Menuju konten utama

Umur Singkat Republik Mahabad yang Melawan Pemerintah Iran

Bangsa Kurdi pernah melawan Iran dan mendirikan negaranya sendiri dengan sokongan Uni Soviet. Umur negara ini kurang dari setahun. Republik bangsa Kurdi itu bernama Republik Mahabad

Umur Singkat Republik Mahabad yang Melawan Pemerintah Iran
Peraayaan berdirinya Republik Kurdistan Mahabad. FOTO/Looklex.com

tirto.id - Pada musim dingin tahun 1946, sebuah wilayah di Iran bagian barat laut mendeklarasikan diri untuk menjadi negara merdeka bernama Republik Mahabad. Dengan bentang alam pegunungan, lembah dan sungai, tanah ini dihuni oleh kelompok etnis Kurdi yang telah silih berganti merasakan masa kepemimpinan dinasti Persia.

Kelahiran negara yang dipimpin oleh Qazi Muhammad ini diproklamasikan di Chwar Chira, alun-alun Kota Mahabad. Bendera tak luput dikibarkan pada 22 Januari 1946 sebagai tanda kedaulatan dan kemerdekaan Republik Mahabad.

Banyak dari pria dan wanita Kurdi berbondong-bondong bercampur dengan membawa berbagai atribut bendera yang tengahnya terdapat gambar matahari, gunung-gunung dan hasil gandum sebagai simbol dari akar rakyat pedesaan yang mendasar.

Cita-cita bangsa Kurdi di Iran ini tercapai tak lepas dari faktor krisis di Iran pada tahun-tahun menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua, setelah konflik panjang antara orang Kurdi dan pemerintahan Iran meningkat di era dinasti Pahlevi.

Seperti dilansir History, pada 1942 Iran menandatangani perjanjian yang mengizinkan pasukan Soviet dan Inggris memasuki wilayah negaranya guna membela negeri Persia yang kaya minyak itu dari ancaman serangan dan ideologi Jerman di bawah kepemimpinan Hitler. Pada gilirannya, Amerika juga turut menurunkan pasukannya di sini.

Perjanjian ini juga menuai dampak lain dalam tubuh pemerintahan Iran sendiri. George Lenczowski dalam bukunya American Presidents and the Middle East memaparkan bahwa Reza Shah Pahlevi dipaksa turun dari takhtanya dan diasingkan ke Mauritius akibat perjanjian itu. Anaknya, putra mahkota bernama Mohammad Reza Pahlevi menjadi raja baru. Namun pada 1944, baik Inggris dan Amerika mulai menekan pemerintah Iran terkait konsensi minyak.

Dalam perjanjian tripartit 1942 ini, dimuat juga ketentuan bahwa setelah berakhirnya masa Perang Dunia Kedua, pasukan dari negara asing harus angkat kaki dari Iran dalam waktu enam bulan terhitung sejak berakhirnya perang.

Namun, tak begitu kenyataannya. Saat itu, pemerintahan baru Amerika sepeninggal Franklin D. Roosevelt pada April 1945 digantikan oleh Harry S. Truman dan kebijakan bergulir terkait perebutan keberpihakan Iran, terhadap Soviet atau Amerika. Di tengah lobi-lobi yang terus dilakukan Amerika, Soviet menggalang simpati dengan mendukung gerakan kemerdekaan di Iran bagian utara.

2 Maret 1946 menjadi batas waktu bagi penarikan pasukan asing di Iran, dan Soviet masih berada di Iran. Selama enam minggu terjadi ketegangan antara Soviet dan Amerika sampai pengumuman penarikan pasukan Soviet dari Iran pada 25 Maret 1946. Soviet telah mengantongi konsensi minyak Iran. Aroma sengit Perang Dingin tercium.

Sementara itu, kekosongan kepemimpinan di Iran membawa angin segar bagi para nasionalis Kurdistan di Iran. Mereka lebih leluasa mengekspresikan sikap politik dan keinginan untuk merdeka. Hal ini juga disadari Soviet yang melihat sebagai sarana strategis menggalang dukungan dan simpati untuk memperluas pengaruh Soviet seperti yang sudah terjadi di Azerbaijan.

Mesin politik rakyat Kurdi juga dibuat. Adalah Qazi Muhammad, seorang ahli hukum agama yang mendirikan Democratic Party of Iranian Kurdistan pada 16 Agustus 1945 di Mahabad. Dalam upaya mencari dukungan dan bentuk-bentuk ideal sebuah negara, David McDowall dalam bukunya berjudul Modern History of the Kurds menyebut Qazi Muhammad bersama para pemimpin Kurdi lainnya mengunjungi Tabriz guna mencari dukungan dari konsulat Soviet.

Mereka kemudian diarahkan ke Baku, Azerbaijan, yang kala itu masuk dalam bagian Uni Soviet, dan mereka kemudian mengetahui bahwa Partai Demokratik Azerbaijan berencana mengambil alih wilayah Azerbaijan di Iran dan mendirikan pemerintahan mereka sendiri. Kesuksesan Partai Azerbaijan semakin menginspirasi Qazi Muhammad untuk melakukan hal serupa.

Pemerintahan rakyat Kurdi di Iran mulai dibentuk dan didirikan pada 22 Januari 1946. Mereka mengumumkan pembentukan Republik Mahabad sekaligus pernyataan kemerdekaan. Buku berjudul Kurdistan In the Shadow of History karya Susan Meiselas juga mengungkapkan bahwa Qazi tidak membantah republiknya disokong oleh Soviet. Namun, Qazi juga menegaskan bahwa cita-cita negaranya sangat berbeda dari Soviet.

Tentara nasional Iran sempat menyerbu Republik Mahabad yang baru itu. Namun, Mustafa Barzani, orang Kurdi dari daerah Irak didapuk sebagai menteri pertahanan sekaligus panglima tentara Kurdi di Republik Mahabad, berhasil menunjukkan reputasinya dengan mengalahkan pasukan Iran.

Dalam perjalanannya, hubungan Republik Mahabad dengan Soviet dalam beberapa bulan setelah deklarasi kemerdekaan tak harmonis. Republik Mahabad menolak keinginan Soviet untuk menggabungkan Mahabad bersama Azerbaijan di Iran.

Puncaknya, seperti disebut dalam buku Hussein Tahiri berjudul The Structure of Kurdish Society and the Struggle for a Kurdish State, adalah yang terjadi bulan Mei 1946: pasukan Soviet ditarik dari Iran. Hal ini mengakibatkan seluruh sokongan yang menopang Republik Kurdistan diputus berdasarkan Perjanjian Yalta.

Republik Mahabad kemudian berjalan sendiri untuk menata stabilitas dan keberlangsungan negaranya. Namun, tampaknya dukungan terhadap Qazi Muhammad dari suku-suku Kurdi menurun. Kesenjangan ekonomi dan pemerataan antara desa dan kota tampak begitu timpang. Belum lagi kecemburuan sosial terhadap pengikut Barzani yang notabene berasal dari suku Kurdi di Irak ketika harus berbagi hasil bumi dan perekonomian.

Petaka datang pada 15 Desember 1946, kala itu tentara Iran mulai menyerbu guna menaklukkan kembali wilayah Mahabad. Mereka segera menutup berbagai percetakan yang menerbitkan karya-karya berbahasa Kurdi, melarang pengajaran bahasa Kurdi, dan membakar semua buku Kurdi sepanjang yang ditemuinya termasuk di perpustakaan.

Penumpasan Republik Mahabad oleh pasukan Iran ini dianggap kekalahan telak yang meruntuhkan dan menghempaskan seketika Republik Mahabad. Hukuman keras dijatuhkan pada Qazi Muhammad selaku presiden dengan hukuman gantung di depan publik di kota Mahabad. Ia dihukum bersama saudara dan sepupunya.

Berbeda dengan Qazi Muhammad yang menanggung hukuman mati, Mustafa Barzani selaku panglima tentara Kurdi untuk Republik Mahabad lari berlindung ke Soviet untuk menyelamatkan diri bersama sejumlah pengikutnya.

Menurut buku Massoud Barzani dan Ahmed Ferhadi berjudul Mustafa Barzani and the Kurdish Liberation Movement, 1931-1961, Barzani terus mendiskusikan langkah-langkah untuk perjuangan Kurdi saat pertemuan dengan sekjen Partai Komunis Azerbaijan yang direstui Moskow. Para pengikut Barzani juga membentuk resimen berlatih taktik militer dan politik, juga mendapat pendidikan dengan belajar membaca dan menulis bahasa Kurdi.

Karier perjuangan Barzani untuk pembebasan Kurdi dilanjutkan di wilayah Irak ketika memutuskan kembali ke tanah tersebut pada Oktober 1958 dengan partainya Kurdish Democratic Party.

Nasib Republik Mahabad terhenti dan tidak ada kebangkitan kembali setidaknya sampai detik ini. Sementara itu, Republik Azerbaijan yang juga sempat bergabung bersama Uni Soviet hingga pembubarannya tetap berdiri tegak sampai sekarang karena memiliki akar yang lebih kuat dan tidak berkonfrontasi langsung dengan penolakan pemerintah Iran.

Kini, wajah rakyat Kurdi di Iran masih tetap sama. Diselimuti rasa nasionalisme yang masih terus menancapkan asa untuk bisa merdeka. Data dari Unrepresented Nations and Peoples Organization pada 2008 lalu menyebutkan, populasi etnis Kurdi di Iran berjumlah 8-10 juta jiwa, yang berarti 11-15 persen dari total populasi rakyat Iran.

Wilayah dengan populasi Kurdi adalah seperti pada provinsi Kurdistan, Kermanshan, Hamadan, sebagian lain menghuni provinsi Ilam dan provinsi Azerbaijan Barat, serta provinsi Khorasan Utara.

Infografik Republik Mahabad

Kebanyakan orang Kurdi memeluk agama Islam dengan rincian sebesar 66% Sunni dan 27% Syiah, sedangkan 6% lainnya adalah agama lokal dan minoritas lainnya termasuk juga di dalamnya menganut Yasidi, Kristen, Yahudi, dan berbagai agama lainnya.

Selama revolusi Iran, partai politik besar Kurdi tidak mampu menyerap para orang Kurdi Syiah untuk bergabung menuntut otonomi khusus atas orang-orang Kurdi di Iran. Baru sejak tahun 1990an, nasionalisme Kurdi telah mulai tumbuh ke daerah tempat bermukim Kurdi Syiah, lantaran tersulut kemarahan karena sikap penindasan dan kekerasan pemerintah Iran terhadap orang-orang Kurdi di bagian Iran utara.

Praktis, gerakan pemberontakan Kurdi di Iran masih terjadi hingga detik ini, seperti dapat dilihat dari peristiwa terbaru yaitu bentrokan Iran Barat yang dimulai sejak 19 April 2016 sampai sekarang. Konflik bersenjata kali ini melibatkan sayap kelompok bersenjata dari Partai Demokratik Kurdi melawan pasukan Garda Revolusi Iran. Sayap militer nasionalis Kurdi lainnya di Iran seperti Partai Kebebasan Kurdi dan Komalah juga terlibat.

Penyebab dari konflik kali ini masih sama, yaitu situasi penindasan dan kesewenang-wenangan dari pemerintah Iran terhadap orang-orang Kurdi di Iran seperti diwartakan ARAnews, media independen rakyat Kurdistan. Laporan dari Amnesty Internasional tahun 2008 juga menyebutkan bahwa etnis Kurdi telah menjadi target tekanan terhadap hak-hak sosial, politik dan budaya yang merujuk pada identitas dirinya sebagai etnis Kurdi.

Amnesty Internasional juga menyebut sejumlah aktivis Kurdi ditangkap karena kaitannya dengan aspirasi nasionalisme Kurdi beserta organisasi terkait. Atas kegiatan tersebut, mereka terancam mendapat hukuman mati.

Tampaknya harapan rakyat Kurdistan yang wilayah geografisnya terpotong oleh garis batas berbagai negara seperti di Irak, Suriah, dan Turki tetap sama. Mereka menginginkan kebebasan dan pengakuan atas nama Kurdistan Raya.

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani