Menuju konten utama

KIP Kuliah Jalur Aspirasi Dewan Rentan Jadi Alat Pendulang Suara

Kerentanan ini berupa barter atau kompensasi dari upaya mengumpulkan suara pemilih. Maka itu, sejumlah pengamat pendidikan mendesak menghapus jalur ini.

KIP Kuliah Jalur Aspirasi Dewan Rentan Jadi Alat Pendulang Suara
Para mahasiswa baru Untidar Magelang mengikuti sosialisasi penerima KIP Kuliah Tahun 2022, ANTARA/HO - Humas Untidar Magelang

tirto.id - Perdebatan soal program bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang tidak tepat sasaran masih bergulir kencang.

Bantuan masyarakat miskin atau rentan miskin supaya bisa mengenyam pendidikan tinggi ini, didesak tepat guna sesuai sasaran. Jika perlu, dilakukan evaluasi sistematika pemberian atau penyaluran KIP Kuliah agar tidak salah target.

Salah satu kritik yang muncul terlontar dari Staf Khusus Presiden Bidang Pendidikan dan Inovasi, Billy Gracia Josaphat Jobel Mambrasar. Dia menyoal jalur penyaluran KIP Kuliah lewat aspirasi anggota Dewan (DPR/DPD).

Menurut Billy, dalam konteks Program KIP, lembaga legislatif seperti DPR seharusnya tidak terlibat melakukan eksekusi program yang sejatinya dilaksanakan oleh lembaga eksekutif.

“Dalam hal ini, Kemendikbudristek [seharusnya yang berwenang]. Ini namanya offside administrasi negara,” kata Billy kepada reporter Tirto, Senin (13/5/2024).

Billy memandang, subjektivitas anggota DPR memilih calon penerima KIP Kuliah membuat prinsip transparansi sebuah program pemerintah menjadi kabur. Terlebih, dia khawatir kewenangan ini menjadikan KIP Kuliah sebagai alat untuk melanggengkan pemilih atau konstituen demi kepentingan elektoral.

“Proses seleksi harus terbuka dan transparan, tidak boleh ada proses penjatahan jalur aspirasi atau jalur lain yang tertutup dari masyarakat,” ujarnya.

Billy berujar, secara konstitusional, mulai Pasal 1 hingga pasal 16 dari Permendikbud Nomor 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar, tidak ada satu pasal dan butir ayat pun menyebut DPR merupakan entitas yang terlibat dalam eksekusi program KIP.

Jika dilihat dalam aturan tersebut di Pasal 7, memang hanya disebut bahwa pemangku kepentingan bisa merekomendasikan data calon penerima KIP ke satuan pendidikan. Namun tidak disebut secara eksplisit bahwa DPR atau anggota dewan sebagai pemangku kepentingan.

“Ingat, bahwa DPR sendiri sudah diberikan jatah dan amanat anggaran aspirasi, yang saat reses biasa mereka pergunakan untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat konstituen mereka,” pesan Billy.

Dugaan salah sasaran penyaluran bantuan KIP Kuliah bermula dari terkuaknya gaya hidup serba berkecukupan mahasiswi Universitas Diponegoro yang merupakan penerima KIP Kuliah.

Menyusul kasus tersebut, pengakuan serupa marak di media sosial dari berbagai kampus. Hal ini menjadi problem miris di tengah guyuran keluh mahasiswa berbagai kampus yang protes biaya UKT semakin mahal.

KIP Kuliah merupakan salah satu Program Prioritas Nasional besutan Presiden Joko Widodo yang menggantikan program bantuan Bidikmisi era Susilo Bambang Yudhoyono.

KIP Kuliah bertujuan untuk meningkatkan perluasan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggi secara lebih merata dan berkualitas bagi masyarakat yang kurang atau tidak mampu secara ekonomi.

Prioritas lainnya diperuntukan bagi mahasiswa yang berasal dari daerah 3T, orang asli Papua sesuai UU otonomi khusus, juga TKI yang berlokasi di perbatasan NKRI. Pada 2023, total perguruan tinggi yang menerima mahasiswa KIP Kuliah sebanyak 2.064 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menilai KIP Kuliah jalur aspirasi anggota DPR memiliki kekurangan dan kelebihan.

Sisi positifnya, KIP Kuliah jalur aspirasi ini dapat membuat konstituen anggota DPR yang memenuhi syarat bisa lebih mudah terdata dan bisa diajukan bantuan.

Namun, yang menjadi soal, KIP Kuliah malah menjadi alat kepentingan politik untuk mengakomodasi suara konstituen di daerah pemilihan (Dapil) anggota Dewan. Praktik culas ini dapat berupa barter atau kompensasi dari upaya mengumpulkan suara pemilih.

”Barter konstituen itu artinya ada janji-janji politik kepada orang yang sebenarnya tidak tepat untuk diberikan KIP,” kata Satria kepada reporter Tirto, Senin (13/5/2024).

Selain itu, kata dia, diduga ada praktik potongan bantuan kepada penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran tersebut. Satria menilai seharusnya cukup Kemendikbudristek dan Kementerian Sosial yang mengurusi data calon penerima KIP Kuliah. Sehingga memastikan bahwa jalur aspirasi atau representasi betul-betul terlaksana, bukan berdasarkan titipan atau paketan yang dimiliki anggota dewan.

“Sehingga KIP itu tepat sasaran ya, bukan akhirnya menjadikan orang yang tidak tepat mendapat KIP. Misalkan terjadi di beberapa kampus, katakanlah di Undip dan sebagainya justru digunakan untuk flexing,” ujar Satria.

Foto Keluarga KIP Kuliah

Wahyu Raihan bersama kedua orang tuanya di Jakarta, beberapa waktu lalu. ANTARA/Dokumentasi Pribadi

Hapus Saja Jalur Aspirasi

Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, memandang jika dana KIP Kuliah jalur aspirasi anggota DPR berasal dari dana Kemdikbudristek atau negara, maka sangat berisiko.

Pasalnya, membuka peluang bagi anggota Dewan menyeleksi mahasiswa dengan kesepakatan agar mahasiswa tersebut aktif di partai asal anggota dewan tersebut.

“Kalau dana KIP aspirasi anggota dewan dananya dari Kemendikbudristek menurut saya dihapus saja, karena berpotensi mengekang mahasiswa untuk terlibat dalam politik praktis. Padahal sangat mungkin banyak mahasiswa preferensi politiknya berbeda,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin (13/5/2024).

Di sisi lain, pengaturan KIP Kuliah jalur aspirasi juga tidak jelas. Ketidakjelasan ini yang dikhawatirkan mencoreng prinsip keadilan dalam penyaluran bantuan KIP Kuliah.

“Misal dalam satu kampus anggota dewan siapa saja yang boleh masuk, kuotanya berapa, dll [tidak jelas]. Sangat berisiko terkait fairness,” sebut Edi.

Dia menambahkan, sulit rasanya membuat KIP Kuliah jalur aspirasi sepi dari kepentingan politik anggota dewan yang bersangkutan. Padahal, dana KIP dari Kemdikbudristek harusnya netral dari kepentingan politik praktis anggota dewan.

“Kalau dari kantong pribadi anggota dewan ya tidak apa-apa. Biasanya kalau sudah politisi atau politik praktis ya tidak ada makan siang gratis, alias pemberian beasiswa tersebut pasti ada maunya, ada transaksi politik,” jelas Edi.

Desakan menghapus KIP Kuliah jalur aspirasi juga datang dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Menurutnya, KIP jalur aspirasi anggota Dewan banyak dipolitisasi untuk mendulang suara. Terbukti, kata dia, dari banyak data yang error dan tidak tepat sasaran.

“Mending dihapus saja itu. Karena akan banyak ditemukan yang semestinya nggak dapat malah dapat, yang mestinya dapat malah nggak dapat,” kata Ubaid kepada reporter Tirto, Senin.

Ubaid memandang, KIP Kuliah jalur aspirasi dipolitisasi dan diakumulasi menjadi vote getter. Program bantuan ini akhirnya malah dibagi-bagikan ke koordinator timses anggota Dewan yang membantu pemenangan pemilu.

“Tidak memandang ini tepat sasaran atau nggak. Jadi dimanfaatkan DPR untuk mendulang suara. Sebaiknya dihapus saja, karena tidak transparan dan akuntabel,” ucap Ubaid.

Sementara itu, pengamat pendidikan Indra Charismiadji, menilai perlu ada pembenahan penyaluran dan pelaksanaan bantuan KIP Kuliah. Agar tidak dipolitisasi, sebaiknya menurut dia program KIP Kuliah juga difokuskan agar penerima dapat mengabdi bagi pembangunan negara.

“Jadi saya lebih mendesain KIP Kuliah itu jangan cuma dari sisi prestasi dan kemampuan ekonomi, juga bidang yang harus diambil adalah yang tidak diminati tetapi oleh Indonesia akan dikembangkan. Jadi nanti anak yang dibiayai negara ini sudah siap jadi tenaga kerja di bidang yang dibutuhkan Indonesia,” kata Indra kepada reporter Tirto, Senin.

Menurutnya, model seperti itu otomatis akan menghapus jalur aspirasi KIP Kuliah dari anggota DPR. Hal ini untuk membenahi tata kelola supaya tidak lagi kasus KIP salah sasaran atau jadi alat kepentingan anggota dewan.

“Janganlah kita memanfaatkan uang negara untuk kepentingan pribadi. Harusnya uang negara dipakai untuk pembangunan negara. Kalau memang ternyata KIP Kuliah aspirasi ini diduga memberikan celah kepentingan elektoral bagi anggota dewan, ya lebih baik stop,” ujar Indra.

Mahasiswa KIP Kuliah

Mahasiswa penerima beasiswa Program KIP Kuliah mengikuti pelatihan english camp bagi, di Kampus II IAIN Palu, di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulteng, Minggu (6/12/2020). ANTARA/Muhammad Hajiji/aa.

Respons DPR

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Andreas Hugo Pareira, menepis tudingan bahwa KIP jalur aspirasi anggota DPR dijadikan alat kepentingan elektoral. Dia juga membantah bahwa DPR mengalokasikan KIP Kuliah tidak tepat sasaran.

“Ada Inspektorat Jenderal di Kemendikbudristek fungsinya mengecek dan mengevaluasi program dari Kemendikbudristek yang diputuskan bersama oleh Komisi X DPR. Kalau Komisi X DPR mendistribusikan KIP Kuliah Aspirasi, ya pantas dan seharusnya, karena salah satu sumpah anggota DPR ketika dilantik adalah memperjuangkan aspirasi dari masyarakat di Dapilnya,” ujar Andreas kepada reporter Tirto, Senin.

Andreas menjelaskan, KIP Kuliah reguler didistribusikan oleh Kemendikbudristek kepada mahasiswa melalui perguruan tinggi. Sementara KIP Kuliah Aspirasi, didistribusikan melalui instansi lembaga negara, yang di DPR dilakukan oleh anggota Komisi X yang membidangi pendidikan.

Pelaksanaan juga akan sesuai dengan aspirasi dari masyarakat. Andreas menyatakan, sebagai anggota Komisi X yang membidangi pendidikan, mereka mendengar, melihat, dan menyerap aspirasi dari masyarakat soal pendidikan.

“Soal praktik didistribusikan kepada keluarga bisa saja terjadi juga di kampus atau di instansi manapun, namun selama distribusi itu diperuntukan bagi mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu, saya kira ini masih tepat pada tujuan dan sasaran,” ujar Andreas.

Dia mencontohkan, KIP Kuliah aspirasi diumumkan Andreas secara terbuka melalui media sosia. Kemudian calon penerima mendaftar sesuai dengan persyaratan yang diberikan oleh Kemendikbudristek.

Andreas juga mengklaim memperhatikan aspek kewilayahan di daerah, sehingga tidak terjadi penerima beasiswa cuma dari wilayah tertentu, atau suku tertentu sehingga dapat terdistribusi secara merata.

“Dari yang mendaftar kami seleksi, sesuai kriteria kemampuan ekonomi orang tua, prestasi akademis dari nilai rapor, dan motivasi calon penerima untuk menyelesaikan kuliah,” jelas Andreas.

Baca juga artikel terkait KIP KULIAH atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Edusains
Reporter: Mochammad Fajar Nur & Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi