Menuju konten utama

Kurdi, Bangsa tanpa Negara

Ini adalah kisah bangsa tanpa negara, Kurdi. Mereka tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut sebagai Kurdistan bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.

Kurdi, Bangsa tanpa Negara
Orang-orang berkumpul di lokasi ledakan dekat tenggara kota Diyarbakir yang didominasi suku Kurdi, Turki. [Antara foto/Reuters/Sertac Kayar]

tirto.id - "Ribuan anak-anak perempuan dan kami para wanita dewasa telah melakukan bunuh diri. Gadis umur sepuluh tahun dijual empat kali dalam sehari. Kami adalah para Yazidi yang tak berdaya dan tidak ada yang mendukung kita," kata Hanifa kepada Thomson Reuters Foundation dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

"Kami ingin perlindungan internasional dan genosida yang kami alami ini diakui .. karena tanpa perlindungan internasional dan menerapkan aturan atas genosida, ini akan terjadi lagi."

Hanifa – yang tidak mau memberikan nama lengkapnya karena takut diburu, lolos dari serbuan ISIS di Sinjar pada musim panas 2014 lalu. Tapi tidak dengan kelima adik-adiknya. Mereka ditangkap karena melarikan diri. Sejak saat itu, Hanifa tak pernah melihat ataupun mendengar kabar tentang adik-adiknya lagi.

Masih dilansir dari Reuters, militan ISIS telah membunuh, memerkosa dan memperbudak ribuan Yazidi sejak 2014. Mereka juga sudah memaksa lebih dari 400.000 kelompok minoritas agama itu untuk meninggalkan rumah mereka di Irak utara, dan menuduh mereka sebagai penyembah setan.

Dakhil Osman Khidir Al-Yazidi, yang sebelumnya berprofesi sebagai penyanyi di acara pernikahan, takut kehidupan Yazidi tidak pernah akan kembali normal. "Mengapa kita dibunuh? ... Mengapa semua keheningan ini dari negara-negara dunia, dan khususnya Irak. Kami ingin mereka dihukum oleh pengadilan internasional," katanya.

Yazidi, kata yang mungkin asing di telinga awam jika merujuk kepada Timur Tengah. Demikian pula dengan Kurdi, keduanya sama asingnya bagi awam. Mereka jelas kalah saing dengan Arab Saudi yang memiliki Kota Suci, Qatar yang gemerlap dengan raungan nyaring dari knalpot Lamborgini atau Porsche, Irak yang porak-poranda sebagai tempat buruan Saddam Husein, atau Palestina yang terus enggan dilepaskan oleh Israel.

Dalam dua tahun terakhir, nama Suriah dan ISIS mulai mengisi perbincangan dunia mengenai Timur Tengah. Aksi-aksi brutal dan propaganda kelompok militan ISIS yang dilakukan berskala transnasional menjadi pemicu naiknya pamor mereka. Yazidi dan Kurdi yang juga menjadi korban kebrutalan turut muncul di permukaan.

Kurdi sendiri adalah sebuah kelompok etnis di Timur Tengah, sama halnya dengan kelompok etnis lainnya seperti etnis Arab, Turki, Yahudi, dan Persia yang sekarang merujuk pada negara Iran. Bedanya, mereka tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut sebagai Kurdistan bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.

Melihat populasinya, suku bangsa Kurdi tidak bisa dipandang sedikit. Menurut data World Factbook yang diselenggarakan oleh CIA tahun 2015, ada 14,5 juta orang Kurdi yang mendiami Turki. Kedua ada di Irak sebesar 7 juta orang, disusul di Iran sebesar 6 juta orang, dan Suriah sebanyak 2,5 juta orang. Ribuan penduduk Kurdi lainnya masing-masing tersebar di negara-negara Eropa, Amerika, Asia Timur. Terkecil penduduknya berjumlah 7000 orang mendiami benua Australia.

Wilayah Kurdi sendiri, yang juga disebut Kurdistan berada di irisan antara negara Turki (Kurdi Utara), Iran (Kurdi Timur), Irak (Kurdi Selatan), dan Suriah (Kurdi Barat). Wilayah terbesar berada di Turki.

Sedangkan Yazidi, masih merupakan etnis Kurdi yang merupakan komunitas agama kuno bernama Yazdanisme atau Yazidisme. Agama itu masih dipertahankan hingga kini. Mereka hidup di Provinsi Niniwe Irak, termasuk di Pegunungan Sinjar.

Soal angkatan perang, mereka sudah lebih dari cukup untuk ukuran negara baru. Peshmerga, sebutan angkatan bersenjata Kurdi bukanlah angkatan militer sembarangan dan amatiran. Kiprahnya di wilayah Irak terutama saat menghadapi ISIS telah menjadi sorotan dunia.

Besaran pasukan Peshmerga diperkirakan ada sekitar 80.000 sampai 250.000 pasukan yang tersusun dari 36 brigadir militer.

Ada juga YPG atau juga disebut Perlindungan Rakyat Kurdi, angkatan bersenjata Kurdi di wilayah Suriah yang bersedia merekrut orang-orang diluar etnis Kurdi dan bersimpati terhadap perjuangan Kurdi. Operasinya saat mempertahankan wilayah Kobani di Suriah dari dominasi ISIS juga telah menjadi sorotan publik dunia.

Prajurit perempuan yang foto-fotonya sempat viral saat gigih menumpas ISIS dapat dipastikan dari YPJ atau Perlindungan Perempuan Kurdi, sayap militer perempuan dari YPG. Data dari teleSUR menyebutkan, jumlah relawan militer wanita Kurdi yang tergabung dalam YPJ berkisar 10.000 dengan rentang umur 18 sampai 40 tahun. Hadirnya kelompok perempuan ini juga sekaligus membawa harapan atas peran perempuan dalam konflik di kawasan tersebut yang bisa setara dengan laki-laki.

Di bawah Rezim Brutal

Awal Agustus 2014, kota Sinjar menjadi saksi kebrutalan ISIS. Pasukan Peshmerga tidak mampu lagi membendung kekuatan ISIS yang terus merangsek masuk. Kota itu, yang sebelumnya dihuni oleh etnoreligi Yazidi dan masih dalam bagian dari bangsa Kurdi, menjadi sepi dan hampir kosong ditinggal penduduknya.

ISIS telah menyatakan bahwa kelompok Yazidi sebagai penyembah setan. Mereka mengambil dua ladang minyak kecil di dekat situ.

Data dari hasil laporan OHCHR dan UNAMI menyebutkan, ISIS telah membantai hingga 5.000 orang Yazidi selama bulan Agustus,2014. Sedangkan data dari Pemerintah Daerah Kurdistan Irak pada Desember 2014 memperkirakan total jumlah Yazidi yang tewas atau hilang mulai dari laki-laki, perempuan dan anak-anak asal Sinjar sebanyak 4.000 orang.

Lebih dari 40.000 Yazidi terjebak di gunung Sinjar yang sebagian besar dikelilingi oleh pasukan ISIS dan bersiap menembaki mereka. Sebagian besar, mereka tanpa makanan, air atau perawatan medis, menghadapi kelaparan dan dehidrasi.

Bantuan udara datang dari Irak, Amerika dan Australia dengan menjatuhkan paket makanan. Helikopter Irak juga turut memberikan pertolongan darurat bagi orang-orang Yazidi yang terluka.

Aksi genosida ini kemudian mengundang Amerika, Australia, Inggris berkoalisi dengan Peshmerga, YPG, YPJ, Partai Pekerja Kurdi dari Turki, Sinjar Resistance Units ditambah bantuan Angkatan Udara Suriah untuk menggempur ISIS di wilayah tersebut.

Di Kobani, sebuah kota di Suriah, kiprah pejuang Kurdi yang tergabung dalam Perlindungan Rakyat Kurdi atau YPG termasuk juga YPJ, tersulut manakala pasukan ISIS berhasil menguasai 350 desa Kurdi. Hal itu mengakibatkan gelombang pengungsian sekitar 300.000 orang Kurdi ke perbatasan Turki.

Banyak dari pejuang Kurdistan dari berbagai daerah turun ke Kobani untuk menumpas ISIS sekaligus sebagai momentum mengukuhkan wilayah teroitoral mereka. Tercatat, ada Kurdi Suriah, Irak Suriah, Partai Pekerja Kurdi bergabung melawan ISIS. Kesuksesan memukul mundur dan merebut kembali wilayah berpihak pada pejuang Kurdi. ISIS dipukul mundur hingga berhasil menguasai kembali Kobani.

Meskipun pasukan Kurdi berhasil, tetapi pembantaian Kobani juga terjadi. ISIS menembaki laki-laki, perempuan sampai anak-anak dari etnis Kurdi. Human Right Watch merilis, 233 sampai 262 warga sipil Kurdi tewas dan sedikitnya 273 terluka.

Di sisi lain, sebuah negara Kurdi mulai dicoba untuk didirikan oleh para pejuang.

Bangsa Kelas Dua

Sikap-sikap diskriminasi dan usaha untuk melenyapkan Kurdi sudah terjadi. Di Turki, di sebagai wilayah geografis Kurdistan terbesar, setelah runtuhnya Kekaisaran Utsmaniyah dan berganti dengan berdirinya negara Turki di bawah Mustafa Kemal Ataturk, mereka mendapat perlakuan yang berbeda dari penduduk Turki lainnya.

Pembantaian terhadap etnis Kurdi sejak Turki pertama berdiri sebagai republik dilakukan oleh pemerintah. Adalah pembantaian Zilan, yang menelan sekitar 15.000 korban jiwa etnis Kurdi yang berlangsung pada tahun 1930.

Pada 1937, terjadi lagi Pembantaian Dersim oleh pemerintahan Turki terhadap kelompok Kurdi yang dianggap melakukan pemberontakan. Mengenai jumlah korban etnis Kurdi yang meninggal, belum diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Data menyebutkan, sekitar 7.594 sampai 13.000, dengan 3.000 orang lainnya mengungsi dari Dersim.

Menurut laporan Partai Komunis Turki, antara tahun 1925 dan 1938, lebih dari 1,5 juta orang Kurdi dideportasi dan dibantai. Mencegah peristiwa tersebut tercium oleh dunia internasional, Turki mengambil kebijakan dengan tidak mengizinkan orang asing mengunjungi seluruh wilayah timur dari sungai Efrat sampai tahun 1965. Daerah tersebut juga dikepung ketat oleh militer Turki sampai tahun 1950.

Penghilangan identitas bangsa Kurdi juga dilakukan dengan cara pelarangan serta menghapus kata "Kurdi" dan "Kurdistan" dari kamus dan buku-buku sejarah di Turki. Sebagai gantinya, Turki menyebut etnis Kurdi sebagai “orang gunung”.

Kebangkitan untuk kesatuan perlawanan suku bangsa Kurdi terhadap Turki dimulai pada tahun 1978 saat mereka terhimpun dalam Partai Pekerja Kurdi yang berhaluan Marxis. Partai Pekerja Kurdi menyatakan tujuannya sebagai perjuangan pembebasan semua wilayah bagian Kurdistan dari penindasan kolonial dan pembentukan negara secara independen.

Di Irak, bangsa Kurdi terutamanya mengalami tekanan semasa kepemimpinan Saddam Husein dengan cita-cita nasionalisme Arabnya. Ini membawa dampak pada penghapusan etnis Kurdi dengan cara pemaksaan asimilasi Kurdi ke Arabisasi. Sebuah cara yang hampir sama dengan yang dilakukan Ataturk saat mendorong orang-orang Kosovo Albania dan Asyur untuk menetap di daerah Kurdi demi mengubah kompisisi etnis Kurdi.

Operasi Anfal yang dilakukan Saddam Hussein tahun 1986 sampai 1989 lebih tepatnya sebagai upaya genosida terhadap etnis Kurdi di Irak Utara. Kampanye militer ini terutamanya menyasar orang-orang Kurdi dan kemudian etnis-etnis non-Arab lainnya yang tinggal disana.

Menghancurkan 4.500 desa Kurdi dan 31 desa Asyur. Amnesty International mengumpulkan nama-nama lebih dari 17.000 orang telah hilang selama 1988. Data dari jaksa Irak dan pejabat Kurdi menyebutkan, sebanyak 180.000 orang tewas.

Di Persia, benturan antara Kekaisaran Safawiyah dari Persia dan Kekaisaran Utsmaniyah Turki turut menyeret etnis Kurdi pada kepentingan pengaruh dua kekaisaran yang sangat berkuasa pada puncaknya waktu itu, pertumpahan darah tak terhindarkan dalam perang yang tercatat sejarah seperti Perang Dimdim.

Periode Iran Modern juga tidak begitu menyenangkan. Saat periode perang dingin, Iran mengambil sikap netral. Blok Barat dan Timur turut dalam usaha menggalang dukungan dan pengaruhnya termasuk di Iran.

Hal ini membuahkan sebuah negara Kurdi di Iran pada 1946 dengan sokongan dari Uni Soviet dengan pusat pemerintahan di kota Mahabad. Roda pemerintahan dijalankan oleh Partai Demokratik Kurdi Iran dengan Qazi Muhammad sebagai pemimpin Republik Mahabad. Karena wilayah dinilai masih kecil, maka diperluas mulai dari Bukan, Piranshahr, dan Oshnaviyeh.

Tidak semua orang Kurdi Iran dan di negara lain setuju dengan republik tersebut. Benar saja, negara itu hanya bertahan kurang dari satu tahun. Juga karena berakhirnya perang dan penarikan pasukan Uni Soviet dari wilayah tersebut. Pemerintah Iran dengan segera menggilas kelompok tersebut yang dianggap separatis. Mengembalikan wilayah dan orang-orang Kurdi sebagai kesatuan Iran.

Seorang aktivis oposisi Kurdi, Shivan Qaderi dan dua orang Kurdi lainnya ditembak oleh pasukan keamanan Iran di Mahabad pada 9 Juli 2005. Menurut saksi, aparat keamanan kemudian mengikat tubuh Qaderi untuk sebuah jip Toyota dan menyeretnya melalui jalan-jalan. Motif seperti ini umumnya untuk memberi efek mencekam dan ancaman kepada warga lain untuk tidak mencoba melawan.

Dalam sebuah laporan yang dirilis pada tahun 2008, Amnesty International mengatakan bahwa Kurdi telah menjadi target tertentu oleh Republik Islam Iran. Hak-hak sosial, politik dan budaya mereka ditekan. Banyak aktivis hak asasi manusia di Iran sering mengalihkan fokus mereka untuk secara khusus mengidentifikasi pelanggaran yang dilakukan otoritas Iran terhadap orang-orang Kurdi.

Sedangkan di Suriah, hubungan perjuangan orang Kurdi Suriah yang merujuk pada Rojava lebih cenderung stabil dan sangat minim gesekan. Ini karena hubungan mereka tidak bisa dilepaskan dari konteks perang saudara di Suriah. Untuk saat ini, Konstitusi Suriah dan Konstitusi Rojava secara hukum sesuai sehubungan dengan otoritas legislatif dan eksekutif.

Di kemiliteran, pertempuran antara YPG dan pasukan pemerintah Suriah jarang terjadi, adapun kasus yang paling menonjol yaitu beberapa wilayah yang masih dikuasai oleh pemerintah Suriah di Qamishli dan al-Hasakah telah berpindah ke tangan YPG. Bahkan dalam beberapa kampanye militer, khususnya di utara Aleppo dan di al-Hasakah, telah ada kerjasama diam-diam antara YPG dan pasukan pemerintah Suriah melawan ISIS.

Harapan di Tanah Kurdistan Raya

"Tentu saja, sebuah Kurdistan yang independen akan datang” kata Masoud Barzani selaku Presiden Kurdi Irak saat berpidato di Dewan Atlantik.

Ya, sejak Saddam Hussein jatuh dan Irak menata lagi kehidupan sosial ekonomi politiknya, bangsa Kurdi Irak memiliki wilayah otonom sendiri yang meliputi tiga provinsi: Irbil, Dohuk, dan Sulaimaniyah lengkap dengan bendera nasional Kurdi lengkap dengan pasukan Peshmerga.

Disusul Kurdi di Suriah, kelompok di Rojava yang turut menumpas ISIS saat menguasai daerah mereka juga tengah menata sebuah negara baru. Rojava merupakan sebuah wilayah yang didirikan secara de facto sebagai daerah otonom bangsa Kurdi di sepanjang perbatasan antara Suriah dengan Turki, termasuk mencakup wilayah Kobani. Pasukan YPG dan YPJ yang menjaga tanah Rojava.

Dalam narasi nasional Kurdi, Rojava adalah salah satu dari empat bagian dari Kurdistan Raya, yang juga termasuk bagian dari Turki tenggara (Kurdistan Tenggara), Irak utara (Kurdistan Selatan), dan barat laut Iran (Timur Kurdistan).

Saat ini perhatian pemerintahan Suriah masih terkait ISIS. Dengan musuh yang sama tetapi sedikit berbeda kepentingan, pasukan di Rojava juga turut membantu menumpas ISIS. Turki yang hubungannya dengan Kurdi tidak begitu baik juga terpecah secara kebijakan mengenai keberadaan dan kebebasan Kurdi yang juga turut menumpas ISIS.

Februari lalu, militer Turki masih menembaki pejuang Kurdi di Kobani yang telah berhasil mengusir ISIS dari wilayah tersebut. Tujuan Turki menyerang mereka karena terkait Partai Pekerja Kurdi yang oleh Turki dianggap terlarang karena menyoal kemerdekaan.

Sedangkan di Irak, wilayah otonom Kurdi yang rencananya akan mengajukan referendum ke pemerintahan Irak masih tertunda lantaran baik Kurdi Irak dan pemerintahan Irak masih bersama-sama fokus menggempur ISIS.

Setelah dominasi ISIS mereda nanti, sejatinya baru bisa diketahui bagaimana sikap negara-negara Irak, Iran, Suriah, bahkan Turki. Apakah mereka kembali berbalik menekan dan menggempur etnis Kurdi seperti yang sudah terjadi, atau justru memberikan kemerdekaan.

Sudah cukup deretan diskriminasi, penindasan, hingga pembantaian yang dialami suku bangsa Kurdi. Data-data peristiwa di atas adalah sepenggal dari kekerasan terbaru yang dialami suku bangsa Kurdi. Mereka, para orang-orang Kurdi kebanyakan mulai hidup nomaden hingga akhir Perang Dunia I dan saat terputus dari Kekaisaran Utsmani.

Dari darah Kurdi, lahir pula Salahuddin Ayyubi seorang yang tentu sangat dikenal di kalangan Muslim maupun non-Muslim, Jalal Talabani seorang presiden Irak ke 6 sekaligus presiden pertama dari kalangan non-Arab, Dilsa Demirbag Sten yang seorang penulis dan jurnalis di Swedia, Bahman Ghobadi seorang sutradara film di Iran yang banyak membesut film-film perjuangan, dan masih banyak lagi orang-orang Kurdi berprestasi yang tersebar.

Perjuangan bangsa Kurdi tentu lebih lama dan jauh lebih berdarah dibanding Palestina. Lantas apa yang menyebabkan isu nasionalisme Kurdi tidak senyaring Palestina?

Baca juga artikel terkait IRAK atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti