tirto.id - Anda masih ingat jurnalis Irak yang melempar sepatu ke Presiden Amerika Serikat George W. Bush di tengah konferensi pers di Baghdad medio Desember 2008 silam?
Nama pelakunya Muntadhar al-Zaidi. Ia seorang jurnalis stasiun independen Al-Baghdadia TV, sekaligus orang yang geram dengan invasi serta pendudukan militer AS di negeri kelahirannya. Konferensi pers itu ia anggap sebagai kesempatan untuk melempar pesan khusus ke politisi yang ia juluki “si pembunuh”.
Zaidi duduk di posisi agak ke belakang, kurang lebih berjarak lima bangku dari podium Bush dan Perdana Menteri (PM) Irak Nouri al-Maliki. Zaidi tiba-tiba berdiri dan berteriak “Ini ciuman perpisahan dari rakyat Irak, dasar kau anjing”.
Sepatu pertamanya dilempar deras ke arah Bush. Bush bisa mengelak dengan cara menunduk.
Kurang dari sedetik kemudian Zaidi mencopot satu sepatu lagi, melemparnya lagi ke Bush, kali ini diiringi teriakan “Ini untuk janda-janda dan anak yatim dan seluruh orang yang terbunuh di Irak!”.
Kendati upaya PM al-Maliki melindungi Bush gagal, namun Bush tetap bisa menghindar. Sepatu Zaidi mengenai bendera AS yang ditegakkan di belakang kedua pemimpin negara.
Para pengawal berbadan tegap keluar dari ruangan sebelah. Beberapa yang berada di ruangan konferensi pers, termasuk jurnalis yang duduk di sebelah Zaidi, mencekalnya hingga terjatuh. Zaidi sempat ditendangi, lalu digelandang ke ruang pengamanan, demikian insiden yang terekam awak Associated Press.
Zaidi kemudian diserahkan ke militer Irak dan dibawa ke pengadilan. Ratusan pengunjuk rasa yang bersimpati pada Zaidi turun ke jalan untuk menuntut pembebasan Zaidi. Namun proses hukum tetap berjalan.
Di depan hakim ia mengaku marah melihat senyum Bush selaku “presiden penjajah”, demikian kutip Guardian. Zaidi mengaku dirinya seakan tak bisa melihat seluruh objek di ruangan konferensi. Di matanya hanya ada Bush. Itu pun bukan sebagai sosok manusia, melainkan secercah noda hitam.
“Saya merasa bahwa darah orang-orang tak berdosa mengalir deras ke kaki saya selama dia (Bush) tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal ke Irak dengan makan malam (dengan Maliki dan jajaran elite politisi Irak lain),” imbuhnya.
Pada 20 Februari 2009, Zaidi menerima pembacaan keputusan selama 90 menit. Hasilnya, ia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena menyerang seorang kepala negara asing selama kunjungan resmi.
Sebagaimana dilaporkan Washington Post, pada 7 April 2009 hukuman untuk Zaidi berkurang menjadi satu tahun. Didasarkan pada kelakuan baik, Zaidi hanya perlu menjalani masa tahanan selama sembilan bulan.
Usai mencecap udara kebebasan, Zaidi lebih banyak menghabiskan waktu di luar Irak, terutama di Beirut, Lebanon. Kepada media ia sempat menyatakan ingin membangun panti asuhan, rumah sakit anak-anak, pusat medis dan ortopedi yang menawarkan pengobatan gratis.
Awal tahun ini, sekembalinya ke tanah air, Zaidi menjajaki rencana baru: jadi politisi.
Menurut The National, pada 12 Mei mendatang Irak akan menyelenggarakan pemilihan umum keempat sejak 2003, atau yang pertama sejak 2014. Zaidi diusung Sa'eriun, sebuah koalisi politik yang terdiri dari gabungan enam partai politik. Persaingannya cukup ketat. Ia harus memenangi satu dari 329 kursi yang diperebutkan oleh hampir 7.000 kandidat.
“Dengan mencalonkan diri untuk pemilihan umum, saya berjanji untuk memastikan bahwa kesalahan Amerika akan diperbaiki, yakni kesalahan mereka dalam menciptakan pemerintahan sektarian yang korup,” kata lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Baghdad ini.
Zaidi memiliki semangat “memberantas korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang lebih berintegritas, transparan, dan bermutu”. Yang diinginkan Zaidi masuk akal, sebab menurut indeks korupsi Transparency International, pada 2017 Irak berada di posisi 166 dari 176 negara.
Ia ingin mengesahkan aturan yang membuka rekening orang-orang yang membawa kekayaan dan propertinya ke luar negeri secara ilegal, lalu menyitanya untuk kepentingan Irak. Untuk janji yang berani ini, ia juga bersumpah takkan mau disogok atau menerima sokongan dalam bentuk apapun dari orang-orang korup.
Irak yang dibayangkannya adalah negara pluralistik dengan pemerintahan sekuler alias bebas dari intervensi agama. Zaidi menilai pemerintahan sebelumnya belum mengarah ke visi tersebut, alih-alih cuma menciptakan perang, konflik, dan perpecahan sektarian. Zaidi memilih tidak berafiliasi dengan negara tetangga, parpol, maupun gerakan massa yang berideologikan agama.
Zaidi tak memungkiri dirinya menggunakan kasus pelemparan sepatu sebagai salah satu jalan menaikkan popularitas. Keberanian Zaidi dulu pernah diabadikan dalam sebuah monumen berbentuk sepatu raksasa berwarna cokelat, berlaku juga sebagai pot tanaman, di areal panti yatim-piatu di Tikrit, Provinsi Salahadin, Irak.
Dalam laporan Januari 2009, CNN mengutip pendapat sang seniman pembuat monumen, Abdulqader al-Naseri, yang menyatakan karya senilai $5.000-nya itu dipersembahkan untuk korban kekejaman Bush.
Naseri ingin generasi muda terus mengingat keberanian Zaidi. Minimal bertanya kepada orang tua masing-masing tentang makna monumen tersebut, lalu mendapat jawaban tentang Zaidi, kata Naseri.
Sayangnya monumen tersebut diturunkan oleh otoritas setempat, sehari usai upacara pembukaan. Pemerintah Provinsi Salahadin mengatakan perintahnya datang dari pusat, yang ingin gedung atau fasilitas milik pemerintah dipakai untuk kepentingan politis.
Seni Menghina ala Arab
Insiden pelemparan sepatu ke arah politisi yang dibenci telah terjadi puluhan kali, di berbagai negara, terutama di kawasan Timur Tengah.
Presiden Iran ke-6 Mahmoud Ahmadinejad, contohnya, pernah mengalaminya saat sedang berkunjung ke Mesir pada Februari 2013. Saat sedang menemui kerumunan warga, seorang laki-laki mengacungkan sepatu lalu melemparkannya ke arah Ahmadinejad. Sepatu itu tak mengenai sasaran utama dan hanya mendarat di punggung seorang pengawal presiden.
Salah satu produser CNN, Mohammed Tawfeeq, berada di tempat kejadian pelemparan sepatu Zaidi. Kepada rekan satu medianya, Alan Duke, ia bercerita bahwa kebiasaan melempar sepatu adalah salah satu bentuk penghinaan terburuk bagi masyarakat Arab. Sepatu itu kotor, kata Tawfeeq, sehingga melempar sepatu dianalogikan bak melempar kotoran.
Profesor Faegheh Shirazi dari Studi Timur Tengah Universitas Texas menyepakatinya. Menurut Shirazi, sepatu adalah objek yang bisa dipakai untuk menghina oleh masyarakat lintas agama di Arab. Baik sekedar diacung-acungkan, terutama bagian alas luar apalagi dilempar ke muka, hinaan sepatu “dianggap sebagai penghinaan serius dan upaya meremehkan orang lain.”
Penafsiran lain dikaitkan dengan sepatu yang dianggap sebagai simbol kekayaan pada zaman dahulu. Orang-orang miskin tak memakai sepatu karena tak mampu membelinya. Kaki mereka pun tercemar kotoran. Kotoran itu menandakan status rendahan baik di “level kelas ekonomi, level pendidikan, maupun level kecerdasan,” lanjut Shirazi.
“Barangkali juga berkaitan dengan hierarki anggota tubuh. Hubungan antara kepala dan kaki, kepala berada di atas dan tidak menyentuh tanah dan kotoran. Kepala membawa status yang lebih bergengsi dibandingkan dengan kaki—yang seringkali dibiarkan telanjang," pungkasnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf