Menuju konten utama

Gelombang Kritik RUU Penyiaran yang Dinilai Ancam Kebebasan Pers

Masyarakat memerlukan jurnalisme bermutu yang salah satunya disajikan lewat investigasi jurnalistik.

Gelombang Kritik RUU Penyiaran yang Dinilai Ancam Kebebasan Pers
Sejumlah wartawan mengumpulkan kartu Pers ketika berunjuk rasa sebagai aksi solidaritas atas tindak kekerasan terhadap jurnalis akibat pemberitaan, di Lhokseumawe, Aceh. Rabu (15/1/2020). ANTARA FOTO/Rahmad/hp.

tirto.id - Rencana revisi Undang-Undang Penyiaran mendapat gelombang kritik dari insan pers dan pegiat jurnalisme. Bukan tanpa sebab, RUU Penyiaran dinilai bakal memberangus kebebasan pers akibat sejumlah pasal-pasal bermasalah yang bercokol di beleid tersebut.

Ada beberapa poin dalam draf RUU Penyiaran yang menjadi sorotan, terutama soal larangan penayangan konten eksklusif investigasi jurnalistik dan tumpang tindih aturan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Dalam draf RUU Penyiaran terbaru yang diterima Tirto, pada Pasal 50 B ayat 2 huruf (c), disebut penayangan eksklusif jurnalistik investigasi termasuk dalam larangan Standar Isi Siaran (SIS). Adapun dalam Pasal 42 ayat 2 sengketa jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai aturan undang-undang, dan dalam Pasal 51 huruf E sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan lewat pengadilan.

Salah satu pendiri Yayasan Pantau dan pengajar jurnalisme, Andreas Harsono, menilai, jurnalisme investigasi memiliki peranan dalam memantau kekuasaan. Media yang bermutu, kata dia, tentu hendak menjalankan fungsi jurnalisme tersebut.

Andreas menekankan, masyarakat memerlukan jurnalisme bermutu yang salah satunya disajikan lewat investigasi jurnalistik. Menurut dia, semakin bermutu jurnalisme yang hadir, maka semakin bermutu pula masyarakat di suatu negara.

“Jadi ia [investigasi jurnalistik] tentu tak perlu dilarang, bila dilarang buat televisi misalnya, ia akan merugikan masyarakat,” kata Andreas kepada reporter Tirto, Senin (13/5/2024).

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menyampaikan, usul pelarangan penayangan jurnalistik investigasi karena dikhawatirkan mempengaruhi opini publik terhadap proses penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum. Dia berdalih, tidak ada maksud dari DPR untuk mengekang kebebasan pers, pasal-pasal dalam RUU Penyiaran pun disebut belum mencapai kesepakatan fraksi-fraksi.

“Jangan sampai proses hukum yang dilakukan aparat terpengaruh konten jurnalisme investigasi,” kata Hasanuddin kepada Tirto, Senin (13/5/2024).

Andreas Harsono memandang sebaliknya, karya jurnalistik investigasi justru dapat membantu pekerjaan aparat penegak hukum. Dia menjelaskan, pekerjaan wartawan investigasi bisa saling melengkapi dengan tugas polisi atau jaksa.

Liputan investigatif menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism dibagi tiga macam. Meliputi original investigation (murni kerja wartawan), investigasi sebagai follow up dari investigasi polisi, serta interpretative investigation (memakai data besar).

“Jadi kerja wartawan dan polisi, saya kira, saling melengkapi,” ujar Andreas.

Senada dengan Andreas, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Ade Wahyudin, memandang, alasan bahwa jurnalistik investigasi mengganggu penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum sebagai hal yang lucu. Pasalnya, keduanya memiliki mandat dan fungsi masing-masing dan tidak saling berbenturan.

“Secara mandat berbeda. Polisi [diatur] berdasarkan UU Kepolisian dan pers berdasarkan UU Pers. Keduanya memiliki level setara, dan tidak seharusnya menegasikan,” kata Ade kepada reporter Tirto.

