tirto.id - “Indonesia adalah negara demokrasi sekaligus negara hukum. Kalau ada keluar dari koridor itu, yang pas istilahnya, ya, digebuk.”
Kalimat ini terlontar dari mulut Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat menjamu sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/5/2017).
Pernyataan bernada ancaman ini tidak berdiri sendiri. Jokowi mengaitkannya dengan salah satu isu yang belakangan cukup ramai jadi perbincangkan yakni kebangkitan komunis. Sebagai presiden, Jokowi berjanji tidak akan segan-segan “menggebuk” pihak-pihak yang coba membangkitkan PKI dari kubur. Alasannya, PKI dilarang konstitusi.
“Saya dilantik jadi Presiden yang saya pegang konstitusi, kehendak rakyat. Bukan yang lain-lain. Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu (PKI),” ujar Jokowi.
Ada kemiripan antara cara komunikasi politik yang disampaikan Jokowi dengan apa yang pernah dilakukan Soeharto. Presiden terlama Indonesia itu menggunakan kata-kata bernada ancaman untuk menekan lawan-lawan politik yang berpretensi mengganggu kekuasaannya.
Selama 32 tahun, Soeharto menggunakan beragam kata untuk menekan sekaligus menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Salah satu dari sejumlah kata agresif paling menonjol yang pernah diucapkan Soeharto adalah “gebuk”.
Soeharto dan Politik Pukul Sampai Habis
Dalam penerbangan pulang ke Tanah Air usai lawatan ke Yugoslavia dan Uni Soviet, Soeharto secara khusus mengemukakan istilah “gebuk”. Kata ini dia pakai saat menjawab pertanyaan wartawan tentang adanya tuntutan melakukan suksesi nasional. Seperti halnya Jokowi, Soeharto menyatakan Orde Baru sudah bertekad melaksanakan kemurnian Pancasila dan UUD 1945.
“Secara konstitusional silahkan melakukan apa saja, sampai mengganti saya; jalannya sudah ada yaitu melalui cara konstitusional… tetapi kalau dilakukan di luar itu, apakah ia seorang pemimpin politik atau sampai Jenderal sekali pun, akan saya gebuk. Siapa saja akan saya gebuk karena saya harus menertibkan pelaksanaan konstitusi itu!” kata Soeharto (Kompas, 29/9/1989).
Pengamat komunikasi politik Tjipta Lesmana dalam bukunya Dari Soekarno sampai SBY mengatakan kata “gebuk” bermakna "menghancurkan sampai rata tanpa belas kasihan". Kata ini menurutnya merefleksikan kegusaran Soeharto terhadap pihak-pihak yang coba merongrong kekuasaannya. Di antaranya, para pensiunan jenderal dan politikus sipil yang tergabung dalam kelompok Petisi 50.
“Rupanya, di mata Soeharto aktivitas politik para pensiunan Jenderal yang tergabung dalam Petisi 50 makin lama makin mengarah ke aksi makar untuk menggulingkan kekuasaannya,” tulis Tjipta.
Jakob Oetama, wartawan senior sekaligus pendiri Harian Kompas, turut hadir dalam pesawat yang digunakan Soeharto dari Uni Soviet dan Yugolavia. Dia mengingat kata “gebuk” digunakan Soeharto untuk merespons pertanyaan wartawan mengenai berbagai aksi unjuk rasa mahasiswa yang mirip dengan aksi mahasiswa di dekade 1970-an.
Ketika itu, ujar Jakob, Soeharto menyampaikan kata “gebuk” diikuti gerakan tangan mengepal siap meninju sambil tersenyum lebar dan tertawa terbahak-bahak.
“Soeharto mempertontonkan kekuatan, kekuasaan, keyakinan, kemenangan, dan posisinya dalam ketinggian terbang di atas 30.000 kaki di atas permukaan laut,” kenang Jakob seperti ditulis St Sularto dalam Syukur Tiada Akhir: Jejak langkah Jakob Oetama.
Korban Politik Gebuk Soeharto
Soeharto memang tidak pernah main-main memberikan ancaman. Dia membuktikan ancamannya dengan memejarakan sejumlah orang yang berani terang-terangan berseberangan dengan dirinya. Penandatangan Petisi 50, M Jassin, mengatakan Soeharto telah memenjarakan dua tokoh Petisi 50 yakni H.R. Dharsono dan Ir. Sanusi.
“Kata-kata gebuk, sewaktu Soeharto pulang dari Jepang di atas pesawat; ‘Siapa saja akan saya gebuk, walaupun jenderal atau pun sarjana’. Dan ternyata Soeharto betul-betul menggebuk Letjen. Purn. H.R. Dharsono dan Ir. Sanusi, sehingga masuk penjara,” kata Jassin dalam Saya Tidak Pernah Minta Ampun kepada Soeharto: Sebuah Memoar.
Usaha melanggengkan kekuasaan dengan dalih menjaga konstitusi juga kembali disampaikan Soeharto menjelang akhir-akhir kekuasaannya. Pada Maret 1997, saat meresmikan Asrama Haji Donohudan dan RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Soeharto coba merespons tuntutan para oposan yang meminta dia tidak mencalonkan diri kembali sebagai presiden.
Lagi-lagi Soeharto mengatakan tidak keberatan diganti dan melepaskan jabatannya sebagai presiden jika rakyat memang sudah tidak mengkehendaki. Namun, dia menggaris bawahi, usaha untuk melengserkan dirinya mesti dilakukan secara konstitusional. Jika tidak, Soeharto tidak akan ragu-ragu “menggebuk”.
“Namun harus dilakukan secara konstitusional. Kalau tidak melewati ini, saya katakan ya saya gebuk, karena melanggar konstitusi. Saya juga dengar ada ini ada itu. Kalau sampai melanggar hukum, saya gebuk betul serta tidak akan ragu-ragu mengambil tindakan kepada mereka itu,” tulis Akbar Tandjung dalam bukunya The Golkar Way.
"Gebuk" sebagai Bahasa Kekuasaan
Kendati secara spesifik menyebut PKI, Jokowi sesungguhnya juga sedang menyasar yang lain.
"Saya katakan kepada Kapolri jangan terpengaruh pakai hitung-hitungan yang lain. Kalau ada bukti silahkan ditindak. Kalau gebuk, ya gebuk saja! Jangan sampai ragu-ragu. Organisasi yang sudah jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 45 dan hukum harus ditindak," kata Jokowi lagi, seperti dikutip Antara.
Pernyataan itu menggarisbawahi siapa pun, organisasi mana pun, menjadi sasaran dari bahasa "gebuk" jika bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dinamika politik belakangan ini juga menjelaskan bahwa Jokowi juga secara implisit menyinggung ormas-ormas yang belakangan menjadi duri bagi kepemimpinan Jokowi.
Salah satu yang paling menonjol dalam dua pekan terakhir, tentu saja, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang punya cita-cita mendirikan Khilafah Islam. Juga Front Pembela Islam (FPI). Isu kebhinekaan dan NKRI harga mati juga bisa ditempatkan sebagai latar cerita untuk memahami arah dari pesan Jokowi.
Persoalannya, Jokowi tidak bisa mempraktikkan kata "gebuk" dengan seenaknya kepada organisasi atau individu mana pun. "Gebuk" adalah bahasa kekuasaan, bukan bahasa hukum. Untuk mengatasi, bahkan membubarkan, organisasi mana pun Jokowi tidak bisa melakukannya tanpa prosedur hukum yang benar.
Menyinggung PKI secara spesifik adalah cara termudah. Selain PKI memang sudah terlarang dalam sistem hukum di Indonesia, PKI juga secara riil sudah terkubur dan tidak lagi eksis. PKI lagi-lagi dijadikan dalih untuk mengatakan hal yang lain. Tidak hanya dalih, tapi juga cara termudah, juga paling aman, bagi seorang Jokowi, ketimbang menyebut, misalnya, HTI apalagi FPI.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Zen RS