Menuju konten utama

Sayap-Sayap Patah Kebebasan Pers Menguar dari Gedung Parlemen

Jika pers dianggap separuh benar separuh salah, maka mediasi lewat Dewan Pers. Tunjukkan fakta yang dianggap keliru. Kalau cuma nuduh, namanya omong kosong.

Sayap-Sayap Patah Kebebasan Pers Menguar dari Gedung Parlemen
Puluhan jurnalis menggelar aksi hari kebebasan pers sedunia di jalan MT Haryono, Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (3/5). Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari berharap peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day) yang jatuh pada 3 Mei merupakan momentum kebebasan pers lebih baik. ANTARA FOTO/Jojon/pd/17.

tirto.id - Polemik rencana revisi Undang-Undang Penyiaran semakin keras. Kalangan pers maupun aktivis pers menolak revisi tersebut. Salah satu poin yang menjadi persoalan adalah pelarangan jurnalisme investigasi sebagaimana termaktub dalam pasal 50B ayat 2 butir c RUU Penyiaran.

DPR pun ramai-ramai mengklarifikasi. Salah satu pernyataan yang menjadi sorotan adalah penjelasan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad. Ia mengklaim produk jurnalisme ada yang memuat kebenaran, tetapi ada juga yang memuat setengah kebenaran.

Maka itu, kata dia, kehadiran regulasi tersebut adalah upaya untuk mengatur imbas dari pemberitaan investigatif lewat penyiaran.

"Seharusnya nggak dilarang, tapi impact-nya gimana caranya kita pikirin. Kadang-kadang nggak semua, kan, ada juga yang sebenarnya hasil investigasinya benar, tapi ada juga yang kemarin kita lihat investigasinya separuh benar. Jadi, kita akan bikin aturannya, supaya sama-sama jalan dengan baik," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Sementara anggota Komisi I DPR, Bobby Adityo Rizaldi, menegaskan bahwa niat untuk merevisi UU Penyiaran adalah menyinkronkan antara pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran dengan regulasi penyiaran saat ini.

Ia menilai, Undang-Undang Penyiaran saat ini belum memasukkan lembaga penyiaran sebagai badan pers meski ada konten jurnalistik. Mereka justru ingin mengatur konten tersebut dan tidak ada niat untuk menghalangi konten jurnalistik.

"Masuknya pasal itu karena ada kejadian tayangan-tayangan mistik dan kriminal di lembaga penyiaran yang di sangsi KPI setelah berdiskusi dengan Dewan Pers. Jadi tidak ada substansi menghalangi kebebasan pers, ini perlu sinkronisasi karena format digital ini perlu pengaturan, baik penyiaran di frek siar atau frek telekomunikasi," kata Bobby kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).

Menurut Bobby, Komisi I tidak akan mengesampingkan kritik publik dalam rencana revisi Undang-Undang Penyiaran. Ia menyebut mereka akan mengundang pihak terkait untuk membahas revisi Undang-Undang Penyiaran.

"Tentu dalam proses pembentukan UU ini akan mengundang stakeholder dan memperhatikan aspirasi publik, segera setelah selesai dari Baleg, Komisi 1 yang akan mengundang elemen publik," kata Bobby.

Senada dengan Bobby, anggota Komisi I Dave Laksono juga menegaskan bahwa mereka ingin merevisi UU Penyiaran karena undang-undang ini tidak kunjung rampung sejak niat revisi pada 2012 lalu.

Menurutnya, tidak ada niat pemerintah, baik Jokowi, DPR, maupun pemerintahan mendatang di era Prabowo Subianto yang ingin memberangus kebebasan pers.

"Informasi itu harus diberikan dengan tepat agar pemerintahan berlangsung transparan dan akuntabel. Justru media harus terus mengawal setiap kebijakan pemerintah agar tepat sasaran dan jangan sampai ada penyelewenangan sedikit pun," tegas Dave dalam keterangannya kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).

Dave memastikan segala keluhan dan aspirasi publik akan menjadi pertimbangan. Mereka, kata Dave, akan mendengar keluhan tersebut agar revisi UU Penyiaran berjalan baik.

“Apa yang dikhawatirkan rekan-rekan ini akan menjadi masukan, sehingga kita bisa menyempurnakan UU ini dan bisa melayani serta melindungi masyarakat secara umum,” ujarnya.

Rapat Pimpinan Nasional Partai Gerindra

Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad (tengah) menjawab pertanyaan wartawan saat tiba untuk mengikuti Rapimnas Partai Gerindra di The Darmawangsa, Jakarta, Senin (23/10/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

Membelenggu Kebebasan Pers

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menilai pernyataan Dasco malah membuktikan kekhawatiran publik terhadap niat revisi UU Penyiaran. Ia menilai, Dasco justru tidak mengenal mekanisme pers dengan menggunakan dalih tersebut.

"Pernyataan Dasco sebenarnya mengonfirmasi kekhawatiran kami terkait pasal ini sengaja dimasukan untuk membungkam pers. Sebagai seorang legislator, harusnya paham bagaimana mekanisme keberatan terhadap sebuah pemberitaan. UU Pers jelas menyebutkan terdapat mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi," kata Ade kepada Tirto, Rabu.

Ade khawatir, pelarangan akan berimbas pada pelanggar undang-undang yang semakin leluasa untuk melakukan pelanggaran aturan.

Di sisi lain, Ade juga berpendapat Dasco tidak memahami esensi kemerdekaan pers. Ia menerangkan, kemerdekaan pers harus dilihat sebagai hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.

"Jadi dalam hal pembatasan, tidak boleh melanggar hak asasi lainnya," kata Ade.

Ia berharap, niat DPR yang ingin mendengarkan keluhan dan kritik publik benar-benar serius, bukan hanya basa-basi. Ia mengingatkan bahwa revisi harus memenuhi manfaat untuk publik.

"Harapannya jangan sekadar mendengar tapi dianggap angin lalu. Kritik publik harus dikaji lebih serius agar revisi ini bermanfaat bagi semua masyarakat, tidak hanya bermanfaat bagi orang-orang yang memiliki kepentingan," ungkapnya.

Dosen Komunikasi Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai gagasan Dasco soal penghalangan penayangan jurnalisme investigasi adalah logika tidak masuk akal.

Menurut Kunto, gagasan Dasco lebih terkesan pada upaya menghalangi kebebasan pers.

"Menurut saya argumennya memang nggak pas dan cuma nyari-nyari alibi untuk bisa memasung pers," ungkapnya kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).

Kunto mengatakan, pelarangan tersebut juga terkesan standar ganda. Ia mencontohkan, tayangan seperti siniar yang memuat berita harian yang kemudian diikuti konten investigasi, apakah menjadi sasaran pelarangan konten penyiaran tersebut.

Kunto mengingatkan bahwa jurnalisme investigatif tidak selamanya memiliki model seperti penyelidikan kepolisian. Penayangan yang dianggap tidak tepat bisa diselesaikan dengan pendekatan pers, yakni lewat hak jawab dan mengikuti aturan Dewan Pers.

Selain itu, Kunto mengingatkan bahwa dampak pemberitaan investigatif justru positif bagi publik karena publik menjadi tercerahkan.

"Kalau ke publik, impact-nya kan justru bagus. Ini kontrol. Kalau dianggap separuh benar separuh salah, ya menurut saya kembalikan ke Undang-Undang Pers, mediasi lewat Dewan Pers. Selesai. Tunjukkan fakta yang dianggap keliru. Tapi kalau cuma nuduh kelira-keliru, salah separuh gitu dan gak ada buktinya ya omong kosong kalau menurut saya," kata Kunto.

Ia justru khawatir pernyataan Dasco menunjukkan sinyal kebebasan pers Indonesia akan mengalami kemunduran.

"Ini memang menandakan bahwa kita harus siap-siap, kebebasan pers akan patah sayap-sayapnya, dalam arti kebebasan pers akan terbelenggu lagi," kata Kunto.

Baca juga artikel terkait RUU PENYIARAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Irfan Teguh Pribadi