tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mendorong agar maskapai asing masuk dan beroperasional di wilayah penerbangan Indonesia. Masuknya maskapai asing, diklaim Luhut, akan membuat peta persaingan industri penerbangan menjadi lebih kompetitif.
"Sekarang kita mau dorong airlines asing masuk ke dalam [Indonesia]," ujar Luhut usai acara Press Conference Ekspedisi Bersama Indonesia - OceanX, di Nusa Dua Selatan, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (15/5/2024).
Luhut mengatakan, dorongan tersebut didasari oleh banyaknya permintaan penerbangan yang belum tersentuh oleh maskapai RI. Maka dari itu, ia menilai perlu adanya maskapai asing masuk ke dalam negeri untuk memenuhi penerbangan tersebut.
"Seperti Garuda sekarang, penumpangnya komplain dari Jepang, begitu banyak orang mau naik [tapi] airlines-nya kurang, mesti lewat mana. Akhirnya mahal [tiketnya]," kata Luhut.
Meski begitu, kata Luhut, maskapai-maskapai asing tersebut tetap harus mengikuti aturan main sebelum beroperasional di Indonesia. Pemerintah akan menatanya, salah satunya terkait dengan kepemilikan saham maskapai tersebut.
"Kita tata, misalnya dulu ada aturan tidak boleh majority sahamnya," kata dia.
Aturan dimaksud Luhut adalah Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal alias Perpres Daftar Negatif Investasi.
Berdasarkan lampiran Daftar Negatif Investasi, penyertaan modal asing pada bidang usaha angkutan usaha niaga berjadwal dalam negeri hanya mendapatkan porsi sebesar maksimal 49 persen. Komposisi modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing (single majority).
Kebijakan itu selaras dengan UU Penerbangan yang mensyaratkan bahwa kegiatan angkutan udara niaga harus dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional. Persyaratannya seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
Syarat Maskapai Asing Masuk ke RI
Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional, Gatot Rahardjo, mengatakan secara regulasi jika maskapai asing melayani penerbangan domestik, jelas tidak bisa. Karena ada asas cabotage dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
Tapi, jika maskapai asing itu bekerja sama dengan perusahaan dalam negeri dan mendirikan maskapai baru di Indonesia, baru bisa seperti contohnya Indonesia AirAsia. Itu pun, kata dia, ada aturannya yaitu kepemilikan saham tidak boleh melebihi kepemilikan orang Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016.
“Artinya kepemilikan saham mayoritas harus orang atau perusahaan dari Indonesia,” ujar Gatot kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).
Menurut Gatot, yang paling penting pemilik saham mayoritas harus dari Indonesia sehingga kepentingannya tetap di RI. Karena dengan begitu, maka industri penerbangan dalam negeri bisa lebih kompetitif.
“Kalau dikuasai orang luar bisa bahaya, baik dari sisi perekonomian hingga pertahanan keamanan,” ujar Gatot.
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, mengatakan prasyarat maskapai asing bisa beroperasional di Indonesia memang harus minimal 51 persen saham dimiliki perorangan WNI atau perusahaan Indonesia. Dengan demikian, maskapai tersebut merupakan maskapai Indonesia, bukan maskapai asing.
“Itu berlaku di negara mana pun. Tidak hanya Indonesia,” ujar Alvin Lie kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).
Alvin mengatakan, sebenarnya jika secara bisnis industri transportasi udara Indonesia masih cukup menarik untuk investor asing berbondong-bondong masuk ke Tanah Air. Namun sayangnya, kata Alvin, kenyataannya justru sepi peminat.
Sepinya peminat tersebut antara lain karena Tarif Batas Atas (TBA) yang terus ditekan Kementerian Perhubungan namun tidak dimutakhirkan sesuai dengan beban operasi. Aturan tarif atas dan bawah tiket pesawat diatur dalam Keputusan Menhub Nomor 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
“Margin airlines sangat tipis, bahkan tidak sedikit rute yang merugi,” ucap dia.
Pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, menambahkan untuk saat ini, pasar Indonesia memang sangat atraktif bagi maskapai luar. Namun biaya operasional di Indonesia yang cukup tinggi dan adanya TBA yang rendah, membuat investor asing enggan untuk masuk ke Indonesia saat ini.
“Banyak yang berharap dengan semakin banyaknya maskapai kompetisi akan meningkat. Itu benar, jika TBA-nya tinggi atau tidak ada TBA sama sekali. Justru dengan kondisi saat ini, TBA yang rendah malah memaksakan maskapai untuk menjual tiket mahal di low season,” ujar Gerry kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).
Munculkan Persaingan Bisnis Baru
Dilihat dari urgensinya memang sebenarnya Indonesia masih butuh banyak pesawat. Jumlah pesawat penumpang yang beroperasi sampai dengan saat ini hanya 450 pesawat, atau masih di bawah periode sebelum Pandemi COVID-2019 yang saat itu sebanyak 670 pesawat.
Menurut laporan Civil Aircraft Register 2023 dari Kementerian Perhubungan, sampai akhir tahun lalu Lion Air memiliki 112 unit pesawat terbang yang terdaftar. Sementara, maskapai badan usaha milik negara (BUMN), yaitu Garuda Indonesia, berada di peringkat kedua dengan 87 unit pesawat terbang yang terdaftar per 31 Desember 2022.
“Banyak pesawat kita yang masih tertahan di bengkel (MRO), tidak bisa dirilis untuk terbang oleh DKPPU Ditjen Perhubungan Udara karena belum memenuhi syarat kelaikudaraan (airworthiness),” ujar Gatot kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).
Gatot mengatakan, akibat banyak pesawat yang tidak beroperasi, maka banyak rute yang tidak diterbangi dan frekuensi penerbangan ikut berkurang. Namun, positifnya, kata dia, dari berkurangnya pesawat justru load factor-nya atau tingkat keterisian pesawat meningkat sehingga pendapatan maskapai juga naik.
“Urgensi lainnya adalah untuk menyeimbangkan pasar penerbangan kita yang saat ini didominasi oleh satu dua grup maskapai,” ujar dia.
Struktur pasar penerbangan di Indonesia saat ini hanya didominasi oleh dua grup penerbangan, yakni Garuda Indonesia Group dan Lion Group yang menguasai 96 persen pasar penerbangan domestik. Kondisi ini berpotensi terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat seperti persekongkolan penetapan harga antara kedua pelaku usaha tersebut sehingga menyebabkan harga mahal.
“Sehingga kompetisi-nya menjadi kurang sehat,” ujar Gatot.
Tentu, dengan masuknya maskapai penerbangan asing ke dalam pasar domestik diharapkan dapat mengubah struktur pasar penerbangan domestik sehingga tidak hanya dikuasai oleh dua grup perusahaan. Selain itu, masyarakat juga akan memiliki pilihan yang lebih banyak yang pada akhirnya dapat membuat industri penerbangan di Indonesia makin kompetitif.
“Untuk menyehatkannya, salah satu caranya adalah menyeimbangkan kekuatan para pelaku pasar (maskapai) sehingga tidak ada yang mendominasi. Dan itu bisa dilakukan dengan penambahan jumlah pesawat yang beroperasi,” ujar dia.
Sebaliknya, Sekretaris Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Bayu Sutanto, justru menilai belum ada urgensi memasukkan maskapai asing ke Indonesia. Terlebih, jika melihat tingkat keterisian kursi penerbangan domestik masih memadai atau belum terjadi over demand secara rata-rata.
"Kalau dilihat rata-rata load factor atau tingkat keterisian kursi saat ini 70-75 persen sebenarnya masih memadai," ujar dia kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).
Dia memahami, memang terjadi over demand saat peak season seperti mudik Idulfitri,lebaran sekolah, maupun liburan long weekend. Tapi hal tersebut sifatnya season saja. Di luar peak season kondisi demand yang tercermin dari load factor juga rata-rata 60-70 persenan. Sehingga tidak ada urgensinya memasukkan maskapai asing ke RI.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang