Menuju konten utama

Bagaimana Para Presiden AS Mengeksploitasi Krisis Politik di Iran

Krisis politik yang terjadi di Iran kerap dimanfaatkan oleh AS.

Bagaimana Para Presiden AS Mengeksploitasi Krisis Politik di Iran
Kandidat presiden dari Partai Republik Donald Trump melambaikan tangan ke kerumunan setelah berbicara dalam sebuah demonstrasi yang menentang kesepakatan nuklir Iran di luar Capitol di Washington. AP/Susan Walsh.

tirto.id - Iran kembali jadi sorotan dunia dunia. Pada penghujung 2017, negeri Timur Tengah ini diguncang protes anti-pemerintah. Salah satu protes terbesar dalam dekade terakhir. Di tengah kondisi krisis politik, Presiden AS Donald Trump muncul dengan sejumlah cuitan kontroversial mendukung warga Iran.

“Protes besar di Iran. Orang-orang akhirnya berpikir bagaimana uang dan kekayaan mereka dicuri dan disia-siakan dalam terorisme. Sepertinya mereka tidak tahan lagi. Amerika Serikat sangat mengawasi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia,” cuit Donald Trump.

Cuitan Trump menuding pemerintah Iran telah menghabiskan uang dari pajak warganegara untuk mendanai teroris alih-alih mengalokasikan dana untuk kesejahteraan warga negaranya. Aksi protes masyarakat yang ditanggapi dengan kekerasan oleh aparat juga menjadi senjata Trump untuk menyerang Iran.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Bahsan Ghasemi menyatakan cuitan Trump "oportinistik".

Protes anti-pemerintah yang meledak di sejumlah kota di Iran dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan warga pada pemerintahan Hassan Rouhani. Masalah utamanya adalah ekonomi, mengingat warga kebutuhan pokok di Iran meningkat antara 30 persen hingga 50 persen dalam 10 tahun terakhir. Warga Iran dilaporkan kian miskin dalam dekade terakhir. Pekerjaan sulit didapat. Bahkan di beberapa wilayah, angka kemiskinan mencapai 60 persen.

Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Iran terganggu oleh sanksi-sanksi ekonomi AS. Menurut laporan BBC, sanksi ekonomi AS telah menghalangi perusahaan asing melakukan bisnis di Iran. Inflasi di Iran pun tergolong tinggi yaitu 11 persen pada 2016.

Di wilayah Qom, anak-anak muda yang menganggur turun ke jalan. Demonstrasi yang awalnya menyerukan perbaikan ekonomi ini pun segera berkembang menjadi protes anti-pemerintah.

Namun, seperti yang dilaporkan Reuters, Pemimpin Agung Iran Ayatollah Ali Khamenei menuding bahwa "musuh-musuh Iran menggunakan pelbagai cara termasuk uang tunai, senjata, politik dan intelijen untuk menciptakan masalah bagi Republik Islam Iran."

AS dalam Krisis Iran

Di saat pemerintah Iran tengah dipusingkan dengan aksi demonstrasi, Trump menambah persoalan dengan menjatuhkan sanksi baru Iran terkait nuklir—isu andalan AS dalam politiknya di Timur Tengah.

AS menjatuhkan sanksi kepada lima perusahaan Iran yang berada di bawah kontrol Shahid Bakeri Industrial Group. Perusahaan-perusahaan itu dituduh mengerjakan sebagian dari program rudal balistik ilegal Iran.

"Sanksi-sanksi ini menyasar entitas kunci yang terlibat dalam program rudal balistik Iran, yang lebih diprioritaskan oleh rezim Iran dibandingkan kesejahteraan ekonomi rakyat Iran. Ketika rakyat Iran menderita, pemerintah mereka dan anggota IRGC (Garda Revolusi Iran) mendanai militan asing, kelompok teroris, dan melanggar hak asasi manusia," kata Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.

Dalam cuitan lainnya, Trump juga menyindir Barack Obama yang dinilainya terlalu 'lembek' saat merespons aksi protes tahun 2009 di Iran. Saat itu Obama tampak sangat berhati-hati dalam menyikapi aksi protes terkait sengketa hasil pemilu yang memenangkan Ahmadinejad.

Obama tampak lambat dalam mengambil keputusan saat puluhan orang meninggal dan ratusan lainnya ditahan aparat dalam demonstrasi tersebut. Meski pada awalnya tak ingin ikut campur urusan domestik Iran soal pemilu 2009, pada waktu itu Obama tetap menjatuhkan sanksi paling berat terkait nuklir Iran.

Jauh sebelum kepemimpinan Trump dan Obama, Ronald Reagan telah memainkan politik luar negeri AS dalam Perang Iran-Irak tahun 1980-an. Setelah penyanderaan staf kedubes AS di Tehran mencoreng muka pemerintahan Jimmy Carter dan menjadi isu yang dieksploitasi Reagan dalam pemilu yang mengantarkannya ke Gedung Putih.

Reagan diam-diam mengizinkan penjualan senjata ke Irak guna membekingi Saddam Hussein dalam perang melawan Iran yang saat itu baru saja menggulingkan Shah. Bekal Reagan adalah laporan badan intelijen AS yang memperingatkan Irak bahwa bahwa negeri tersebut bakal dikuasai Iran.

Di hadapan publik, AS mengungkapkan bahwa pihaknya berada di posisi netral. Namun diam-diam, Reagan mengizinkan Israel memberikan bantuan dana serta persenjataan ke Iran. Seperti yang dilaporkan New York Times, AS mempersenjatai keduanya karena tak ingin ada yang mendominasi wilayah yang kaya minyak tersebut.

Infografik permainan trump

Kelemahan Iran yang Dimanfaatkan AS

Awalnya hubungan AS dan Iran tampak harmonis di bawah kepemimpinan Shah Mohammad Reza Pahlavi yang pro AS. Setelah Revolusi Iran pada 1979 yang menggulingkan Shah Pahlavi mundur, AS masih menjalin hubungan dengan Iran. Namun penyanderaan di Kedubes AS di Teheran tahun 1979 membuat hubungan kedua negara menjadi renggang.

Sejak penyanderaan itu, AS terus mencari peluang agar dapat mengontrol Iran seperti sebelum pada masa sebelum revolusi. Salah satunya dengan memanfaatkan permasalahan yang dihadapi Iran. Cara pandang ini tidak hanya dimiliki oleh para pejabat Deplu AS, tapi juga para penasihat kebijakan AS dan lembaga think-tank.

Tulisan Daniel Byman yang diterbitkan Brookings Institutions adalah salah satu contohnya. Tulisan bertajuk “Iran’s foreign policy weaknesses, and opportunities to exploit them” memaparkan berbagai kelemahan politik luar negeri Iran yang dapat dimanfaatkan termasuk AS.

Menurut Byman, pertama meski disebut sebagai 'monster kuat dari Timur Tengah,' Iran terus diterpa berbagai masalah di dalam dan luar negeri. Salah satu alasan kuat Byman adalah protes-protes terhadap pemerintah Iran mengindikasikan minimnya popularitas rezim Mullah di masyarakat Iran sehingga dapat dimanfaatkan lawan-lawan Iran untuk proyek pergantian rezim.

Kedua, sistem pemerintah ganda membuat permasalahan di dalam tubuh rezim. Iran memiliki presiden dan Pemimpin Agung yang kuat. Pemimpin Agung memiliki hak veto dalam pengambilan keputusan presiden Iran. Menurut Daniel, siapapun yang mengambil alih kekuasaan tak jarang memunculkan pergolakan antara elit yang bersaing.

Ketiga, sanksi yang dijatuhkan ke Iran melemahkan ekonomi negara tersebut. Sayangnya, ekonomi Iran kian terpuruk lantaran korupsi. Selain ekonomi lemah, Iran juga memiliki kekuatan militer yang terbatas. Meski acap kali diberitakan memiliki kemampuan militer yang kuat, pada dasarnya alutsista Iran banyak yang telah berumur. Iran hanya mengandalkan alutsista yang berasal dari Rusia, Cina, dan rudal dari Korea Utara.

Berikutnya, soft power Iran cukup terbatas dan hanya memiliki sedikit teman. Iran mendapat dukungan karena menjadi garda utama yang melawan rezim Israel dan Amerika. Kelemahan-kelemahan ini, menurut Byman, rentan dimanfaatkan AS.

Namun Iran memahami politik AS dan dinamika politik Internasional. Meski krisis Iran kerap dieksploitasi AS, dalam sejarah Iran pasca-Revolusi terkenal liat mengatasi tekanan AS. Pasalnya, sanksi selalu dijatuhkan secara unilateral alih-alih menggandeng negara-negara ekonomi kuat dunia termasuk Cina.

Namun kini sanksi multilateral pun nampaknya mustahil melihat perkembangan geopolitik hari ini di Timur Tengah yang sangat menguntungkan Iran.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI IRAN atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Politik
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf