Menuju konten utama

Pers Indonesia Masih Belum Bebas di Hari Kebebasan Pers Sedunia

Pers Indonesia masih belum bebas sepenuhnya, mulai dari risiko pekerjaan hingga minimnya kesejahteraan.

Pers Indonesia Masih Belum Bebas di Hari Kebebasan Pers Sedunia
Wartawan yang tergabung dalam Forum Jurnalis se-Surabaya membentangkan poster ketika aksi solidaritas jurnalis di Surabaya, Jawa Timur, Senin (29/3/2021). ANTARA FOTO/Zabur Karuru/aww.

tirto.id - Seluruh dunia merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei 2024. Penentuan tanggal tersebut tidak lepas rekomendasi UNESCO dalam sidang ke-26 Konferensi Umum UNESCO pada 1991 bahwa setiap 3 Mei diperingati sebagai hari perayaan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sasmito Madrim, mengakui tantangan berat masih terus dihadapi pers Indonesia di momentum Hari Kebebasan Pers Sedunia. Ia mengatakan, kondisi indeks kebebasan pers Indonesia masih belum bebas sepenuhnya.

AJI juga mengacu pada angka indeks kemerdekaan pers yang dirilis Dewan Pers. Ada empat indikator.

Pertama, dari indikator politik, AJI masih melihat rezim yang berkuasa belum memberikan kebebasan pers sepenuhnya. Ia mengacu pada pelarangan jurnalis asing meliput di Papua maupun pelabelan jurnalis lokal sebagai perpanjangan tangan kelompok separatis di Papua.

"Terus kemudian dari segi regulasi masih ada pasal-pasal bermasalah di sejumlah undang-undang. Misalkan di KUHP, di UU ITE. Itu kan masih kita temukan ya pasal-pasal karet yang bisa menjerat jurnalis," kata Sasmito kepada Tirto, Kamis (3/5/2024).

Kemudian, kebijakan ekonomi pemerintah tidak mendukung program jurnalisme berkualitas. Ia mencontohkan pemerintah tidak memberikan kebijakan pro-pemerintah seperti memberikan insentif bebas pajak kepada perusahaan media di Indonesia.

Selain itu, ada sejumlah masalah ekonomi yang juga menjadi atensi. AJI mencatat masalah kesejahteraan buruh media menjadi sorotan. Dalam catatan mereka yang dikeluarkan dalam May Day, buruh media masih dieksploitasi oleh perusahaan media.

Hampir 50 persen upah jurnalis di bawah upah minimum selama Februari-April 2023. Mereka juga mencatat belasan persen jurnalis memiliki upah tidak menentu dan mendapat upah hanya dari komisi iklan.

Dalam riset terpisah AJI pada 428 jurnalis, mereka menemukan akal-akalan pebisnis dalam perjanjian kerja. Sebanyak 52,6 persen jurnalis berstatus hubungan kerja waktu tertentu alias kontrak dan 11,2 persen pegawai berstatus tetap.

Namun, mayoritas pegawai berstatus tetap itu dibayar berbasis satuan hasil atau per berita tayang.

Mereka juga mencatat baru 11,2 persen jurnalis perempuan yang mendapat hak cuti dengan upah dibayar ketika mens hari pertama dan kedua. Selain itu, masih ada perempuan yang melahirkan tidak mendapatkan upah.

Mereka juga mencatat bahwa gelombang PHK dialami para buruh sejak pandemi COVID-19. Kehadiran UU Cipta Kerja menjadi masalah yang membuat jurnalis makin rentan. Di sisi lain, pembolehan berserikat dalam pekerjaan dunia jurnalis juga menjadi persoalan.

Selain itu, mereka juga menyoroti soal keamanan jurnalis. AJI mencatat kekerasan yang terjadi pada 2023 terdapat hampir 90 kasus. Angka itu merupakan angka terbesar dalam satu dasawarsa terakhir.

"Artinya empat indikator itu masih bermasalah sehingga kebebasan pers kita masih dalam kondisi yang sulit ya meskipun kita sudah memiliki UU Pers," kata Sasmito.

Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Sasmito mengaku ada sejumlah kemajuan yang positif. Ia mencontohkan penghapusan pasal UU ITE yang kerap digunakan untuk menjerat jurnalis.

Kemudian ada upaya MoU antara Kemendikbud dengan Dewan Pers dalam mencegah pembredelan pers kampus. Kemudian juga ada publisher right. Namun, dalam kacamata Sasmito, tidak ada perubahan banyak.

"Kita tidak melihat upaya yang dilakukan pemerintah gitu ya, jadi beberapa kemajuan itu sebenarnya upaya yang dilakukan oleh komunitas pers sendiri sementara dari sisi negara gitu bagaimana itikad baik mereka untuk melindungi itu kita tidak melihatnya," kata Sasmito.

Sasmito mengaku kebebasan pers Indonesia tidak seperti negara Eropa. Namun, Sasmito tidak ingin melihat ke negara lain karena indikator penilaian pers berbeda-beda tiap negara.

Ia berharap pemerintah bisa menaruh atensi untuk keamanan, kesejahteraan dan mitigasi. Ia mendorong agar dibentuk rencana aksi pengembangan keselamatan jurnalisme ke depan.

WARTAWAN PERINGATI HARI BURUH INTERNASIONAL

Sejumlah wartawan yang tergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengikuti aksi unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2019). ANTARA FOTO/Boyke Ledy Watra/wsj/pd.

Sementara itu, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menilai setidaknya ada tiga masalah besar yang dialami pers saat ini. Pertama, pelanggaran terhadap kebebasan pers tiap tahun yang tinggi dan minim penyelesaian hukum.

Ia mengutip data LBH Pers pada 2023 mencatat ada 87 kasus terhadap kebebasan pers, termasuk kekerasan fisik, non-fisik dan digital.

Selain itu, LBH Pers juga mencatat ada regulasi yang menghambat kerja pers seperti defarmasi UU ITE, hingga multitafsir pasal Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.

Ia juga menyoroti kasus PHK di dunia media yang gagal menyesuaikan dengan perkembangan teknologi digital.

"Banyaknya kasus PHK kepada pekerja media karena perusahaan media gagal menghadapi disrupsi teknologi digital," kata Ade, Kamis (3/5/2024).

Menurut Ade, pemerintah memang tidak memberikan perlindungan kuat dalam keselamatan jurnalis. Akan tetapi, ia mengakui ada peran positif lewat Publisher Right demi memberikan dukungan terhadap keberlangsungan media.

"Dalam hal keselamatan jurnalis cukup stagnan, tapi dalam hal dukungan keberlangsungan media ada cukup kemajuan dengan keluarnya Perpres Publisher Rights yang diharapkan bisa berkontribusi untuk keberlangsungan jurnalisme berkualitas," kata Ade.

Dewan Pers Klaim Sudah Melindungi

Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana menjelaskan sejumlah upaya Dewan Pers dalam menangani keluhan insan pers di Hari Pers Internasional. Di bidang kekerasan dan keselamatan jurnalis, Yadi mengatakan Dewan Pers sudah membangun Satgas Anti Kekerasan terhadap Pers.

"Tim ini melakukan advokasi terhadap kasus kasus hukum yg diterima Jurnalis dan berkaitan dengan tugas jurnalistik. Tim ini juga berkomunikasi langsung dengan jurnalis, perusahaan pers dan juga kepolisian dalam menangani kasus kekerasan," kata Yadi, Kamis (3/5/2024).

Yadi menambahkan, Dewan Pers sudah mengesahkan Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perusahaan Pers. Pedoman tersebut diyakini Yadi bisa menjadi langkah penting melindungi jurnalis dari kekerasan seksual dalam lingkungan kerja.

Dewan Pers juga sudah melakukan MoU dengan Polri, salah satu poinnya yaitu penanganan terhadap kekerasan terhadap jurnalis.

"Komitmen ini berjalan dengan Baik karena ada evaluasi dan sosialisasi bersama. Semua konstituen Dewan Pers terlibat juga dalam semua proses ini," kata Yadi.

Selain itu, Yadi memastikan Dewan Pers mendorong perusahaan pers terus profesional menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas dan juga makin profesional menyejahterakan jurnalisnya.

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Rumadi Ahmad menekankan bahwa pers merupakan salah satu pilar demokrasi. Ia menerangkan, salah satu indikasi terkait hal ini adalah kebebasan pers.

"Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pers. UU Pers memberi jaminan itu. Karena itu, tugas pemerintah salah satunya ya memastikan insan pers bisa bekerja dalam koridor tersebut. Dalam konteks ini jaminan regulasi sudah cukup kuat," kata Rumadi, Kamis (3/5/2024).

Akan tetapi, Rumadi mengingatkan bahwa tidak ada kebebasan mutlak. Ia menilai publik perlu sadar bahwa kebebasan tidak ada yang tanpa batas. Namun pemerintah membuka ruang mekanisme jika memang ada gangguan terhadap pers.

"Di negara manapun tidak ada kebebasan tanpa batas. Kalau ada penyimpangan dari prinsip-prinsip tersebut, misalnya ada insan pers yang merasa didiskriminasi atau mengalami ancaman dan sebagainya kan ada mekanisme yang bisa ditempuh," kata Rumadi.

Rumadi menekankan peran pemerintah hanya melaksanakan amanat undang-undang. Namun, mereka menjamin pelaksanaan akan sesuai aturan yang berlaku.

KECAM KEKERASAN TERHADAP JURNALIS

Jurnalis yang tergabung dalam Perhimpunan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu menggelar aksi solidaritas di Tugu Pers, Kota Bengkulu, Kamis (18/8). Dalam aksi ini jurnalis Bengkulu meminta kepada aparat keamanan untuk mengusut setiap kasus pengancaman dan kekerasan yang dialami jurnalis serta menghormati Kemerdekaan Pers yang dilindungi UU No 40 tahun 1999. ANTARA FOTO/ David Muharmansyah/foc/16.

Baca juga artikel terkait HARI KEBEBASAN PERS SEDUNIA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto

Artikel Terkait