tirto.id - Puluhan jurnalis yang ada di Kota Bandung menggelar aksi demonstrasi menolak RUU Penyiaran yang tengah disusun oleh DPR RI. Mereka menilai RUU Penyiaran mengancam kebebasan pers dan berekspresi.
Massa aksi tergabung dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jabar, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bandung, Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), Wartawan Foto Bandung (WFB), serta Pers Mahasiswa. Mereka menggelar orasi di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Selasa (28/5/2024).
"Tugas sebagai jurnalis akan tergantikan, kita akan menjadi humas karena harus memberitakan yang baik-baik saja," seru Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi Solidaritas Jurnalis Bandung, Deni.
Tak hanya pekerja media dan jurnalis, sejumlah seniman ikut mewarnai aksi penolakan RUU Penyiaran ini seperti teatrikal seniman pantomim, Wanggi Hoed.
Polemik di masyarakat terjadi ketika UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran hendak direvisi, namun isinya bertolak belakang dengan semangat demokrasi.
Draf naskah RUU Penyiaran sendiri saat ini sedang berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI per 24 Maret 2024.
Deni mengatakan banyak pasal multitafsir dalam RUU Penyiaran ini di antaranya Pasal 50 B ayat (2) huruf c mengenai pelarangan jurnalisme investigasi.
“Ini jelas merugikan masyarakat, dalam pemberantasan korupsi, produk jurnalistik sering menjadi kanal alternatif untuk membongkar praktik kejahatan atau penyimpangan tindakan pejabat publik," ujar Deni.
"Rancangan tersebut tentu bermasalah dan patut ditolak karena bukan hanya mengancam kebebasan pers, tapi juga kabar buruk bagi masa depan gerakan antikorupsi di Indonesia," imbuh Deni.
Deni juga menyoroti mengenai Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan bagi penyelenggaraan penyiaran serta kewenangan KPI yang secara tersurat mengatakan larangan liputan ekslusif investigasi jurnalistik.
Sementara itu, Koordinator Divisi Advokasi AJI Bandung, Fauzan, menuturkan melalui RUU Penyiaran ini KPI mengambil kerja Dewan Pers dan berusaha membatasi kerja-kerja investigasi.
"Mereka melarang liputan investigasi secara eksklusif dan sebagainya, semua orang yang belajar jurnalisme, tentunya ingin melakukan liputan-liputan secara eksklusif, dan kenapa liputan investigasi atau liputan-liputan jurnalisme yang berkuasa itu penting," ujar Fauzan.
Fauzan juga mengatakan laporan mendalam dan investigasi justru yang mempengaruhi kebijakan publik.
"Ini penting sebagai kontrol terhadap kekuasaan, saya pikir begitu," tutur Fauzan.
Tak hanya itu, Fauzan mengatakan RUU Penyiaran ini berdampak juga pada konten kreator di Indonesia, sebab KPI bekerja seperti lembaga sensor.
Termasuk konten-konten kritis terhadap pemerintah melalui pasal-pasal multitafsir yang membahayakan demokrasi di Indonesia.
"Belum lagi konten-konten kritis terhadap pemerintah yang dianggap merugikan pemerintah, maka tentunya akan juga disensor oleh KPI, dan pasal-pasal sensor ini tentunya berbahaya bagi demokrasi di Indonesia tentunya," tuturnya.
Penulis: Akmal Firmansyah
Editor: Bayu Septianto