Dia juga menyatakan, RUU Penyiaran bila melarang jurnalistik investigasi, maka sama saja membatasi kebebasan pers yang dijamin UU Pers. Ade mendesak DPR melakukan evaluasi terhadap draf RUU Penyiaran dengan mencabut pasal yang bertentangan dengan UU Pers. Selain itu, harus membuka partisipasi publik untuk memberikan masukan-masukan terhadap penyusunan RUU Penyiaran.

“Untuk media penyiaran, mereka punya spesifik kode etik. Jadi sangat mungkin KPI ada mekanisme sengketa, namun juga hal ini penting diharmonisasi dengan UU Pers,” ucap Ade.

AKSI SOLIDARITAS JURNALIS BALI

Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam† Solidaritas Jurnalis Bali melakukan aksi di Kantor Kejaksaan Tinggi Bali, Denpasar, Bali, Rabu (1/12/2021). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/foc.

Pembungkaman Pers

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga menolak RUU Penyiaran. Sebab, kehadiran Pasal 50 B ayat (2) butir c melarang media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi. Menurut AJI, beleid yang sedang digodok DPR ini akan membungkam pers.

Ketua Umum AJI Indonesia, Nani Afrida, mengatakan, jurnalisme investigasi merupakan produk jurnalistik dengan kasta tertinggi. Pembuatan produk jurnalistik ini juga tidak mudah karena membutuhkan waktu lama.

“Pembungkaman pers. Itu sudah pasti agak aneh, ya, masa jurnalisme paling tinggi [yaitu] investigasi dilarang,” kata Nani terheran-heran saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).

Jurnalis perempuan asal Aceh itu menegaskan, pembuatan karya jurnalisme investigasi tidak sembarangan. Banyak masyarakat yang menunggu produk investigasi jurnalistik tersebut.

Sejak awal, kata dia, AJI menolak dan mempermasalahkan pasal itu. AJI memandang pasal itu harus dihapus, sebab tidak ada dasar bagi DPR untuk membungkam kebebasan pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistik.

“Kami anggap enggak ada dasarnya, kemarin ada pernyataan anggota dewan mengganggu penyelidikan aparat keamanan, enggak ada hubungannya,” tegas Nani.

Menurut Nani, aparat penegak hukum bekerja dengan cara sendiri, pun dengan wartawan yang bekerja dengan memegang teguh dan patuh pada UU Pers. Selama ini, AJI menilai kerja-kerja wartawan justru membantu kerja penyidikan aparat penegak hukum.

“AJI melihat pasal ini jangan ada, itu mengganggu banget,” sebut Nani.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Pemantauan Media Remotivi, Yovantra Arief, mengatakan, RUU Penyiaran harus disempurnakan dan tidak perlu dikebut pada periode ini. Penyempurnaan RUU ini harus melibatkan semua stakeholder terkait.

"Lebih baik enggak perlu buru-buru diskusi mulai dari awal dan melibatkan semua stakeholder. Semua orang yang berkepentingan harus dilibatkan," kata Yovantra saat dihubungi Tirto.

Dia mengklaim, AJI dan Dewan Pers tak dilibatkan dalam penyusunan RUU itu. Lebih lanjut, dia menilai, RUU Penyiaran turut mengancam kreativitas. Tidak hanya soal pelarangan investigasi jurnalistik, dia juga menyoroti Pasal 25 ayat 1 RUU yang menyebutkan sengketa pers diurusi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Selain itu, Remotivi juga mempersoalkan Pasal 56 RUU Penyiaran ihwal kebencian, fitnah, pencemaran nama baik. “Jadi, jurnalisme pers bisa kena aturan KPI soal pencemaran nama baik. Jadi, ada banyak hal yang tidak boleh dilakukan pers, bukan cuma investigasi, pers tidak boleh memuat korban kekerasan, ada macam-macam,” kata dia.

Peneliti dari Remotivi lainnya, Muhamad Heychael, menilai logika medium penyiaran dengan ranah digital jelas berbeda. UU Penyiaran dirancang dengan dua fundamental asumsi, yakni penyiaran menggunakan ranah publik (frekuensi radio atau gelombang elektromagnetik yang ada di udara) dan penyiaran merupakan medium komunikasi massa yang sifatnya serentak.

Sementara dalam ranah digital, dua asumsi itu tidak berlaku atau tidak sepenuhnya berlaku. Karena, di ranah digital agensi publik punya peranan yang lebih besar.

“Bagian dari revisi ini juga hendak memperluas peran KPI ke ranah digital. Dalam hal ini adalah memberi wewenang pada KPI untuk melakukan pengawasan terhadap konten digital dan termasuk menerapkan aturan SIS ke ranah digital,” ujar dia.

Di sisi lain, Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers, Yadi Hendriana, menyampaikan bahwa jurnalisme investigasi merupakan bagian terpenting dari proses jurnalistik, yang tengah membongkar fakta, melakukan proses penelusuran dan menemukan fakta-fakta baru untuk disajikan ke publik. Hal itu merupakan produk jurnalistik yang dilindungi UU dan hanya tunduk terhadap UU Pers dan juga kode etik.

“Pembatasan/pelarangan jurnalisme investigasi sama dengan merenggut kebebasan pers yang jelas dijamin UU Nomor 40 tahun 1999,” ucap Yadi kepada reporter Tirto, Senin (13/5/2024).

Pers memiliki fungsi sesuai UU sebagai media informasi, pendidikan dan kontrol sosial. Sesuai UU Pers, kata dia, media pers berkewajiban memberitakan peristiwa, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terkait dengan kepentingan umum. Yang paling utama perannya adalah memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dia juga tidak setuju jika RUU Penyiaran, mengatur sengketa pers di KPI. Dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 pasal 42 disebutkan bahwa wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Jika UU Penyiaran ini diberikan kewenangan [KPI] untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik, maka akan bertabrakan dengan kewenangan Dewan Pers di Pasal 15 UU Pers. Karena Pers ini rezim etik, berbeda dengan KPI yang tidak menganut rezim etik,” jelas Yadi.

Reporter Tirto sudah menghubungi KPI untuk memberikan pendapat terhadap polemik RUU Penyiaran. Komisioner KPI Pusat, Aliyah, sudah menerima pertanyaan Tirto dan berkata akan memberikan informasi selanjutnya. Namun setelah dihubungi kembali, Aliyah belum memberikan jawaban hingga berita ini ditulis.

Sementara itu, Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, memandang masukan dan kritik pada RUU Penyiaran akan menyempurnakan aturan. Dave mengakui rancangan itu sudah digodok sejak 2012 tetapi hingga saat ini tak kunjung selesai.

“Apa yang dikhawatirkan rekan-rekan ini akan menjadi masukan, sehingga kita bisa menyempurnakan UU ini dan bisa melayani dan melindungi masyarakat secara umum,” kata Dave saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).

Dave mengatakan tidak ada niat sedikit pun baik dari pemerintah hari ini ataupun pemerintahan Prabowo Subianto ke depan nanti untuk memberangus hak-hak dan kebebasan menyampaikan pendapat apalagi informasi kepada masyarakat. Dia menjelaskan, informasi perlu diberikan secara tepat sehingga pemerintah dapat berjalan dengan transparan dan akuntabel.

Dave meminta kepada media untuk mengawal kebijakan pemerintah agar tepat sasaran dan tak multitafsir dalam pemberitaannya. “Jangan sampai ada penyelewengan sedikitpun apa yang jadi hak pilih bangsa dan rakyat secara keseluruhan,” tutup Dave.

Baca juga artikel terkait RUU PENYIARAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur & Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz