tirto.id - Sekitar 1.600 orang mendaftarkan diri untuk menjadi presiden Iran dalam pemilihan yang akan berlangsung pada 19 Mei mendatang. Mahmoud Ahmadinejad, mantan presiden Iran tahun 2005-2013, menjadi salah satu yang ikut mendaftar.
Namun, televisi pemerintah Iran mengungkapkan bahwa lembaga penyeleksi calon presiden mendiskualifikasi mantan presiden Mahmoud Ahmadinejad yang kembali mencalonkan diri dalam pemilu presiden tersebut. Anehnya, pihak lembaga penyeleksi tak menyebutkan alasan Ahmadinejad dicoret.
Pencalonan Ahmadinejad memang mengejutkan negara tersebut. Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei bahkan sebelumnya mendesak Ahmadinejad agar tidak mencalonkan diri. Sehingga ketika Ahmadinejad ngotot untuk mendaftarkan diri, ia dituding mengabaikan imbauan Khamenei.
Namun, ternyata banyak kelompok garis keras di Iran yang mengungkapkan bahwa mereka kesulitan mencari kandidat yang tepat khususnya yang mampu mengimbangi presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan jejak kampanye “sikap kerasnya” terhadap Iran. Sehingga sosok Ahmadinejad yang terkenal lantang kepada Amerika Serikat dianggap tepat untuk memimpin Iran.
Dari Kawan Jadi Lawan
Iran dan Amerika Serikat memiliki sejarah hubungan yang cukup panjang. Dalam The Cambridge History of Iran Vol 1B tahun 2008 diungkapkan bahwa hubungan baik antara dua negara ini terjalin di masa Shah Reza Pahlevi. Namun, setelah lebih dari 20 tahun menjalani hubungan yang baik, muncul semangat nasionalisme untuk meruntuhkan Shah Reza Pahlevi dan mengusir Amerika Serikat.
Gerakan revolusi berhasil menggulingkan Shah Pahlevi dan menghancurkan persekutuan Iran dan Amerika Serikat. Hubungan antara Iran dan Amerika Serikat semakin memanas pada tahun 2005 saat Ahmadinejad terpilih menjadi presiden Iran.
Amerika menyebut Iran sebagai negara pendukung terorisme dunia sedangkan Iran menyebut Amerika Serikat sebagai the great satan. Ahmadinejad yang merupakan generasi Syiah dengan lantang menentang intervensi serta hegemoni yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Perjuangan yang sebelumnya juga dilakukan oleh Ayatullah Khomeini.
Ia juga menekankan kemandirian Iran serta membuat beberapa kebijakan yang mengundang reaksi dari Amerika Serikat dan sekutunya. Misalnya soal kebijakan nuklir Iran di bawah kepemimpinan Ahmadinejad.
Ahmadinejad mempertahankan kebijakan nuklir sipil yang kembali dikembangkan pada 2005 meski ditentang oleh Amerika Serikat. Program konvensi uranium dilakukan kembali bukan untuk senjata nuklir, tapi untuk listrik tenaga nuklir. Tujuannya agar warga Iran mendapatkan listrik yang murah.
Namun, Amerika Serikat menuding program kebijakan Ahmadinejad sebagai program senjata nuklir. Amerika Serikat juga menyerukan dan menuntut respons dari PBB. Apa yang dilakukan Iran, oleh Amerika Serikat dianggap dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Ahmadinejad yang keras kepala tak peduli. Ia tetap menjalankan proyeknya. Program nuklir Iran ini kemudian membuat negara tersebut menuai berbagai embargo serta sanksi.
Sesungguhnya penentangan Amerika terhadap nuklir Iran berhubungan juga dengan Israel, sekutu AS yang merasa terancam. Ahmadinejad pernah membuat pernyataan keras saat membela bangsa Palestina. Ia menyebut Israel harus dihapus dari peta dunia.
Di tahun 2012, ia kembali membuat pernyataan keras soal Israel. Dari hotel di Manhattan, ia menyebut Israel tak memiliki “akar” di Timur Tengah dan akan segera hancur.
“Iran sudah ada di Timur Tengah sejak tujuh atau 10.000 rahun. Israel menjajah wilayah ini selama 60 atau 70 tahun dengan dukungan Barat. Israel tak memiliki akar sejarah,” kata Ahmadinejad seperti dikutip Reuters.
“Kami bahkan tidak menganggap Israel dalam sisi mana pun memiliki kesamaan dengan Iran. Dalam proses sejarah, Israel mewakili kelompok kecil yang masuk ke dalam sebuah gambar besar dan mereka akan dihancurkan,” lanjut Ahmadinejad.
Tak hanya itu, Ahmadinejad juga menentang Amerika Serikat yang selalu ikut campur dengan segara urusan Iran, termasuk mengajak negara-negara Arab bersatu bersama Amerika melawan kebijakan-kebijakan Ahmadinejad. Tak mau kalah dengan langkah Amerika Serikat, Ahmadinejad menyerukan adanya persatuan negara-negara regional, seperti dikatakannya dalam wawancara denganAl Jazeera.
“Semua harus mengubah kebijakan mereka, termasuk Arab Saudi, Turki, Qatar, Kuwait, UEA dan Bahrain serta Iran, Oman dan Suriah. Kita semua harus mengubah kebijakan luar negeri saat ini. Kita harus duduk bersama. Mengapa kita saling bertarung? Apa alasannya?” ujar Ahmadinejad.
Kini, meski sudah tak lagi memimpin Iran, ia tetap pada pendiriannya melawan hegemoni Amerika Serikat. Sejak kemunculannya kembali ke panggung politik Iran pada 2015 setelah meninggalkan kursi presiden di tahun 2013, Ahmadinejad dianggap menjadi ancaman bagi Amerika Serikat. Hal ini tak lepas dari pernyataan-pernyataan frontal yang kembali ia tujukan untuk Paman Sam.
“Satu yang tak boleh dilupakan bahwa AS adalah musuh kita,” kata Ahmadinejad seperti dikutip Al Arabiya.
Amerika Serikat dapat sedikit bernapas lega karena langkah Ahmadinejad untuk kembali memimpin Iran kandas, setelah didiskualifikasi oleh panitia penyeleksi calon presiden Iran.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani