Menuju konten utama

Dirty Wars: Nubuat Kegagalan AS Memerangi Terorisme

Film ini menunjukkan bagaimana proyek Perang Melawan Terorisme nyaris mustahil dimenangkan AS.

Cuplikan film dokumenter Dirty Wars karya jurnalis Jeremy Scahill tentang investigasi perang di Afghanistan. FOTO/IFC

tirto.id - Adegan dibuka dengan perjalanan jurnalis Jeremy Scahill melintasi gelapnya malam di jalanan Afganistan. Setibanya di suatu tempat, Scahill bertemu seorang kawan. Udara dingin memaksanya bergegas masuk ke sebuah ruangan. Sesampainya di dalam, peralatan sudah disiapkan: Scahill mulai berkisah tentang betapa brutalnya operasi anti-teror AS.

Dirty Wars—begitu judul filmnya—merupakan sajian dokumenter besutan Jeremy Scahill dan Richard Rowley. Film ini diangkat dari kisah dalam buku Scahill, Dirty Wars: The World is a Battlefield (2013). Scahill, jurnalis investigasi perang di majalah The Nation dengan pengalaman di Yugoslavia hingga Irak, mulai menggarap film ini sejak 2010.

Secara keseluruhan, Dirty Wars menggambarkan perjalanan Scahill menyelidiki sepak terjang unit militer elit Komando Operasi Gabungan Khusus (JSOC) dalam konteks Perang Melawan Teror (Global War on Terror) yang digaungkan Amerika Serikat. JSOC adalah aktor utama dalam penyergapan Osama bin Laden pada 2011.

Kathryn Bigelow—sutradara perempuan asal Amerika—bahkan membuatkan film untuk mereka, Zero Dark Thirty (2012), yang semakin melambungkan popularitas JSOC di antara unit-unit lainnya.

Sebelumnya, JSOC merupakan pasukan rahasia yang bergerak dalam operasi-operasi penyelamatan sandera sejak 1980. Tak ada informasi memadai mengenai pasukan ini mulai dari pendanaan, jumlah pasukan, metode yang digunakan, sampai ruang lingkup dan aktivitasnya.

Di bawah pemerintahan Bush Jr. dan Obama, JSOC berubah tugas. Dengan jargon “temukan, pastikan, dan selesaikan” JSOC tanpa pandang bulu menghabisi pelaku teroris sesuai daftar yang disusun pemerintah AS, tak terkecuali wanita dan anak-anak yang ada di sekitarnya.

Scahill menyusuri tiap daerah operasi JSOC, mengorek informasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam misi JSOC. Jalalabad, Gardez, Somalia, hingga Washington adalah beberapa wilayah yang ia kunjungi.

Baca juga: Sejak 2010, Polisi Menjadi Target Serangan Teroris

Fokus Scahill dalam pencarian informasi terbagi atas dua hal. Pertama, orang yang mewakili badan negara dan organisasi non-negara seperti agen CIA, regu Pasukan Khusus, jenderal militer, sampai panglima perang dari kelompok milisi yang mendukung pemerintah Amerika dalam proyek anti-terorisme. Kedua, Scahill juga mengunjungi langsung keluarga korban guna mengkonfirmasi peristiwa-peristiwa di sekitar operasi anti-terorisme.

Di Jalalabad, Scahill menjumpai seorang petugas kepolisian lokal dan berbincang soal pembunuhan yang menewaskan 14 warga sipil di distrik itu. Di Gardez Scahill menemui keluarga korban penembakan pasukan AS. Lima warga sipil termasuk dua wanita hamil tewas dihantam peluru sebab diduga memiliki hubungan dengan kelompok Taliban atau Al-Qaeda.

Scahill pun mengorek informasi dari Senator Ron Wyden dan Jenderal Hugh Shelton yang menjabat Kepala Staf JSOC, mengurai sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam kasus pembunuhan yang menewaskan warga sipil.

Tak ketinggalan pula, Scahill menemui orang-orang Somalia yang terlibat dalam operasi JSOC, yakni Idnha Adde dan Afrah Qanraye. Somalia adalah salah satu negara yang mendukung kampanye anti-terorisme AS. Dalam sebuah wawancara, Scahill menekan Qanraye untuk mengungkapkan detil sejumlah operasi. Namun Qanraye justru meminta Scahill untuk bertanya langsung kepada pemerintah AS. “Amerika mengetahui perang itu. Mereka maestro perang,” kata Qanraye.

Baca juga: Bacha Bazi, Prostitusi Anak Terselubung di Afganistan

Perjalanan ke Yaman mempertemukan Scahill dengan keluarga Anwar al-Awlaki, salah seorang pimpinan Al-Qaeda yang tewas dalam operasi militer. Dalam adegan ini, diperlihatkan bagaimana transformasi al-Awlaki dari seorang ustadz yang dipromosikan oleh AS sebagai simbol muslim moderat menjadi seorang militan setelah menyaksikan terbunuhnya penduduk sipil dalam operasi-operasi militer AS di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.

Tewasnya al-Awlaki mungkin tak mengagetkan. Sejak bergabung dengan Al-Qaeda, ia memang jadi target. Namun tewasnya putra al-Awlaki yang juga warga negara Amerika (lahir di Denver) akibat serangan pesawat tanpa awak meyakinkan Scahill bahwa tindakan militer di luar batas kewajaran.

Dirty Wars mengingatkan kita akan film-film bertema serupa seperti Gaza Strip (2002), Iraq in Fragment (2006), sampai Restrepo (2010). Meski dibuat dengan pendekatan berbeda, film-film ini memiliki pesan yang sama: terorisme dan operasi kontra-terorisme adalah lingkaran setan yang semakin banyak menelan korban.

Perang Melawan Teror yang Memperkeruh Keadaan

Serangan yang menghancurkan menara kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001 telah membuat Amerika Serikat murka. Presiden Bush menyatakan perlawanannya terhadap terorisme seraya mengajak negara-negara lain melakukan hal serupa.

Upaya demi upaya dilakukan secara intensif oleh pemerintah Amerika. Tekanan diplomatik pun dilancarkan: sanksi ekonomi sampai politik. Sumber daya dikerahkan agar para pelaku teror dapat diringkus keberadaannya. Pada 8 Oktober 2001, untuk kali pertama Bush mengerahkan armada militernya untuk menyerang Afganistan lewat jalur udara.

Sekertaris Negara waktu itu Colin Powell menyatakan bahwa permasalahan terorisme tidak bisa diselesaikan dalam sekali serangan. Akan tetapi, untuk menyelesaikan masalah tersebut akan mengakibatkan konflik berkepanjangan. Dan kenyataannya memang demikian. Deretan negara yang menjadi target operasi bertambah di samping kuantitas kelompok teror terus naik mengiringi.

Perang melawan terorisme terus digaungkan Amerika Serikat bersama aliansi internasional. Kebijakan ini berlangsung dari era Bush sampai Obama. Namun, apakah operasi militer dalam melawan terorisme membuahkan hasil sesuai ekspektasi Amerika? Sayangnya tidak.

Baca juga: AS Jatuhkan Bom Non-nuklir Terbesar di Afganistan

Rand Corporation dalam studinya menjelaskan bahwa fenomena teror berskala global menuju arah yang berbahaya. Laporan yang dikeluarkan pada Juni lalu menyebutkan pada 2007 terdapat 28 kelompok jihad sejenis Al-Qaeda. Jumlahnya meningkat menjadi 49 pada tahun 2013.

Kelompok-kelompok tersebut telah melakukan total 100 serangan pada 2007. Jumlah serangan naik drastis menjadi 950 pada 2016. Masih dalam laporan yang sama, jumlah pelaku teror aktif mencapai 18 hingga 42 ribu pada 2007. Dalam perkiraannya yang terakhir, jumlah pelaku teror mencapai 105 ribu.

Rand menyimpulkan bahwa sejak 2010 jumlah kelompok jihad telah meningkat sebesar 58 persen dengan intensitas serangan teror sebanyak dua sampai tiga kali lipat yang dilakukan afiliasi kelompok Al Qaeda. Persebaran pelaku teror berada di Yaman, Suriah, Afganistan, sampai Pakistan. Serangan-serangan ini menyasar orang, fasilitas, atau simbol yang diidentikkan dengan Amerika.

Menurut laporan terorisme yang dirilis Departemen Luar Negeri AS pada 2013, terdapat lonjakan peristiwa terorisme secara global. Berdasarkan laporan tersebut, jumlah korban yang tewas menyentuh angka 18 ribu, sedangkan 33 ribu lainnya luka-luka sepanjang 2012 sampai 2013.

Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa ancaman lain muncul dari kelompok ekstremis di Suriah, yang diperkirakan berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Jika kondisi demikian dibiarkan, Perang Melawan Teror akhirnya justru terbukti melipatgandakan aksi terorisme.

Ivo H. Daalder dan James M. Lindsay dari Brookings Institute berpendapat bahwa kebijakan Perang Melawan Terorisme sejak pemerintahan Bush mengandung kesalahan fatal. Tak jarang pula, kebijakan tersebut justru merusak keadaan, misalnya menyerang dan mendestabilisasi negara-negara (Afganistan, Iraq, Suriah, Pakistan) yang akhirnya menyediakan pra-kondisi untuk berkembangnya kelompok-kelompok teroris.

Daalder dan Lindsay melanjutkan, setidaknya ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil Amerika berkaitan dengan perang melawan terorisme. Pertama adalah "sikap narsisisme nasional" yang menjadi penyakit kambuhan pemerintah AS. Sikap ini ditunjukkan dengan kecurigaan atas apapun yang terjadi di dunia internasional dan perasaan mampu menyelesaikan konflik tanpa bantuan negara lain. Akibatnya, AS seringkali melakukan tindakan militer sepihak, sebagaimana yang biasa dilakukannya semasa Perang Dingin.

Baca juga: Fatwa Haram Terorisme yang Tak Mempan Redam Aksi Teroris

src="//mmc.tirto.id/image/2017/09/23/dirty-wars--MILD--Quita-01.jpg" width="860" alt="infografik dirty wars" /

Dari kasus-kasus seperti Perang Vietnam, intervensi di Kuba, hingga pendudukan di Irak, pendekatan militer telah terbukti menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kendati mempertegas kesan superpower, dalam jangka panjang pendekatan militer untuk membereskan terorisme justru kontraproduktif. AS membutuhkan penegakan hukum yang lebih baik, mengutamakan diplomasi multilateral, serta penerapan sanksi tegas.

AS pun harus mencegah penciptaan ancaman baru. Hal mendesak yang mesti dilakukan adalah mengakhiri siklus kekerasan di negara-negara yang menjadi target operasi terorisme seperti Afganistan, Pakistan, dan Somalia. Ancaman destabilisasi di Afganistan merupakan ancaman nyata. Perang AS-Taliban yang terjadi hampir selama lebih dari dua dekade telah memaksa lebih dari 1,5 juta pengungsi dan menyebabkan ratusan ribu lainnya kelaparan dan kehilangan rumah.

Operasi militer Amerika Serikat disinyalir akan memperburuk keadaan, terlepas dari pendekatan-pendekatan non-militer seperti pemberian bantuan kemanusiaan. Di sisi lain, peneliti Rand Corporation Seth Jones mengatakan ancaman terorisme membuat Amerika Serikat tidak dapat menarik diri dari gejolak politik di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan.

Posisi AS di mata internasional pun memburuk. Terlebih bagi banyak warga muslim, Perang Melawan Teror memicu rasa antipati kepada Amerika. Menurut Zbigniew Brzezinski, mantan penasehat keamanan nasional Jimmy Carter, perang melawan terorisme pada dasarnya hanya memberikan label 'teroris' kepada warga sipil Arab dan Timur Tengah.

Sejak zaman Bush sampai Obama, kontra-terorisme masuk ke dalam prioritas kebijakan keamanan AS dan telah berlangsung selama 16 tahun, melampaui ambang psikologis yang dipancangkan durasi Perang Vietnam (8 tahun). Selama pendekatan yang kurang tepat tepat terus diterapkan, Amerika Serikat, ucap Scahill dalam Dirty Wars, “hanya akan menambah jumlah teroris.”

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Film
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf
-->