tirto.id - Kisah memilukan datang dari Jakarta Timur pekan lalu. Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur mengungkap kasus kekerasan seksual kepada anak yang dilakukan oleh ibu korban sendiri. Ibu tersebut tega merekam hubungan seksual korban bersama kekasihnya, dan menggugurkan kandungan sang anak.
Dikonfirmasi Tirto Rabu (22/5/2024) lalu, Kepala Polres Metro Jakarta Timur Komisaris Besar Nicolas Ary Lilipaly menyatakan, kasus ini menimpa korban berinisial RH yang masih berusia 16 tahun. Ibu korban yang sudah diciduk polisi, NKS (47), sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“Orang tua kandungnya ini sampai merekam persetubuhan yang dilakukan oleh anaknya dan pacarnya ini di tempat kos dan pada akhirnya putrinya ini hamil,” kata Nicolas.
Ketika RH akhirnya hamil, NKS alias ibunya sendiri, berusaha menggugurkan kandungan putrinya yang sudah memasuki tujuh bulan kehamilan. NKS bahkan rutin memberikan nanas kepada RH agar dapat menggugurkan kandungan tersebut. Lebih lanjut, NKS turut meminta bantuan N (55), mencarikan obat aborsi di Pasar Pramuka untuk menggugurkan kandungan putrinya.
Setelah meminum obat aborsi yang dibelikan N, korban mengalami sakit hebat di perut dan melahirkan bayi di kamar mandi ditemani NKS. N menyarankan RH dan bayinya dibawa ke puskesmas untuk mendapatkan pertolongan. Namun, bayi yang dilahirkan RH berakhir tak tertolong.
N sendiri ikut ditetapkan sebagai tersangka, sementara RH yang masih dibawah umur, ditempatkan di Yayasan Handayani Cipayung. Sementara pacar RH, ditangani oleh Polres Metro Bekasi. N dan NKS diancam 15 tahun bui dan dijerat dengan Pasal 76 C jo Pasal 80 dan atau Pasal 77 A, dan Pasal 76 B jo Pasal 77 B UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan atau Pasal 346 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 531 KUHP.
“Kami masih mencari penjual obat [aborsi] itu, belum ditemukan masih dalam lidik,” ujar Nicolas.
Menanggapi kasus ini, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono, menyatakan apa yang dilakukan para tersangka kepada RH jelas merupakan bentuk kekerasan kepada anak. Apalagi, kata dia, dilakukan oleh orang terdekat korban, maka terdapat implikasi hukum berupa pemberatan 1/3 dari hukum dasarnya.
Aris juga menyoroti upaya aborsi yang dilakukan ibu korban yang dapat membahayakan nyawa. Tindakan aborsi yang tidak dibenarkan atau disebut Aris sebagai ilegal, dalam UU KUHP dan Undang-Undang Kesehatan memiliki konsekuensi pidana. Di sisi lain, Aris menyoroti mudahnya akses obat penggugur kandungan atau obat aborsi ilegal yang masih marak ditemukan di pasar dan lokapasar.
“Menjual obat aborsi ilegal juga kemudian akan berimplikasi kepada pidana. Maka jelas penjualan bebas obat-obat apalagi obat aborsi secara bebas, mengancam kesehatan anak-anak dan remaja,” jelas Aris.
Pasal 346 KUHP menyebutkan seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Adapun dalam KUHP baru yang akan berlaku 2026, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi perempuan yang merupakan Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
Ketentuan ini juga diperjelas dalam Pasal 60 di UU Kesehatan, pelaksanaan aborsi dengan kriteria yang diperbolehkan hanya dapat dilakukan oleh tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Juga dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri, dan dengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban perkosaan.
Di sisi lain, meski tidak diatur secara khusus, pengedaran obat aborsi ilegal menurut Aris melanggar Pasal 138 UU Kesehatan soal sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu. Ancamannya penjara maksimal 12 tahun atau denda maksimal Rp5 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 435 UU Kesehatan.
“Regulasi sudah jelas, maka perlu ketegasan pihak berwajib untuk menindak, agar anak terlindungi,” ujar Aris.
Risiko Obat Aborsi Ilegal
Guru besar farmasi UGM, Zullies Ikawati, menjelaskan bahwa obat aborsi yang dipasarkan secara ilegal alias tak sesuai ketentuan pengecualian aborsi sesuai perundang-undangan, masih marak ditemukan baik secara langsung maupun lewat media sosial. Menurut Zullies, obat yang sering disalahgunakan untuk digunakan sebagai obat aborsi ilegal adalah misoprostol. Di Indonesia, nama paten yang tersedia adalah cytotec dan gastrul.
“Kalau di online itu banyak yang berani terang-terangan jual obat [tersebut] untuk aborsi. Walaupun sudah banyak yang di-ban atau decline,” kata Zullies kepada reporter Tirto, Kamis (23/5).
Zullies membagikan tangkapan layar yang menunjukkan sejumlah laman website menjual obat cytotec dengan embel-embel dapat menggugurkan kandungan. Padahal, kata dia, obat yang dijajakan secara ngawur itu merupakan obat lambung, dan seharusnya diperoleh dengan resep dokter. Cara kerja obat tersebut sebagai analog senyawa prostaglandin yang diperlukan untuk perlindungan lambung.
“Di sisi lain, prostaglandin juga memiliki efek memacu kontraksi rahim. Efek itulah yang digunakan untuk aborsi secara ilegal,” jelas Zullies.
Penjualan obat tidak sesuai peruntukan ini merupakan tindakan ilegal dan tentu melanggar peraturan, bahkan dapat berimplikasi tindakan kriminal. Kalau sudah demikian, kata Zullies, aparat keamanan perlu melakukan tindakan untuk menghentikan peredaran obat aborsi ilegal yang masih marak dijajakan secara daring atau secara langsung di pasar obat.
“Tapi karena komoditinya spesifik yaitu obat, dapat bekerja sama dengan instansi terkait, seperti BPOM atau Dinas Kesehatan. Jika peredarannya melalui online atau marketplace online, maka bisa bekerjasama dengan Kementerian Kominfo,” ucap Zullies.
Ahli farmakoepidemiologi dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, menyatakan tanggung jawab peredaran obat ada di tangan Badan POM. Sementara itu, obat yang mengandung misoprostol memang belum masuk kategori diawasi. Obat yang sering digunakan sebagai obat aborsi ilegal itu sejatinya dipakai untuk indikasi medis seperti tukak lambung atau perdarahan post-partum.
“Memang sedianya ada di apotek atau toko obat, tapi semua memang harus dibeli pakai resep. Kemudian toko obat atau apotek masih nakal menjual obat tanpa resep misalnya, itu jadi tanggung jawab pemda,” kata Grace kepada reporter Tirto.
Grace menjelaskan, aborsi memang hanya diperbolehkan jika sesuai dengan kasus yang dikecualikan sebagaimana peraturan yang ada dalam undang-undang. Namun, itu pun jelas harus ditangani tenaga medis profesional dan fasilitas pelayanan kesehatan yang resmi. Dia menambahkan, tindakan aborsi ilegal – baik lewat konsumsi obat atau praktik tenaga medis abal-abal – akan sangat membahayakan kesehatan ibu dan janin.
“Tentunya mudah terjadi infeksi atau perdarahan kemudian pada organ reproduksi wanita, sehingga bisa berujung organ reproduksinya tidak berfungsi atau parahnya kematian bagi si ibu,” jelas Grace.
Selain itu, dapat menimbulkan trauma mental bagi perempuan yang hamil tersebut. Layanan aborsi seharusnya memang mencakup juga konseling, dan bukan soal tindakan medis semata. Ini harus dilakukan rumah sakit yang melakukan tindakan aborsi yang dikecualikan.
“Hal ini tentunya tidak didapatkan kalau aborsi dengan obat [ilegal] sendiri misalnya,” terang Grace.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, membenarkan bahwa pengawasan obat-obatan yang beredar memang ditangani oleh Badan POM. Namun, ketika ditanya lebih lanjut lewat pesan tertulis soal peran Kemenkes dalam akses pelayanan aborsi yang dikecualikan – terutama bagi korban kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan tak dikehendaki – Nadia tidak merespons lebih lanjut.
Di sisi lain, Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa, menjelaskan bahwa berdasarkan UU Kesehatan, yang bertanggung jawab atas lemahnya pengawasan distribusi dan penyalahgunaan obat-obatan adalah pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat dalam hal ini, kata dia, adalah Kementerian Kesehatan dan BPOM.
“Sedangkan di daerah adalah Dinas Kesehatan dan BPOM Daerah. Obat-obatan itu [seharusnya] diawasi mulai dari produksi hingga distribusi, bahkan hingga penggunaannya oleh masyarakat,” jelas Mahesa kepada reporter Tirto.
Mahesa menilai, tindakan aborsi yang dilakukan di luar fasyankes dan bukan dilakukan oleh tenaga medis terlatih, dapat diduga sebagai abortus kriminalis. Aborsi yang dilakukan tidak sesuai aturan undang-undang, menurut dia, besar kemungkinan dipicu akibat kehamilan yang tidak dikehendaki.
Di sisi lain, hal itu sekaligus menyoroti perlunya kemudahan pendampingan dan keamanan akses bagi indikasi aborsi yang dikecualikan sesuai peraturan perundang-undangan, agar terhindar dari stigmatisasi dan terjebak dalam praktik ilegal. Terutama bagi perempuan korban tindakan kekerasan seksual dan kehamilan tak dikehendaki.
“Aborsi yang dilakukan tidak sesuai indikasi undang-undang dan dilakukan di luar fasyankes serta bukan tenaga medis terlatih, maka akan berpotensi menyebabkan infeksi, perdarahan, bahkan bisa sampai kematian,” tegas Mahesa.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang