tirto.id - Usul memang tidak boleh ditolak tanpa ditimbang, namun kalau ngawur – apalagi datang dari politisi di Senayan – sudah pasti tak perlu dilanjutkan. Parahnya lagi, usulan ini berpotensi mengebiri demokrasi, jadi tak usah heran protes berdatangan.
Hal tersebut misalnya jelas terlihat dari gelombang kritik yang datang atas usulan di DPR baru-baru ini.
Dalam agenda rapat kerja Komisi II DPR dengan penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri, Rabu (15/4/2024), muncul usulan agar penyelenggara pemilu selanjutnya sebaiknya bisa diisi oleh unsur partai politik (parpol). Ide ini dilontarkan Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Ongku P Hasibuan.
Ongku menilai, ke depan tidak perlu lagi membicarakan soal penyelenggara pemilu yang independen. Menurut dia, anggota KPU dan Bawaslu sebaiknya diisi saja oleh unsur parpol agar bisa saling mengawasi dan hemat biaya karena tidak perlu membentuk panitia seleksi.
Lebih lanjut, dia menilai bahwa toh diduga anggota KPU dan Bawaslu saat ini juga terafiliasi parpol, jadi sekalian saja memang benar-benar diisi oleh unsur parpol. Dengan begitu, saksi pemilu tidak perlu lagi perwakilan dari parpol, karena otomatis sudah ada unsur parpol yang merupakan penyelenggara pemilu.
“Independen itu cerita kosong. Pelaksanaan di lapangan, independen itu nggak benar-benar independen, karena dia [KPU dan Bawaslu] juga ada kaitan-kaitan dengan organisasi tertentu yang terafiliasi [parpol],” kata Ongku.
“Jadi, masing-masing parpol itu ada utusannya di KPU dan Bawaslu. Jadi, enggak [usah] lah ada pansel-pansel seleksi, itu mahal ongkosnya untuk pansel itu,” lanjut dia.
Usulan anggota Komisi II DPR itu sontak disambut protes dari berbagai pihak. Mereka menilai ide tersebut sebagai langkah mundur bagi pemilu yang independen dan demokratis. Meski demikian, cukup beralasan suara miring ini berdatangan, sebab saat ini DPR – Komisi II terutama – memang punya rencana bakal merevisi UU Pemilu.
Revisi UU Pemilu sendiri seharusnya memperbaiki jalannya proses pemilu untuk meminimalisir kecurangan dan intervensi, bukan malah semakin ngawur dengan menggadaikan independensi KPU dan Bawaslu.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menilai bahwa gambaran kualitas penyelenggara pemilu justru tercermin dari kualitas DPR yang terlibat dalam seleksi anggota KPU dan Bawaslu.
Pernyataan agar penyelenggara pemilu sebaiknya diisi oleh unsur parpol justru merusak nalar demokrasi, sekaligus tata kelola pemerintahan yang baik.
“Anggota DPR yang rasional dan punya kapasitas tidak akan menyatakan statement seburuk itu. Bisa juga, usulan itu karena parpol gagal mempertahankan suara di pemilu, atau gagal melakukan kontrol terhadap komisioner KPU dan Bawaslu,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Kamis (16/5/2024).
Menurut Dedi, jika wacana ini terus digulirkan dan terealisasi, maka proses pemilu yang demokratis hanya menjadi wacana. Pasalnya, hasil dan aktivitas pemilu ke depan bisa menjadi lebih buruk dan potensial korup.
“Buruknya penyelenggara [pemilu] karena proses seleksinya melibatkan DPR. Seharusnya usulan itu diperjelas yakni seleksi KPU dan Bawaslu tidak dilakukan dan tanpa andil DPR,” ungkap Dedi.
Wacana DPR memasukan unsur parpol ke KPU dan Bawaslu sebetulnya bukan hal baru. Usulan ini sempat ramai pada 2017 ketika pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu masih dalam proses.
Kala itu, DPR turut didesak menggelar uji kepatutan dan kelayakan calon anggota KPU dan Bawaslu periode 2017-2022. Muncul dugaan terjadi penundaan uji kepatutan dan kelayakan, karena ditengarai DPR mengupayakan unsur parpol bisa masuk KPU dan Bawaslu.
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memandang ada yang keliru dari cara berpikir DPR jika memaksakan unsur parpol sebagai penyelenggara pemilu.
Jika lembaga penyelenggara pemilu diisi oleh anggota dari unsur parpol, justru dinilai akan semakin merusak independensi KPU dan Bawaslu.
Herdiansyah menilai usulan tersebut ngawur sekaligus menggambarkan kedangkalan pemahaman pentingnya independensi lembaga penyelenggara pemilu.
“Cara terbaik adalah memotong proses seleksi yang bersifat semi-politik, dimana fit and proper test harus dijauhkan dari DPR. Kan tawar-menawar selama ini dari fit and proper di DPR itu,” ujar Herdiansyah.
Dia menyayangkan usulan ini sebab membuktikan anggota DPR terpilih secara instan, dan tidak ditempa dengan pengalaman dan pengetahuan yang memadai dalam menjalankan tugasnya.
Herdiansyah berujar agar DPR seharusnya memiliki bekal pengetahuan yang cukup agar tidak membuat pernyataan yang tidak berdasar.
“Kalau mereka [DPR] mau, saya siap menerima mereka di kelas saya untuk belajar kembali,” ucap dia.
Langkah Mundur & Tak Belajar dari Masa Lalu
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, menyatakan usulan agar penyelenggara pemilu diisi oleh unsur parpol sebagai sebuah langkah mundur.
Sebabnya, hal tersebut pernah dilakukan pada Pemilu 1999 dan terbukti penyelenggara pemilu saat itu yang berisi unsur parpol malah tidak bekerja maksimal.
“Kala itu [1999] pemilunya berjalan, tapi penyelenggaraan saat itu juga terjadi kecelakaan politik karena penyelenggara diisi orang-orang parpol yang mana tanda tangan [hasil pemilu] bukan KPU atau LPU, tapi ditandatangani Presiden Habibie. Artinya mereka tidak bisa menyelesaikan hasil pemilu,” kata Kaka kepada reporter Tirto, Kamis.
Dia menjelaskan, penyelenggara pemilu tanpa unsur parpol sudah sesuai dengan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 yang menyebut eksplisit salah satu sifat lembaga penyelenggara pemilu adalah mandiri. Makna kata mandiri dalam pasal dan ayat tersebut dimaksudkan melepas KPU dari keanggotaan parpol.
“Penyelenggara pemilu yang independen dan otonom sebagaimana Pasal 22E UUD 1945 itulah yang terbaik. Kenapa pemilu 2024 begitu rusak? Ya karena intervensi parpol melalui pemerintah dan DPR terlalu besar,” jelas Kaka kepada reporter Tirto, Kamis (16/5/2024).
Menurut Kaka, memang tidak bisa dikatakan bahwa KPU dan Bawaslu pada Pemilu 2024 sudah sempurna. Namun dia yakin, jika pun penyelenggara pemilu tidak independen, justru karena ada intervensi kuat parpol dan lembaga negara sebagai kekuatan politik yang mengganggu kerja-kerja penyelenggara pemilu saat ini.
“Jangan kemudian hanya menyalahkan KPU dan Bawaslu, memang mereka bermasalah tapi ujung pangkalnya yang membuat tidak independen ya kekuatan politik,” ujar Kaka.
Senada dengan Kaka, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat wacana penyelenggara pemilu diisi unsur parpol sebagai alasan partai politik terhindar dari tanggung jawab atas kinerja KPU dan Bawaslu yang bermasalah.
Seolah-olah, kata dia, kecurangan dan kesalahan yang terjadi di pemilu hanya salah penyelenggara pemilu semata. Padahal, ada andil politisi dari parpol-parpol yang turut melakukan kecurangan dan mengganggu independensi penyelenggara pemilu.
“Padahal kalau mau jujur biang utama banyak kasus pelanggaran pemilu itu justru karena politisi dan parpol yang tak pernah jera mengejar suara dengan cara pragmatis,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Kamis (16/5/2024).
Lucius melihat, parpol seolah-olah mau mengatakan bahwa mereka kelompok paling sempurna. Karena itu, kegagalan komisioner KPU dan Bawaslu yang bukan kader parpol sebaiknya mereka ganti dari kalangan parpol saja. Logika ini, kata dia, terlalu menyederhanakan masalah.
“Dengan komisioner yang bukan kader parpol saja partai-partai berani bermain-main, apalagi jika komisionernya kader mereka sendiri. Bayangkan kekacauannya,” ucap Lucius.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto