tirto.id - Organisasi teroris paling radikal yang hari ini kita kenal sebagai Islamic State in Irak and Syria (ISIS) adalah salah satu ekses Perang Irak pada 2003. Ia berakar dari kelompok Al-Qaeda in Irak (AQI)—salah satu aktor utama dalam pemberontakan terhadap pemerintah Irak dan pasukan pendudukan asing di sana. Di bawah kepemimpinan Abu Musab Al-Zarqawi, AQI bertanggung jawab atas beberapa serangan paling brutal selama konflik di Irak.
Rencana-rencana pembentukan suatu daulah atau negara Islam oleh AQI mulai terkuak pada Juli 2005. Rencana itu datang langsung dari orang nomor dua di Al-Qaeda, Ayman Al-Zawahiri. Dalam surat resmi yang ditujukan kepada Zarqawi, tangan kanan Osama bin Laden itu menyebut tentang tahap-tahap mengambil alih kendali negara ketika pasukan Amerika pergi.
Surat sepanjang 6.000 kata itu memuat rencana empat langkah yang dimulai dengan pengusiran pasukan AS dari Irak. Pengusiran itu akan diikuti pembentukan suatu "otoritas Islam atau keamiran" yang meliputi wilayah Irak.
Tahap ketiganya adalah “perluasan gelombang jihad” ke negara-negara sekuler tetangga Irak. Ketika semua tahapan itu tercapai, sebagai kemuncaknya adalah perang langsung dengan Israel.
“Karena Israel didirikan hanya untuk menantang entitas Islam baru," tulis Zawahiri dalam surat yang—seturut sumber intelijen Amerika Serikat—diperoleh selama perang kontraterorisme di Irak.
Surat itu juga menekankan perlunya suatu kampanye politik inklusif yang mampu menarik kelompok Islam lain di luar kelompok-kelompok jihadis. Surat itu memperingatkan agar AQI tak mengulang kesalahan Taliban di Afganistan yang eksklusif dan akhirnya mendapat penolakan.
Rencana itu belum sepenuhnya terlaksana hingga tewasnya Zarqawi oleh serangan militer Amerika Serikat pada Juni 2006. Ia tewas usai tempat persembunyiannya dijatuhi bom oleh pesawat tempur Amerika Serikat. Sehari kemudian, AQI mengumumkan bahwa posisi Zarqawi digantikan oleh Abu Ayyub Al-Masri.
Di bawah Al-Masri, pada Oktober 2006 AQI bergabung dengan kelompok-kelompok sunni radikal di provinsi Anbar, Irak, dan membentuk Koalisi Mutayyibin. Hanya berselang beberapa hari koalisi besar ini menyatakan berdirinya Islamic State of Irak (ISI).
Sebagai amirnya diangkatlah Abu Umar Al-Baghdadi, sementara Al-Masri menjabat sebagai menteri perangnya. ISI mengklaim wilayah Anbar, Baghdad, Diyala, Kirkuk, Ninawa, Babel dan Salahuddin sebagai wilayahnya.
Abu Bakar Al-Baghdadi
Dalam kurun dua tahun ISI telah membesar dan berhasil menggaet lebih banyak warga Irak untuk bergabung. Di antara kelompok besar yang bergabung dengan ISI adalah mantan anggota Partai Baath yang dulu dilarang semasa Saddam Hussein berkuasa.
ISI juga diduga kuat punya hubungan dengan kelompok jihadis di Suriah. Itu terlihat dari hasil investigasi terhadap pemboman bunuh diri besar-besaran di Baghdad pada 25 Oktober 2009. Dalam pemboman yang menewaskan lebih dari 150 orang itu ditemukan bahan peledak yang didatangkan dari Suriah.
Pada akhir 2009 hingga 2010 militer Amerika Serikat di Irak mengklaim telah berhasil menurunkan intensitas serangan oleh kelompok ISI. Meskipun begitu, serangan-serangan kecil oleh anggota kelompok ISI tetap saja terjadi. Pada April 2010 Abu Umar Al-Baghdadi dan Al-Masri tewas dalam serangan gabungan AS-Irak di dekat Kota Tikrit.
"Kematian para teroris ini adalah pukulan telak bagi Al-Qaeda [meskipun ISI telah dibentuk, nama Al-Qaeda atau AQI tetap umum digunakan untuk menyebut kelompok ini—red] di Irak sejak awal pemberontakan mereka," kata Jenderal Ray Odierno, komandan militer Amerika Serikat di Irak. “Intelijen Irak dan pasukan keamanan yang didukung oleh intelijen Amerika Serikat dan pasukan khusus selama beberapa bulan terakhir terus mendegradasi kekuatan AQI. Masih banyak pekerjaan rumah tetapi ini adalah langkah signifikan dalam pembersihan teroris di Irak.”
Tetapi, Jenderal Odierno salah. Kematian Abu Umar Al-Baghdadi dan Al-Masri justru menjadi awal munculnya momok baru yang lebih brutal. Sebulan setelah serbuan pasukan gabungan AS-Irak itu, ISI mengumumkan bahwa mereka telah memilih Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai amir mereka yang baru. Di bawah pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi ISI kembali menyusun kekuatannya dan mulai membangun suatu faksi pula di Suriah.
Memanfaatkan Perang Suriah
Perang saudara di Suriah pecah pada awal 2011. Perang ini memberi peluang baru bagi ISI membangun faksi di sana. Sejak sekira Agustus 2011, Al-Baghdadi mulai mengirimkan pejuang ISI yang berpengalaman ke Suriah di bawah pimpinan Abu Muhammad Al-Golani.
Selama paruh akhir 2011 kelompok Al-Golani terus merekrut anggota dan mendirikan sel di seluruh Suriah. Lalu pada Januari 2012 kelompok Al-Golani muncul ke publik dengan nama Jabhat al-Nusra li Ahl as-Sham—biasa dikenal sebagai Front Al-Nusra.
Pada akhir 2012, berbagai kelompok pemberontak Suriah tampak melemah akibat konflik yang berkepanjangan. Situasi ini dimanfaatkan Abu Bakar Al-Baghdadi untuk memperluas cakupan ISI. Tiga bulan kemudian rencana itu akhirnya terlaksana.
Pada 8 April 2013, tepat hari ini lima tahun lalu, Abu Bakar Al-Baghdadi mendeklarasikan penggabungan pasukan ISI di Irak dan Suriah. Ia juga mengklaim bahwa Front Al-Nusra adalah kepanjangan tangan ISI di Suriah. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai Islamic State in Irak and Syria (ISIS).
Tetapi, Al-Golani sebagai pimpinan Front Al-Nusra menolak deklarasi itu. Ia menolak klaim Abu Bakar Al-Baghdadi bahwa Front Al-Nusra bukan bagian dari ISIS. Ia mengakui bahwa ia pernah menjadi bagian dan berperang di Irak bersama ISI—yang masih bersetia kepada Al-Qaeda. Namun, Al-Golani juga menyatakan bahwa kelompoknya bersetia kepada Ayman Al-Zawahiri sebagai pimpinan utama Al-Qaeda, bukan kepada ISIS.
Al-Zawahiri sebagai pemimpin tertinggi Al-Qaeda juga menyatakan menentang klaim Abu Bakar Al-Baghdadi itu. Dua bulan setelah deklarasi ISIS Al-Zawahiri menyurati Abu Bakar Al-Baghdadi dan juga Al-Golani. Dalam surat itu, Al-Zawahiri menyatakan bahwa Abu Bakar Al-Baghdadi "bersalah" telah mengklaim Al-Nusra tanpa konsultasi dengan pimpinan al-Qaeda.
Dia juga menyatakan bahwa Suriah adalah medan jihad khusus bagi Al-Nusra yang dipimpin oleh Al-Golani, sementara otoritas Abu Bakar Al-Baghdadi terbatas hanya di wilayah Irak.
Tetapi, Abu Bakar Al-Baghdadi menolak seruan Al-Zawahiri itu dan tetap menjalankan rencananya mendirikan ISIS.
"ISIS akan tetap berdiri, selama darah di tubuh kami masih mengalir dan mata masih berkedip. Kami tak akan berkompromi atau menyerah," tegas Abu Bakar sebagaimana dikutip kantor berita Aljazeera.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan