tirto.id - Selama tahun 2016, aparat kepolisian telah menangkap puluhan terduga teroris, bahkan di antaranya terdapat seorang wanita. Salah satunya Dian Yulia Novi yang siap menjadi "pengantin" alias pelaku bom bunuh diri di Istana Negara. Rencana tersebut berhasil digagalkan oleh aparat kepolisian yang meringkusnya, pada 10 Desember lalu.
Dalam wawancara eksklusif dengan TV One yang disiarkan pada Selasa (13/12/2016), Dian mengaku pertama kali bersinggungan dengan kelompok radikal melalui situs pertemanan Facebook. Lewat media sosial ini, ia bertemu dengan Nur Solihin yang akhirnya menjadi suaminya.
Solihin sendiri sengaja menikahi Dian untuk merekrutnya sebagai pelaku bom bunuh diri. Solihin mengaku kalau motif dirinya menikah lagi lantaran Dian berkeinginan menjalankan tugas amaliyah istisyhadiyah yang dipahami sebagai pengorbanan nyawa untuk agama.
Doktrin bahwa bom bunuh diri sebagai bagian dari jihad sebenarnya bukan hanya baru. Misalnya Dani Dwi Permana (18) dan Nana Maulana (25) yang direkrut Saefudin Zuhri sebagai pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marrriott dan Hotel Ritz-Carlton pada tahun 2009. Dalam video pengakuan sebelum meledakkan diri, mereka meyakini apa yang dilakukannya sebagai bantuk dari jihad.
Padahal, pada 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa bom bunuh diri bukan bagian dari jihad. Dalam fatwa yang ditandatangani pada 24 Januari 2004 itu, MUI secara tegas mengharamkan aksi terorisme dan menegaskan bahwa hukum melakukan bom bunuh diri bukan jihad.
Dalam fatwa tersebut, MUI juga menegaskan perbedaan jihad dan terorisme yang kerap disalahgunakan oleh kelompok teroris dalam merekrut anggota. MUI secara eksplisit membedakan pengertian dan bentuk antara terorisme dan jihad.
Misalnya, MUI memberikan pengertian bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan jihad memiliki pengertian segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya.
Dari pengertian tersebut, maka MUI membedakan perbedaan antara keduanya. Jika terorisme bersifat merusak dan anarkis, maka jihad bersifat melakukan perbaikan, sekalipun dengan cara peperangan. Perbedaan lainnya, jika terorisme bertujuan untuk menciptakan rasa takut atau menghancurkan pihak lain, maka jihad justru menegakkan agama atau membela hak-hak pihak yang terzalimi.
Selain itu, perbedaan lain antara keduanya adalah jika terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas, maka jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas.
Karena itu, dalam fatwa MUI tersebut disimpulkan bahwa hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara. Sebaliknya, hukum melakukan jihad adalah wajib.
Selain itu, MUI juga menggrisbawahi bahwa bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan dan mencelakakan diri sendiri, baik dilakukan di daerah damai maupun di daerah perang.
Sayangnya, fatwa MUI tersebut tidak menjadi gerakan masif sehingga doktrin bahwa bom bunuh diri merupakan bagian dari jihad masih menjadi senjata ampuh kelompok teroris untuk meyakinkan pengikutnya. Contoh paling mutakhir adalah penggerebekan empat terduga teroris di wilayah Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, pada Minggu (25/12/2016).
Dalam penggerebekan tersebut, petugas menemukan surat yang isinya berupa kesediaannya untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. “Ada beberapa barang bukti yang kami peroleh. Ada golok dan surat terkait amaliah bersedia untuk menjadi pengantin,” kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, Inspektur Jenderal Polisi Anton Charliyan, seperti dikutip Antara.
Efektifitas Fatwa MUI
Direktur Aliansi Damai Indonesia (AIDA), Hasibullah Satrawi menilai, fatwa MUI tetap ada pengaruhnya pada pencegahan merebaknya paham radikalisme yang mengarah pada aksi teror. Hanya saja, pengaruh fatwa tersebut berlaku bagi kelompok tertentu yang levelnya hanya terpapar paham radikal, tapi belum mengarah pada tindakan teror.
Akan tetapi, fatwa MUI ini tidak akan berpengaruh banyak pada mereka yang levelnya sudah menganggap terorisme sebagai jalan perjuangannya, terlebih pada mereka yang sudah levelnya ideolog.
“Karena kalau sudah berada dalam level ini, tidak akan mau menerima input pengetahuan dari luar. Keilmuan mereka soal konsep jihad eksklusif, karena itu fatwa MUI tidak bisa menembus kelompok ini,” kata alumnus Universitas Al Azhar, Kairo Mesir ini pada Tirto.id.
Namun demikian, bukan berarti fatwa MUI tidak berefek apa-apa. Menurut dia, justru fatwa MUI terkait terorisme penting sebagai upaya penanggulangan atau pencegahan propaganda terorisme yang kian marak. Karena itu, penanggulangan terorisme ini harus komprehensif, melibatkan berbagai elemen sesuai proporsinya masing-masing.
Ia mencontohkan apa yang dilakukan AIDA dalam kampanye perdamaian bagi para remaja yang rentan terpapar ideologi radikal. Menurut dia, pendekatan yang dilakukan lembaganya adalah pendekatan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, AIDA menghadirkan korban bom terorisme untuk berbagi pengalaman dengan anak-anak muda agar mereka menyadari bahwa aksi terorisme berdampak fatal pada korban. Menurut Hasibullah, para remaja yang rentan terpengaruh dan mudah direkrut oleh kelompok teroris ini harus mengetahui akibat aksi terorisme tersebut.
Namun, lanjut Hasibullah, dalam level pemahaman dan doktrin terkait konsep jihad yang seringkali disalahartikan, ia menganggap keberadaan lembaga lain seperti organisasi kemasyaratakan, akademisi juga penting untuk memberikan pemahaman ini. Artinya, untuk menangkal kejahatan terorisme ini perlu kerja sama yang kuat dari berbagai elemen dengan porsinya masing-masing. Karena fatwa MUI saja ternyata tak cukup kuat menahan aksi radikalisme.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti