Menuju konten utama

Apa Saja Untung Rugi jika Indonesia Masuk Jadi Anggota OECD?

Bhima menilai banyak hal yang perlu disiapkan Indonesia sebelum menjadi anggota OECD.

Apa Saja Untung Rugi jika Indonesia Masuk Jadi Anggota OECD?
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) berbincang dengan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kiri) saat meninjau Bendungan Ameroro usai diresmikan di Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

tirto.id - Peluang Indonesia bergabung menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization forEconomic Cooperation and Development (OECD) semakin terbuka. Hal ini setelah 38 negara anggota menyetujui Indonesia untuk masuk menjadi keanggotaan organisasi itu.

Indonesia sebelumnya bahkan sudah menerima Peta Jalan Aksesi Keanggotaan OECD pada pembukaan Pertemuan Tingkat Menteri OECD di Paris pada Kamis (2/5/2024). Prosesi ini menandakan tahapan lebih lanjut bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi dibentuk pada 1961 tersebut.

Masuknya Indonesia ke dalam keanggotaan organisasi bermarkas di Paris itu, sejalan dengan upaya pemerintah untuk lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap. Indonesia berpeluang besar untuk melangkah sebagai negara maju di masa mendatang.

"Saya kira OECD akan memberikan manfaat yang konkret bagi kita. Kita bisa melompat menjadi negara maju," kata Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) usai meninjau di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024).

Bergabungnya Indonesia ke OECD juga diharapkan mampu mendorong transisi menjadi negara maju. Lebih dari itu, status keanggotaan Indonesia di OECD, kata Jokowi, juga akan mempermudah memperoleh investasi.

"Ini akan mudah mengakses ke investasi, mudah mengakses ke lembaga-lembaga internasional yang bermanfaat bagi negara kita," ujar Jokowi.

Presiden kunjungi BLUD Rumah Sakit konawe

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) memberikan keterangan meninjau BLUD Rumah Sakit Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

Jika ditarik ke belakang, hubungan Indonesia dan OECD telah berlangsung sejak 2007, ketika Indonesia bergabung menjadi mitra kunci organisasi tersebut. OECD sendiri telah menjadi mitra strategis Indonesia dalam penyempurnaan kebijakan dan standar, baik bagi masyarakat, tata kelola pemerintahan, hingga dunia usaha.

Dalam upaya mempercepat keanggotan Indonesia, Jokowi sudah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2024 terkait Tim Nasional Persiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Dalam Keppres yang ditandatangani Jokowi pada 22 April 2024 tersebut, tertulis bahwa Tim Nasional OECD terdiri dari tiga tim, yakni pengarah, pelaksana, dan sekretariat.

Susunan Tim Pengarah OECD diketuai oleh Presiden Joko Widodo dan anggotanya terdiri dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, dan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto.

Tim Nasional OECD diamanati untuk menyelenggarakan dan mengoordinasikan persiapan dan percepatan keanggotaan Indonesia dalam OECD yang sejalan dengan kepentingan nasional dengan tetap menjaga prinsip politik luar negeri bebas aktif.

Tim Nasional OECD juga akan mengoordinasikan, merundingkan, dan menggalang dukungan untuk persiapan dan percepatan keanggotaan Indonesia terhadap Konvensi OECD dan instrumen hukum internasional OECD terkait lainnya dalam rangka memenuhi syarat keanggotaan pada OECD.

Manfaat yangDiterima Indonesia

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengamini bergabungnya Indonesia ke anggota OECD akan memberikan banyak manfaat. Salah satunya membuka puluhan kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara keanggotaan.

"Termasuk peluang di dalamnya akses pasar ke Eropa yang selama ini sebenarnya sudah dilakukan. Namun secara proporsi relatif masih kecil untuk beberapa negara," ujar Yusuf kepada Tirto, Selasa (14/5/2024)

Selain dari sisi akses pasar perdagangan, bergabungnya Indonesia ke OECD juga membuka peluang investasi baik dari Indonesia ke negara-negara tersebut dan sebaliknya. Dalam konteks kebutuhan investasi, kata dia, tentu ini merupakan hal yang positif mengingat Indonesia relatif membutuhkan investasi yang tidak sedikit.

"Terutama untuk mengisi ada beberapa target pembangunan dalam jangka menengah hingga panjang," ujar dia.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menambahkan memang banyak keuntungan bisa diterima Indonesia jika menjadi anggota OECD. Paling jelas, kata dia, kerja sama ekonomi dengan negara-negara anggota OECD lainya akan lebih mudah dijalin.

"Dan itu akan sangat baik untuk meningkatkan performa ekspor nasional di kemudian hari," ujar Ronny kepada Tirto, Selasa (14/5/2024).

Selain itu, Indonesia juga bisa mengakses lebih banyak sumber 'know how' dari negara-negara anggota OECD yang telah masuk kategori negara maju seperti Jepang, AS, Perancis, Jerman dan lainnya. Apalagi sejak satu periode lalu, sebenarnya Indonesia juga sudah menjadi key partner dari OECD.

Pun secara geopolitik, kata Ronny, menjadi anggota OECD akan membuat Indonesia lebih netral dibanding memilih menjadi anggota BRICS+. "Jadi menjadi anggota OECD lebih mewakili spirit politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif," kata dia.

Kendati demikian, lanjut Yusuf Rendy Manilet, bergabungnya Indonesia dengan OECD bukanlah kunci utama dalam keuntungan yang sudah disebutkan tadi. Dalam konteks perdagangan misalnya, meskipun membuka peluang untuk mengakses pasar, umumnya negara-negara Eropa punya standar baik dari sisi tarif maupun non tarif perdagangan.

Maka, dalam hal ini Indonesia perlu menaikkan standar produk yang diekspor ke beberapa negara Eropa yang menjadi anggota OECD. Hal ini yang kemudian bisa menambah peluang lebih besar untuk Indonesia dalam mengakses pasar-pasal negara tersebut.

"Sama halnya dengan investasi, saya kira pemerintah perlu menginstruksikan kira-kira investasi mana saja yang bisa diisi oleh negara-negara anggota OECD," ujar Yusuf.

Singkatnya, kata Yusuf, keanggotaan Indonesia di OECD membuka berbagai peluang. Namun, hal itu menjadi tahapan awal dan harus mempunyai tindak lanjut pada tahapan berikutnya. Artinya, untuk mengakses pasar dan kerja sama investasi, beberapa pekerjaan rumah pun harus diselesaikan terlebih dahulu.

"Bergabungnya Indonesia dengan OECD tidak serta-merta langsung menjadi solusi tunggal dalam berbagai permasalahan. Termasuk permasalahan akses pasar Eropa kemudian juga akses investasi dari negara-negara Eropa serta beberapa permasalahan di dalam negeri," pungkas dia.

Konpers Airlangga Hartarto

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Kolese, Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/5/2024). tirto.id/M. Irfan Al Amin

Persiapan Sebelum Jadi Anggota OECD

Terlepas dari itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai banyak hal perlu disiapkan Indonesia sebelum menjadi anggota OECD. Sebab, bergabung dengan OECD banyak aturan yang harus disinkronisasi dengan standar organisasi tersebut.

"Banyak aturan peraturan daerah dan Undang-Undang yang harus di liberalisasi terutama soal perizinan, persaingan usaha dan perdagangan," ujar Bhima kepada Tirto, Selasa (14/5/2024).

Bhima khawatir, jika seluruh peraturan daerah dan Undang-Undang di dalam negeri tidak disinkronisasikan bisa menjadi blunder bagi Indonesia. Terlebih, Undang-Undang Cipta Kerja saat ini dianggap sebagai aturan liberal.

"Brasil saja contohnya harus harmonisasi lebih dari 200 aturan ketika berminat gabung dengan OECD. Prosesnya butuh waktu lama," kata dia.

Tapi, lanjut Bhima, sisi positifnya OECD juga mewajibkan negara anggota meningkatkan penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi dan penghindaran pajak lintas negara. Selain itu, Indonesia juga diminta memperketat perlindungan terkait lingkungan hidup dan mempercepat transisi energi.

Beberapa standar yang diadopsi dari OECD, kata Bhima, tentu saja bisa memperkuat posisi Indonesia di tingkat global dan lebih terbuka bagi peluang investasi berkualitas dari negara maju. OECD juga akan menjadi pra syarat yang baik bahwa menuju pada negara maju perlu persamaan standar dulu.

"Indonesia mungkin bisa belajar banyak dari OECD bagaimana mempersiapkan struktur ekonomi yang lebih baik misalnya penguatan kapasitas industri manufaktur dan teknologi," pungkas Bhima.

Secara teknis, lanjut Ronny P Sasmita, ada keharusan bagi Indonesia untuk menangani isu lingkungan. Artinya, harus ada adjustment yang harus dilakukan Indonesia agar sesuai dengan platform policy yang di-endorse oleh OECD.

Dia lantas mempertanyakan apakah kebijakan dan praktik ekonomi di Indonesia sudah memenuhi kualifikasi untuk menjadi anggota OECD atau justru lebih mirip anggota BRICS+? Apakah Indonesia sudah memiliki praktek kebijakan lingkungan yang sesuai dengan minimum persyaratanyang diharapkan OECD?

"Jika sudah, mengapa Eropa masih bermasalah dengan isu lingkungan di balik pelarangan CPO dari Indonesia?" ujar dia mempertanyakan.

Lantas bagaimana pula dengan suara-suara aktivis prodemokrasi selama ini yang justru melihat ada kemunduran di dalam praktik demokrasi di Indonesia. Bagaimana pula dengan isu ICOR (Incremental Capital Output Ratio) di Indonesia yang sangat tinggi yang salah satu sebab utamanya adalah pungli dan korupsi.

Bagaimana pula dengan isu praktek ekonomi pasar yang masih jauh dari harapan di Indonesia, karena tendensi oligarki di dalam penguasaan kue ekonomi nasional semakin membesar.

"Jadi saya kira, dari sisi idealitas, masuk OECD sangat bagus untuk Indonesia, karena syarat-syarat yang harus dipenuhi akan membuat economic governance di Indonesia lebih baik," ujar dia.

Namun masalahnya, apakah Indonesia benar-benar bisa memenuhi prasyarat tersebut dan mulai mempraktikkan platform ekonomi politik apa OECD?

"Mari kita tunggu saja," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait OECD atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri