tirto.id - Pemerintah memutuskan untuk menunda kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dari sebelumnya Oktober tahun ini, menjadi 2026. Keputusan tersebut, diambil dalam Rapat Internal Percepatan Kewajiban Sertifikasi Halal dan Perkembangan RPP Jaminan Produk Halal yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024).
Aturan wajib sertifikat halal pada 2026 berlaku untuk usaha mikro dengan nilai penjualan mencapai Rp1-2 miliar dan usaha mikro kecil dengan nilai penjualan Rp15 miliar. Sementara, untuk pelaku usaha dengan nilai penjualan di atas Rp15 miliar, sertifikasi halal ini, tetap berlaku mulai 17 Oktober 2024 mendatang.
“Jadi khusus UMKM itu digeser ke 2026,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Airlangga menuturkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan akan selesai pada 17 Oktober 2024. Namun, pemberlakukan kewajiban sertifikasi halal belum mencapai target.
Penerbitan sertifikat halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sejak 2019 untuk semua jenis produk, baru mencapai 4.418.343 produk (per 15 Mei 2024) dari target BPJPH 10 juta produk, atau baru sekitar baru sekitar 44,18 persen. Sedangkan total jumlah usaha mikro kecil yang ada sekitar 28 juta unit usaha. Artinya, masih banyak produk UMK yang belum tersertifikasi halal.
"Oleh karena itu, Bapak Presiden [Jokowi] memutuskan bahwa untuk UMKM makanan, minuman dan yang lain itu pemberlakuannya diundur. Tidak 2024 tetapi 2026,” kata Airlangga.
Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan kebijakan penundaan kewajiban sertifikasi halal produk makanan dan minuman UMK ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha. Dengan penundaan ini, pelaku UMK diberi kesempatan untuk mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB) dan mengajukan sertifikasi halal sampai Oktober 2026.
“Keputusan ini juga untuk melindungi pelaku usaha, khususnya UMK, agar tidak bermasalah secara hukum atau terkena sanksi administratif,” ujar Menag Yaqut dalam keterangannya, Kamis (16/5/2024).
Produk yang tidak bersertifikat halal melebihi batas waktu memang akan dikenakan sanksi sesuai aturan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Dalam pasal 149 ayat 2 aturan tersebut menyebut sanksi administratif yang dikenakan pelaku usaha, berupa peringatan tertulis, denda administratif, pencabutan sertifikat halal dan/atau penarikan barang dari peredaran.
"Dalam hal penetapan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)," bunyi pasal 149 ayat 6.
Sementara itu, Kepala BPJPH Kemenag, Muhammad Aqil Irham, mengatakan pihaknya akan segera membahas hal teknis penundaan wajib sertifikasi halal dengan Kementerian terkait, di antaranya Kemenko Perekonomian, Sekretariat Kabinet, Kementerian Koperasi dan UKM, dan lainnya.
“Kita akan bahas dan siapkan bersama payung hukumnya,” sebut Aqil Irham.
Peneliti Senior Center of Reform on Economics (CORE), Etika Karyani, mengamini bahwa tertundanya kewajiban sertifikasi halal hingga 2026 akan menguntungkan UMK. Sebab, mereka diberikan waktu untuk menyiapkan dan mengurus sertifikasi halal tanpa tekanan pemerintah.
“Pemerintah juga lebih siap dalam hal sistem dan prosedur sehingga meningkatkan kemampuan BPJPH mengeluarkan sertifikat dengan pelayanan yang lebih baik,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).
Disambut Positif Pelaku Usaha
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, ikut merespon positif atas ditundanya kewajiban sertifikasi halal bagi UMKM. Artinya, kata dia, pemerintah sudah mempertimbangkan seluruh masukan dari masyarakat, termasuk juga asosiasi.
"Alhamdulillah puji Tuhan bahwa pemerintah sesudah mencermati perkembangan yang ada. Akhirnya diputuskan seperti itu [ditunda]," kata Edy saat dihubungi Tirto, Kamis (16/5/2024).
Kendati begitu, Edy menggarisbawahi, penundaan kewajiban sertifikasi halal ini bukan berarti pelaku UMKM tidak mengurus sertifikasi halalnya sampai 2026. Kewajiban ini, menurutnya tetap akan berjalan atau berlaku karena hanya punishment-nya saja yang ditunda hingga 2026.
"Jadi salah istilah menunda kewajiban sertifikasi bukan begitu. Kalau menurut saya kewajiban sertifikasi kan tetap berlaku. Punishment-nya saja yang tadinya mau diberlakukan sesudah Oktober [2024] ditunda jadi Oktober 2026," ujar dia.
Jauh sebelum rencana kewajiban sertifikasi halal ditunda, pada akhir November 2023, Edy mengaku, sempat ada pembicaraan lebih dulu dengan pemerintah terkait dengan soal sertifikasi.
Waktu itu, kata Edy, spirit pemerintah cukup bagus yakni mendorong sertifikasi halal dengan berkaca pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang kini sudah diubah menjadi UU Cipta Kerja.
"Jadi 10 tahun, di akhir 2023 kita baru sertifikasi 2,4 juta produk disertifikasi halal. Itu masih sedikit banget dibanding kegiatan UMKM ada saat ini," ujar dia.
Pada saat itu, pemerintah kata Edy, sudah sudah menyampaikan juga bahwa target mereka di 2024 adalah bisa menerbitkan sampai 10 juta sertifikasi halal. Tapi, pemerintah sendiri belum sampai bicarakan mengenai hukuman atau punishment di Oktober 2024.
"Tidak ada pembicaraan [punishment], itu tidak ada," imbuh dia.
Tapi, tiba-tiba di Februari 2024 timbullah kebijakan baru ada punishment di 17 Oktober 2024 di mana seluruh UMKM wajib bersertifikasi halal. Padahal, kebijakan tersebut tidak dibicarakan sama sekali dengan pelaku usaha dan stakeholder terkait.
"Waktu itu ada pertemuan. Kami diajak ke kantor pemerintah diundang kita, dan saya bilang tidak logis," kata dia.
Logikanya, kata Edi, selama 10 tahun saja pemerintah baru berhasil sertifikasi halal sebanyak 2,4 juta UKM. Sementara, ujuk-ujuk ini dipaksa dengan sisa waktu beberapa bulan mereka wajib sertifikasi halal pada Oktober 2024. Jika tidak pelaku UMKM, kena punishment.
"Dan itu yang kami tidak sepakat. Dan kami meminta penundaan untuk kegiatan itu. Artinya justifikasinya tidak jelas kok tiba-tiba. Tidak bisa saya bilang," jelas dia.
Oleh karenanya, keputusan penundaan ini dinilai Edy sudah paling tepat. Artinya, pemerintah sudah mendengarkan dan mempertimbangkan seluruh masukan dari asosiasi. "Maka, kita harus respons dengan hal positif pertama," pungkas dia.
Inkonsistensi Kebijakan
Di luar dari pertimbangan pemerintah untuk menunda, inkonsistensi kebijakan tersebut tentu saja harus dipertanyakan. Terlebih, maju mundurnya kebijakan pemerintah bukan kali ini saja dilakukan.
Inkonsistensi kebijakan pernah terjadi pada saat pemerintah ingin memajaki kantong plastik dan minuman berpemanis. Wacana itu, dilempar ke publik sejak 2016. Namun, hingga hari ini, kebijakan tersebut belum juga diimplementasikan.
Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, mengatakan maju mundurnya kebijakan kewajiban sertifikasi halal ini mencerminkan sikap ketidakseriusan pemerintah dalam membuat aturan. Apalagi sebelumnya pemerintah sudah mendorong keras agar kebijakan tersebut berlaku pada Oktober ini.
“Kayaknya itu kebijakannya kayak buat mainan. Maksudnya kenapa dari awal tidak dikaji dulu?,” ujar Hermawati mempertanyakan kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).
Dia mengatakan, jika memang belum siap, kebijakan tersebut jangan secara tiba-tiba dilempar ke publik. Sebab, itu akan memberatkan pelaku UMKM khususnya mikro dan kecil. Ditambah lagi, pendidikan dan pengetahuan tentang teknologi mereka, tidak bisa disamakan dengan pelaku usaha menengah.
"Kok ini bikin kebijakan ujug-ujug harus berlaku Oktober, tapi sosialisasi, edukasi, infrastruktur manusia itu tidak memenuhi dengan jumlah UMKM," kata dia.
Seharusnya, lanjut Hermawati, pelaku usaha dan kecil seperti pedagang kaki lima dengan omzet Rp1 miliar dibebaskan saja dari kebijakan kewajiban sertifikasi halal. Karena, untuk mengurus sertifikasi halal dibutuhkan biaya lagi dan itu belum termasuk biaya teknis lainnya
"Anggap saja mereka masuk kelompok golongan miskin yang mikro. Harusnya pemerintah bebaskan," ujar dia.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menambahkan memang sebaiknya tidak semua UMKM perlu ikut kewajiban sertifikasi halal produknya. Terlebih, proses untuk mendapatkan sertifikasi terbilang mahal dan ribet.
"Misalkan UMKM produsen telur ayam ya tidak perlu sertifikasi halal," ujar dia kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).
Huda mengatakan, akar masalah ini adalah dari Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang menyebutkan semua barang di Indonesia harus sertifikasi halal. Seperti ada kulkas halal, kacamata halal, dan produk lainnya harus halal.
"Makanya ada tambahan biaya bagi produsen. UMKM tidak bisa menjangkau hal tersebut dan cenderung memberatkan. Makanya ketika ditunda, saya rasa cukup tepat. Tapi paling tepat dibatalkan," kata dia.
Lebih lanjut, Huda mengatakan, yang bisa dilakukan untuk mengganti sertifikasi halal ada dua. Pertama mengganti sertifikasi halal dengan penanda makanan haram. Kedua klasterisasi produk ke dalam beberapa kategori sertifikasi halal. Klasterisasi ini membagi produk makanan ke beberapa kategori halal food seperti makanan halal by lembaga MUI.
"Deklarasi pribadi bahwa makanan tersebut halal. Kemudian makanan tidak mengandung pork ataupun lard," tukas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang