupai limasan dipadukan dengan bangunan semi modern. Masih sangat kental nuansa perdesaan namun juga sangat nyaman dan bersih.

Homestay ini langsung menghadap ke Gunung Api Purba Nglanggeran dan sawah di depannya. Fasilitasnya terbilang lengkap. Memiliki dua kamar yang disewakan kepada wisatawan, fasilitas wifi, dan menu makanan lokal kepada wisatawan yang menginap.

Ilustrasi Mangut Lele

Ilustrasi Mangut Lele. foto/IStockphoto

Makanan disajikan merupakan khas desa, khususnya di Gunungkidul. Ada menu nasi merah, sayur lombok ijo, tempe garit, sambal bawang, trancam, sayur daun pepaya, hingga lele mangut. Tidak hanya makanan, mereka juga menyediakan minuman seperti es tape ketan, kopi, es teh, es jeruk.

Salah satu teman saya mengakui makanan di Pawon Purba lezat. Seperti Mangut Lele makanan khas Jogja.

"Lelenya juara. Enak," timpal Praz, salah satu rombongan sambil menikmati sepiring makanan.

Setelah puas menikmati santap siang, agenda dilanjutkan dengan acara seremonial. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu meresmikan Desa Nglanggeran, sebagai Desa Keuangan (Desa KEU). Kawasan ini menjadi desa pertama yang diresmikan sebagai Desa Keuangan.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Luky Alfirman, mengatakan dari puluhan ribu desa yang ada di Indonesia, Desa Nglanggeran menjadi salah satu desa yang sukses dalam pembangunannya. Desa ini memiliki kombinasi dari segi agrikultur kakaonya yang telah mendunia dan juga dari segi wisata.

"Di mana kita sendiri memberdayakan industri kakao mulai dari pertanian, tetapi juga bisa jadi desa wisata yang bisa kita gali," ujar Luky dalam peresmian di rumah makan Pawon Purba.

Setelah acara peresmian rampung, kurang afdol rasanya jika tidak diiringi dengan foto-foto. Tentu kami tak ingin kehilangan momen meski matahari berada di atas kepala. Semua rombongan berbaris dengan latar belakang Gunung Api Purba dan pelataran sawah yang hijau.

"Satu, dua, tiga. Ganti gaya," ujar salah satu perempuan yang membidik kamera di hadapan saya dan rombongan.

Belum puas menikmati banyak keindahan di Pawon Purba, saya dan rombongan harus kembali melanjutkan perjalanan menuju Griya Coklat. Lokasi ini merupakan tempat produksi olahan makanan khas dari Desa Wisata tersebut dengan bahan dasar cokelat.

Seperti bakpia coklat, pisang salut coklat, dodol coklat, berbagai serbuk minuman coklat dengan varian rasa dan lain-lain. Di lokasi ini, kami diajak secara langsung melihat bagaimana cara pengolahan pembuatan dodol cokelat dan keripik pisang coklat.

Setelahnya, saya dan rombongan diperkenankan untuk mencicipi makanan tersebut. Rasanya? Jangan ditanya. Sudah pasti enak.

Di Griya Coklat mayoritas pekerjanya adalah ibu-ibu yang bergabung dalam kelompok usaha. Kegiatan memproduksi olahan makanan ini tidak dilakukan setiap hari. Namun, saat mendapat banyak pesanan, atau stok sudah habis. Karena olahan makanan tidak menggunakan pengawet.

Setelah melihat proses pengolahan di Griya Coklat, saya dan rombongan berjalan sedikit menuruni anak tangga. Persis di sebelah Griya Coklat, terdapat bangunan cukup besar. Di dalamnya sudah terdapat beberapa kompor minyak dan topeng-topeng berbahan dasar kayu.

Di tempat ini, saya belajar proses membuat batik kayu. Metodenya menggunakan canting dan lilin yang sudah dicairkan. Saya mengikuti pola batik sudah dibentuk sebelumnya menggunakan pensil. Mengambil canting dan mengikuti garis pola ke topeng yang sudah disediakan.

Belajar membatik

Warga belajar membatik saat pelatihan di Hotel Majapahit, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (7/10/2023). . ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.

Setelah seluruh proses pola selesai, topeng tersebut dituangkan ke wadah air berkelir coklat. Kemudian dijemur hingga kering.

Sebagai kenang-kenangan, pengunjung atau wisatawan seperti saya diperkenankan membawa topeng tersebut. Kerajinan topeng ini, menjadi satu potensi ekonomi kreatif yang dimiliki Desa Wisata Nglanggeran. Tidak hanya itu, ada juga gerabah, ramuan spa, olahan cokelat, dan batik tulis motif Gunung Api Purba.

Desa Wisata Nglanggeran sebenarnya memiliki destinasi wisata lainnya yang tidak kalah menarik. Seperti Embung Nglanggeran, Air Terjun Kedung Kandang, dan Kampung Pitu. Namun, sayang, saya dan rombongan tidak bisa mengunjungi destinasi lain karena keterbatasan waktu dan kegiatan lain.

"Semua ini otodidak kita belajar mengembangkan potensi yang ada di desa," ujar Aris Budiyono, salah satu penggerak Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Nglanggeran kepada saya.

Jatuh Bangun Desa Wisata Nglanggeran

Jauh sebelum seperti sekarang, Desa Nglanggeran dulunya dikenal sebagai kawasan konservasi Gunung Api Purba. Pada 1999, Aris ingin mengejawantahkan mimpinya agar tanah kelahirannya bisa menjadi desa wisata.

Pada masa itu, Aris dan kawan-kawan melihat ada peluang. Menjadikan kawasan Gunung Api Purba ini sebagai destinasi wisata. Pikirnya saat itu sederhana, bagaimana orang bisa berkunjung atau camp beli tiket. Lalu bisa menikmati pemandangan dari puncak gunung batu.

Namun, keinginannya Aris saat itu tak mendapat dukungan dari warga sekitar, bahkan lingkungan terdekatnya yakni keluarga. Sebab, dianggap tidak memiliki masa depan.

"Tidak semua mau terlibat langsung. Karena mindset mereka satu, tidak ada jaminan," ujar Aris.

Pada saat itu, cara berpikir warga kampung di Desa Nglanggeran masih belum terbuka. Setelah lulus sekolah anak-anaknya mereka harus merantau.

Kemudian, mereka mendapatkan pekerjaan, memiliki penghasilan tetap, sehingga ada jaminan kepastian hidup. Karena setiap bulannya paling tidak bisa mengirim ke kampung.

"Sedangkan pengabdian di desa yang mau gaji siapa dan jaminannya apa? Yang terjadi adalah saat itu orang lihat ngapain lebih condong ke situ lebih banyak keluyuran sana-sini dipandang sebelah mata," kata Aris menceritakan kepada saya.

Meski begitu, Aris tak patah arah. Dia dan kawan-kawan Pokdarwis tetap melanjutkan mimpinya untuk membangun desa ini menjadi kawasan wisata. Butuh waktu delapan tahun sejak 1999-2006 untuk menghapus pemikiran buruk pengangguran di kampung.

Press Tour Kemenkeu

Hari kedua saya berada di Kabupaten Gunungkidul dalam rangka kegiatan Press Tour Kementerian Keuangan: Mendongkrak Ekonomi Desa. tirto.id/Dwi Aditya Putra

Setelah stigma berubah, barulah Pokdarwis mengajukan pengelolaan Gunung Api Purba tersebut sebagai kawasan wisata pada 2007. Dari situ pengembangan wisata di kawasan ini mulai dikenal dibantu promosi dari media sosial.

"Akhirnya mulai dikenal 2007 kami coba lembaga kelompok sadar wisata di dalamnya anak-anak muda jadi motor penggerak," ungkap Aris.

Di awal perkembangannya, belum banyak wisatawan. Pada periode 2007-2010, segmentasi pasar di Desa Nglanggeran mayoritas masih mahasiswa. Karena umumnya, mahasiswa saat itu melakukan kegiatan-kegiatan kampus seperti malam keakraban atau makrab.

"Saat itu kami jual paket tracking. Siapin homestay-nya, makan dan lainnya. Momen ini menjadi belajar bagi warga kami bagaimana cara melayani pasar," kata Aris.

Seiring berjalan, pada 2011 daya tarik Desa Nglanggeran semakin meningkat. Pengembangan wisata berbasis edukasinya diperluas. Jika dulu, sebelumnya orang datang hanya ke Gunung Api Purba, kemudian menginap di homestay, kini wisatawan bisa ikut melihat perkebunan kakao, belajar produksi cokelat, kerajinan batik topeng dan lain-lainnya.

"2011 sampai sekarang tren wisata seperti itu mulai kami kembangkan ada pengetahuan di dalamnya," kata Aris.

Press Tour Kemenkeu

Hari kedua saya berada di Kabupaten Gunungkidul dalam rangka kegiatan Press Tour Kementerian Keuangan: Mendongkrak Ekonomi Desa. tirto.id/Dwi Aditya Putra

Aris mengatakan, saat ini ada tiga jenis wisatawan yang datang ke Desa Nglanggeran. Pertama, mereka yang datang beli tiket untuk camping ke Gunung Api Purba lalu pulang. Kedua, membeli program paket tidak menginap. Contohnya wisatawan yang membeli paket Gunung Api Purba dan melihat proses pembuatan kakao serta ikut panen. Lalu ketiga, wisatawan yang mau live in.

Live in yaitu tinggal dan menginap di rumah warga dengan melakukan aktivitas menjadi masyarakat desa. Mengikuti induk semang yang sekaligus menjadi orang tua angkat baru bagi yang tinggal di rumah barunya di desa tersebut.

"Kalau paling diminati live in. Disandingkan jumlah kunjungan wisatawan massal datang hanya datang ke destinasi aja," ujar dia.

Paket kegiatan Live In di Desa Wisata Nglanggeran bisa mengunjungi tiga destinasi unggulan yaitu Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba, Embung Nglanggeran dan Air Terjun musiman yakni Talang Purba dan Kedung Kandang.

"Akhirnya kebalik yang tadinya masyarakat acuh tidak mau, akhirnya karena ada pergerakan ekonomi ribuan wisatawan masuk mereka jadi terlibat. Karena dari sini membuka kantong-kantong ekonomi baru. Peluang homestay, warung kelontong, dan lainnya," pungkas Aris.

Baca juga artikel terkait PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin