tirto.id - Sejak 30 November lalu, beragam video seperti kumandang azan—panggilan salat untuk muslim—beredar di media sosial dan viral. Disebut 'seperti' karena memang tak sama persis. Frasa “hayya 'alash sholah” diubah menjadi “hayya ala jihad”, lalu dijawab dengan seruan yang sama dan takbir oleh makmum.
Setidaknya ada delapan video berbeda. Ada video yang berisi orang-orang memegang parang, samurai, dan keris. Ada juga yang merekam semua orang menggunakan baju putih tanpa satu pun pakai masker.
Dua dari delapan video merekam seorang muazin berambut panjang kekuningan yang diduga Bahar Smith, terpidana pelaku kekerasan terhadap anak yang belakangan dijebloskan kembali ke penjara setelah bebas. Bahar juga yang diduga pertama kali menyerukan jihad lewat azan pada 29 November malam, meski frasa “hayya ala jihad” sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama Salman al-Audah. Ia dikenal tokoh Islam garis keras di Saudi Arabia.
Bahar meminta semua pihak—orang-orang di masjid, musala, majelis taklim, hingga pondok pesantren—untuk siap berjihad jika terjadi apa-apa kepada pentolan FPI Rizieq Shihab dan menantunya Hanif Alatas. Sampai naskah ini ditulis, Rizieq dan Hanif direncanakan diperiksa oleh Polda Metro Jaya terkait kasus kerumunan yang terjadi di Petamburan beberapa waktu lalu—pasca-kepulangan Rizieq dan saat pernikahan Hanif. Per 1 Desember, keduanya belum memenuhi panggilan kepolisian alias masih mangkir.
Seruan itu muncul lagi di Petamburan, Jakarta, markas FPI. Kali ini di ruang terbuka, pada Rabu 2 Desember. Seruang muncul dari FPI saat tengah menjaga ketat markas mereka yang sedang menyelenggarakan Dialog Nasional 212—salah satu pembicara tak lain adalah Rizieq.
Terkait seruan azan 'jihad' di Petampuran, Wakil Sekretaris Umum FPI Aziz Yanuar bilang itu wajar belaka sebab apa yang dilihat para simpatisan atau pengikut FPI adalah adanya ketidakadilan terhadap “ulama dan habaib”.
Sementara terkait video lain, hingga Selasa (1/12/2020) lalu, polisi bilang masih menyelidikinya. “Sedang diselidiki, lokasinya sedang diselidiki,” kata Karo Penmas Humas Polri Awi Setyono, dikutip dari Antara.
Tandingi
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid menegaskan bahwa “jihad dalam negara seperti Indonesia ini tidak bisa diartikan sebagai perang,” dikutip dari Antara. Masalahnya, menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, makna jihad yang muncul dalam video itu memang dikerucutkan ke aksi-aksi kekerasan.
“Jihad itu spektrum pemaknaannya luas, dari kerja keras, termasuk rajin belajar dan bekerja, sampai perang. Tapi coba lihat video-video itu, 'hayya alal jihad' disertai dengan 'parade' senjata tajam. Jelas, yang mereka inginkan adalah merebut tafsir tentang makna Islam tentang jihad versi mereka,” kata Halili kepada wartawan Tirto, Rabu (2/12/2020).
Tujuan dari itu sama seperti propaganda-propaganda lain, dalam hal ini menurutnya dalam rangka meningkatkan konsolidasi jaringan pendukung Rizieq Shihab. Sejak pulang dari Indonesia, Rizieq memang terus menerus membuat keributan dan tidak berhenti menyerang pemerintah. Ia bahkan berencana keliling Indonesia untuk menyerukan apa yang ia sebut dengan revolusi akhlak.
Di sisi lain, menurutnya seruan ini juga bukti bahwa “kelompok ini sedang panik” karena “menghalalkan segala cara”.
Hal serupa diungkapkan Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Aan Anshori. Diksi 'jihad' di Indonesia saat ini sangat mudah dipahami sebagai seruan memerangi kelompok di luar Islam maupun yang dianggap menghina, “atau yang tidak sejalan dengan pandangan politik mereka yang menyerukan jihad,” kata Aan saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu.
Dengan kata lain, bagi keduanya saat ini sedang terjadi perebutan wacana tentang jihad.
Oleh karena itu, baik Aan atau Halili mendesak agar kelompok Islam dan otoritas keagamaan lain—seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI—untuk lebih mengimbangi dan proaktif untuk memunculkan wacana tandingan, dalam hal ini wajah Islam yang lebih toleran. Jika otoritas negara dan otoritas keagamaan tak bisa membangun wacana alternatif, yang terjadi hanya akan semakin memperparah intoleransi.
Aan bilang kelompok-kelompok besar Islam seperti harus mulai melakukan hal-hal yang bisa merepresentasikan Islam toleran, seperti datang ke gereja dan mengucapkan Natal. Teladan seperti ini menurutnya lebih penting. “Ketika kita hadir, mengucapkan Natal, itu lebih bisa menjadi antibiotik terkait dengan intoleransi, daripada hanya bisa mengecam habib X melakukan ini, mencerca habib Z melakukan itu, misalnya.”
Hal serupa juga Aan desak kepada penyelenggara negara yang selama ini kurang menjadi teladan keagamaan yang toleran. Selama ini, katanya, negara hanya “sibuk melarang” dan melakukan tindakan represif, namun tak pernah memberikan contoh bagaimana wajah Islam yang toleran dan moderat itu.
“Harusnya Jokowi dan Ma’ruf Amin lebih sering kunjungi gereja, pura, berdialog dengan pendeta, hingga uskup, sehingga warga percaya, Jokowi dan Ma’ruf Amin memang representasi Islam moderat,” katanya.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid sepakat terkait peran para pemuka agama. “Di sinilah peran pentingnya pimpinan ormas Islam, ulama, dan kiai. Memberikan pencerahan agar masyarakat memiliki pemahaman keagamaan yang komprehensif,” katanya. Ia meminta mereka memberikan penjelasan bahwa ayat suci tidak dapat ditafsirkan secara tekstual, sebab menjalankan agama tanpa melihat konteks hanya melahirkan agama yang sempit dan ekstrem.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino